Mediamorfosis, Laporkan atau Viralkan?

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
1 Mei 2019 20:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Viralitas adalah bentuk popularitas digital. Pilihan kata ini selaras dengan laku zaman yang terdigitalisasi dalam ruang maya. Interkoneksi melalui jejaring internet, adalah sebuah fenomena baru menjadi realitas kehidupan keseharian kita.
ADVERTISEMENT
Problem-nya, seiring dengan hingar-bingar politik kali ini, seolah terjadi pemisahan antara viralitas dan pelaporan. Sejatinya kedua kata tersebut memang berbeda, viralitas adalah interaksi dalam ruang simbolik jagad online, sementara pelaporan adalah mekanisme legal interaksi fisik antar aktor di ruang sosial.
Mengapa hal ini perlu diperjelas? Karena hari-hari ini kegaduhan semakin terjadi, ada di antara dua kegiatan tersebut, yaitu memviralkan dan melaporkan. Penting memahami gerak perubahan zaman agar tidak terlepas dari konteks saat ini.
Kenapa viralitas lebih disukai dibandingkan melaporkan? Hal ini terkait dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Pada kontestasi politik yang sengit, para pihak tidak mampu membangun kepercayaan satu dan yang lain. Terlebih lagi, otoritas hukum yang memiliki kewenangan legal, pun dianggap tidak lepas dari kepentingan dan keberpihakan.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, mudah dipahami viralitas menjadi instrumen yang dimungkinkan dalam ruang digital untuk mendapatkan perhatian. Memperoleh simpati adalah bagian dari upaya persuasi dan membuat kesepahaman publik. Tentu berbeda dengan pelaporan yang mempergunakan koridor hukum untuk penyampaian dan penyelesaian masalah.
Menuntaskan persoalan dengan metode pelaporan membutuhkan waktu, memerlukan proses secara berulang, mengumpulkan bukti-bukti, bisa jadi pelapor justru menjadi terlapor. Mekanisme hukum dalam pandangan Gramscian, adalah alat kepentingan kekuasaan untuk melakukan dominasi. Maka wajar bila sulit untuk membangun sikap trust.
Sedangkan viralitas adalah bagian dari sarana berkomunikasi di ruang publik yang terfasilitasi melalui jejaring sosial media. Merupakan cara dalam membicarakan permasalahan sosial politik secara interaktif, dialogis, dan realtime, melalui format many to many via komunitas maya.
ADVERTISEMENT
Era Disrupsi Media
Disrupsi adalah bentuk perubahan yang terjadi secara radikal, secara tiba-tiba dan tidak diperkirakan sebelumnya. Sesungguhnya viralitas adalah bentuk adaptasi teknologi digital. Dalam ranah ilmu komunikasi terkait fungsi media yang menjadi medium, untuk memediasi pertukaran informasi, maka viralitas adalah bentuk perubahan dari zaman post Guttenberg kala mesin cetak berjaya memasuki ke era cyberspace.
Maka menjadi sebuah anomali jika kita telah mulai berbicara infrastruktur tol langit dengan Palapa Ring dan 5G. Sementara kita tidak mampu memaknai viralitas sebagai sebuah bentuk pelaporan digital.
Fase perubahan media, dalam kajian Roger Fidler, dimaknai sebagai tahap mediamorfosis. Berubah karena determinasi teknologi, ada periode adopsi di mana teknologi mulai dipergunakan, hingga pada akhirnya mampu beradaptasi dengan situasi.
ADVERTISEMENT
Mekanisme adopsi, sebagaimana yang terjadi saat ini bermakna ganda. Masyarakat mulai mempergunakan teknologi sebagai bentuk produk hasil budaya manusia, yang kemudian mengonstruksi budaya manusia dalam beradaptasi dengan teknologi, sebuah relasi yang bersifat timbal balik. Dalam pandangan McLuhan teknologi adalah perpanjangan indera manusia.
Jika situasi ini dapat dipahami, maka perangkat hukum kita harus disesuaikan dengan perubahan tersebut. Viralitas adalah bentuk aduan yang perlu ditindaklanjuti, bahkan bila ternyata banyak pengaduan yang bohong sebagaimana hoaks, maka perlu dibentuk tim unit cybercrime and cyberlaw.
Dengan demikian, viralitas layaknya whistleblower adalah bocoran informasi yang perlu dihargai di era yang terbuka, serta ditindaklanjuti. Bukan justru sebaliknya, mempergunakan pasal lentur alias karet UU ITE untuk menjerat penyebar viralitas, bila demikian yang terjadi, maka kita kehilangan konteks akan esensi yang dibawa melalui hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Di bagian penghujung, dalam tinjauan reflektif, kesukaan publik untuk mendorong viralitas daripada melakukan pelaporan legal, merupakan kegagalan mekanisme hukum formal menciptakan ruang kepercayaan. Bahkan lebih jauh lagi, basis atas ketidakpercayaan tersebut disebabkan karena terabaikannya rasa keadilan publik yang justru lebih berpihak pada kekuasaan.