Menakar Elektabilitas Kotak Kosong dan Kandidat Tunggal

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
29 Juli 2020 9:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kotak Suara. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kotak Suara. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Resesi demokrasi. Tidak hanya COVID-19 yang menjadi ancaman nyata saat ini. Kehidupan demokrasi juga tengah mengalami hal serupa. Pragmatisme politik terjadi, baik di tingkat partai maupun individu kandidat. Karakter office seeking dari para politikus, yang menjadi pemburu posisi dan jabatan, semakin nyata terlihat.
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi, agenda Pilkada serentak tetap akan dilangsungkan pada Desember 2020, meliputi 270 wilayah di Indonesia. Sebuah perhelatan politik yang besar, tentu saja mengumpulkan jumlah massa secara fisik. Padahal, imbauan pencegahan penularan wabah dengan menghindari kerumunan dan menjaga jarak. Kontradiktif.
Jika merujuk hasil survei Indikator 13-16 Juli, sebanyak 63,1 persen responden menyatakan sebaiknya Pilkada serentak ditunda. Hal ini berjarak dengan pernyataan para politisi, yang justru berbicara mengenai kepastian kekuasaan, dan dampak ekonomi akibat momentum Pilkada. Terdapat ruang kosong, antara realitas sosial dengan kehendak elite politik. Ironi tersaji, publik yang berada dalam belitan pandemi, diperhadapkan dengan kehendak pesta demokrasi demi perebutan kursi kekuasaan.
Dengan menggunakan model berpikir yang sebangun atas hasil survei tersebut, maka mudah sekali terbaca bila fokus orientasi publik dari arus kepentingan dominan, yaitu (i) menyoal keselamatan dari sisi kesehatan, dengan terhindar atas penularan wabah, dan (ii) bertahan, sekaligus memastikan kemampuan ekonomi. Publik tidak berpikir tentang kontestasi elite, terutama dalam periode sulit dibekap pandemi.
ADVERTISEMENT
Formulasi atas seluruh kerangka bangunan berpikir tersebut, membuat incumbent memiliki potensi untuk kembali mencalonkan diri, dengan posisi yang lebih kuat, tentu bila belum habis kesempatan masa keterpilihannya. Petahana yang kembali bertanding membuat partai politik melakukan kalkulasi kepentingan, mendukung atau bertanding? Lagi-lagi pilihan pragmatis lebih mengemuka, dibanding idealisme.
Kluster Elite
Kursi Kepala Daerah yang diperebutkan, adalah simbolisasi dari elite politik di tingkat lokal, sekaligus membuka peta pengaruh partai politik pada suatu wilayah. Hampir sebagian besar tipikal kandidat yang mencalonkan diri berasal dari latar belakang, (i) pengusaha, (ii) birokrat/ pejabat, (iii) militer/ polisi, hingga (iv) akademisi/ profesional. Sirkulasi di ruang sempit dan terbatas terjadi.
Satu yang tidak bisa dipungkiri, agenda Pilkada sering memunculkan anomali koalisi. Faktor penentu penggabungan kekuatan partai politik dalam membentuk pasangan calon, tidak lain adalah soal hitungan kemenangan alias elektabilitas, yang menyangkut soal popularitas dan keterpilihan. Bukan soal gagasan dan platform program serta agenda kerja yang dibawa dalam konsep kepemimpinan daerah.
ADVERTISEMENT
Bila sudah demikian, teramat sulit untuk mencari lawan seimbang. Gabungan koalisi partai politik pengusung kandidat, dengan proporsi mayoritas menjadi sangat kuat, dan kecil kemungkinan dapat dikalahkan oleh calon yang maju melalui partai kecil atau menggunakan jalur independen. Kandidat dan partai politik yang berhitung cermat, biasanya akan segera mundur dari gelanggang.
