Membayangkan Wajah Dunia Setelah Pandemi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
27 Maret 2020 12:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi peta dunia. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peta dunia. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Tersenyum cerah. Lepas dari ketidakpastian. Pada banyak momentum, umat manusia menemukan kembali kebahagiaannya. Itulah gambaran yang dinanti selepas pandemi.
ADVERTISEMENT
Terbebas dari ketakutan yang melingkupinya. Tetapi kita sesungguhnya berayun, dari satu ketakutan menuju pada bentuk ketakutan lainnya
Sebelum pandemi kali ini, penyakit dan wabah di masa lalu juga menjadi persoalan yang mengancam eksistensi kehidupan manusia. Dicatat dalam sejarah, deretan bencana alam dan berbagai perang.
Umat manusia, selalu mampu keluar dari situasi krisis. Kemampuannya bertahan, bahkan berjibaku terhadap wabah, telah mengalami berbagai ujian.
Lompatan kualitas terjadi melalui krisis yang dihadapi. Dinamika kehidupan manusia, menuntut dirinya untuk terus belajar dan memahami kapasitasnya.
Banyak makna yang tertinggal dibalik bencana. Ledakan hebat Krakatau 1883, menyemburkan debu vulkanik menutup awan. Menurunkan suhu bumi. Mencegah percepatan kenaikan air laut.
Konsekuensi baik, datang sehabis kesulitan hebat. Persis layaknya pelangi indah setelah hujan. Wabah ini sesungguhnya menjadi medan ujian kemanusiaan.
ADVERTISEMENT

Tertampar Sampar

Karya klasik Albert Camus berjudul La Peste diterjemahkan menjadi Sampar, 1947. Wabah sebagaimana sampar, dalam novel Camus, memperlihatkan wajah dan karakter asli manusia.
Ketakutan, kengerian akan kematian dan penyakit, hanya bisa ditangani dengan rasionalitas. Kemampuan untuk bertindak secara penuh kesadaran, memungkinkan kita menanganinya.
Lebih jauh, pada makna denotatif, La Peste sesungguhnya ekspresi Camus yang mencerminkan, situasi mencekam dalam konteks penjajahan Nazi atas Prancis di Perang Dunia ke-II.
Wabah itu simbol kebengisan manusia. Absurditas terjadi, manusia menimbulkan kesengsaraan bagi manusia lain. Perang dan penjajahan direfleksikan sebagaimana wabah.
Kini setelah menjadi masalah bersama, virus kecil berubah menjadi monster raksasa, bersifat pandemi global, akankah ada solidaritas bersama?. Kepentingan berkuasa, di situ letak absurditas kita.
ADVERTISEMENT
Hal yang teramat penting, adalah mengalahkan ego sepihak untuk melihat umat manusia di dunia sebagai satu kesatuan entitas. Demi dan atas nama kemanusiaan, bukan sekat bangsa dan negara.

Kompleksitas Manusia

Ilustrasi kukang raksasa dan manusia purba Foto: Alex McClelland/Bournemouth University
Dalam dua kesempatan, Yuval Noah Harari penulis buku Sapiens dan Homo Deus, merilis tulisan terkait Corona, pada Times (15/3) dan Financial Times (20/3). Artikel tersebut menyiratkan beberapa hal penting.
Pertama: Terdapat peran penting untuk berbagi informasi, dalam memahami kompleksitas virus yang dihadapi. Bangunan pengetahuan, sangat bergantung pada input informasi yang dikumpulkan. Hal ini tentu terkait pada kesalingpercayaan untuk membangun solidaritas bersama.
Kedua: Peran kepemimpinan global dibutuhkan dalam mengatasi masalah bersama. Problemnya hari ini, dunia seolah kembali kepada haluan populisme. Kemenangan para pemimpin di berbagai negara, membuat sentimen sempit, terbatas ruang wilayah.
ADVERTISEMENT
Ketiga: Perlu penguatan teknologi dan partisipasi publik, yang menjadi kunci dari upaya untuk mendapatkan pengetahuan secara menyeluruh. Selain upaya ilmu pengetahuan, jelas diperlukan adanya sikap sosial, yang dikembangkan secara bersama pula.
Menyoal apa yang disampaikan Harari, menjadi penting untuk kita melakukan perenungan. Manusia dengan segala kompleksitas egonya memang menghadirkan banyak persoalan.
Kebinasaan umat manusia tidak akan terjadi karena wabah, tetapi justru ditelan oleh hawa nafsu dan egoismenya itu sendiri. Negara-negara superpower membutuhkan pengakuan untuk berlomba membuktikan diri masing-masing, sulit berkolaborasi.
Padahal jurus untuk selamat di situasi rumit, adalah berkolaborasi dan bergandeng tangan. Kita menunggu semua pihak untuk menurunkan tensi kepentingan masing-masing.
Termasuk, pada pentas lokal. Saling dukung, saling bantu dan bergotong royong adalah manifestasi dari penjabaran pelaksanaan Pancasila. Sebab penghayatan dan pengamalan Pancasila, bukan terletak pada gembar-gembor slogan #sayapancasila.
ADVERTISEMENT
Periode kebebasan itu akan dimulai sesaat setelah umat manusia mampu bersatu padu untuk urusan yang sama, tentang kemanusiaan itu sendiri. Dunia pun tersenyum kembali. Semoga.