Jika itu terjadi, kandidat tunggal menjadi tidak terhindarkan. Calon dengan popularitas dan elektabilitas yang tinggi, tidak akan mendapat lawan tanding. Pragmatisme dimulai, dengan mengukur sumber daya yang dimiliki. Umumnya, koalisi partai pengusung sudah mulai berhitung kompensasi terkait sebagai barter atas dukungan yang diberikan. Politik transaksional diperdagangkan, pada bursa gelap panggung politik.
Sulit melihat kemunculan kandidat yang memiliki prestasi dan kompetensi yang layak dalam memperjuangkan kepentingan dan aspirasi publik. Para pemburu kursi jabatan, berlomba maju untuk diri dan kelompoknya. Hal ini memperlihatkan kelemahan dalam sistem politik kita, baik (i) secara struktural melalui agensi partai politik, maupun (ii) secara kultural yang diperantarai oleh budaya demokrasi internal para aktor politik dan interaksinya dalam partai politik.
Petugas Komisi Independen Pemilihan (KIP) dikawal petugas keamanan Polresta menata kotak suara pemilu serentak 2019. Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Fenomena Kotak Kosong
ADVERTISEMENT
Gejala yang mencuat seiring dengan potensi rendahnya partisipasi politik publik, adalah tentang kotak kosong yang menjadi konsekuensi turunan kebangkitan kandidat tunggal di Pilkada. Kebuntuan regenerasi aktor politik, merupakan buntut dari pragmatisme politik, bila partai hanya berfokus pada kalkulasi kemenangan, dan bukan tentang membawa gagasan besar yang hendak diterjemahkan melalui jalur politik daerah.
Kotak kosong bisa jadi menyiratkan takluknya aspirasi publik, berhadapan dengan persekongkolan dari kanal partai politik, yang memiliki tujuan pro status quo, mempertahankan kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri, bukan tentang agenda dari ranah publik. Ongkos politik dari budaya transaksional -vote buying, mengakibatkan proses kandidasi yang mahal, menjadi hambatan -barrier to entry bagi calon kandidat baru, karena dibutuhkan tidak sedikit modal finansial sebagai sumber daya pendukung.
ADVERTISEMENT
Sejarah kemenangan kotak kosong di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada Pilkada 2017 dengan selisih lebih dari 36 ribu suara tidak berdiri sendiri di ruang hampa. Pasangan kandidat yang datang dari jalur independen, meski memiliki potensi elektabilitas yang tinggi, ternyata tidak lolos seleksi kualifikasi calon. Publik membantu mengorganisir perlawanan, sehingga kotak kosong dapat menang. Tanpa ada figur yang menjadi sandaran alternatif, mustahil hal itu terjadi. Kotak kosong akan tetap kosong, bila tidak ada wajah yang direpresentasikan.
Di bagian akhir, apa yang sudah diprediksi akan muncul melalui kerumitan Pilkada saat pandemi adalah garis silsilah keluarga politik, alias politik dinasti. Meski banyak disangkal, keberadaan para tokoh yang maju dan membawa nama besar di belakang namanya, tetap merupakan varian dari politik dinasti. Terlebih bila sebelumnya tidak pernah berkecimpung di kiprah politik formal.
ADVERTISEMENT
Ibarat jalur khusus, para kandidat yang muncul melalui kekerabatan dan trah politik, mengilustrasikan mandeknya kaderisasi partai, serta hadirnya politisi instan yang langsung jadi, hanya sesaat menjelang waktu pemilihan. Bahkan bisa jadi menggeser tokoh yang telah sebelumnya diusulkan pada tingkat bawah, tentu teramat disayangkan. Semakin terang ambisi dan syahwat kekuasaan bergelayut dalam kontestasi. Sulit dipastikan kompetensi dan kapasitasnya, belum teruji di medan politik, terlebih bagi kepentingan publik.
Bila hal ini terus-menerus terjadi, awan gelap menggantung di atas wajah demokrasi kita, dan telah nyata resesi demokrasi. Siapa yang dapat dipercaya membawa aspirasi bersama?