news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menggugat Pakar dalam Abad Informasi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
20 Februari 2019 8:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pakar. (Foto: Unsplash/Hunters Race)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pakar. (Foto: Unsplash/Hunters Race)
ADVERTISEMENT
TERDEGRADASI! Status kepakaran tidak lagi menjadi persoalan relevan dalam konteks era modern. Keberlimpahan informasi, yang terfasilitasi melalui jejaring internet, menjadi sarana ampuh untuk memperoleh pengetahuan dan pendapat akan segala sesuatu. Peran pakar semakin terpinggirkan, bahkan bukan tidak mungkin menjadi punah seiring dengan perkembangan abad teknologi informatika.
ADVERTISEMENT
Pesan serius tersebut, termuat dalam 293 halaman buku Tom Nichols berjudul The Death of Expertise. Fenomena Brexit dan Trump, menjadi studi kasus menarik, yang diulas terkait dengan era post truth.
Keterlepasan informasi dari fakta aktual, menjadi kabar sumir yang sulit diverifikasi, tetapi justru mampu dipercaya secara meluas. Publik menilai tidak lagi pada soal kredibilitas sumber berdasarkan basis kepakaran, tetapi lebih memilih opsi emosional yang kerap irasional.
Meski alam demokrasi menghadirkan ruang kesetaraan dalam berekspresi, sesungguhnya tetap terjadi spesialisasi keahlian secara spesifik yang kemudian menempatkan segelintir pihak bertindak sebagai pakar, yang ditandai dengan keahlian profesional dan kemampuan untuk memiliki kedalaman pengetahuan akan suatu tema tertentu. Kriteria dari indikator pakar, setidaknya, terdapat pada: (a) pendidikan, (b) minat, dan (c) pengalaman.
ADVERTISEMENT
Namun kemudian, kemajuan zaman menghadirkan apa yang disebut sebagai abad informasi ala Toffler, yang menghasilkan keberlimpahan pengetahuan, melalui interaksi dunia maya, pada sebuah abad digital. Pola relasi interpersonal menjadi setara, flat, dan horizontal, mengabutkan sekat kepakaran, karena semua memiliki kemampuan untuk mengakses informasi yang sama.
Warga negara yang sebelumnya adalah citizen, bertransformasi menjadi netizen. Mereka jadi berperilaku lebih agresif, memiliki kemampuan dalam logika berpikir tersendiri, bahkan selalu merasa mempunyai kemampuan lebih daripada kumpulan serta entitas lain di luar dirinya. Egoisme individual semakin memuncak. Lalu, atribut simbol pakar mengalami degradasi menuju ambang kehancuran.
Hal ini mampu menerangkan fenomena kemenangan Trump atas Clinton pada pemilu di Amerika Serikat, serta pilihan dari opsi politik Brexit yang menyebabkan Inggris Raya harus keluar dari kesepakatan regional bersama, yakni Uni Eropa. Hoaks diproduksi, distribusikan, dan dikonsumsi tanpa memandang siapa yang berbicara sekaligus memandang persoalan kredibilitas, melainkan hanya menyelaraskan frekuensi dari resonansi emosional.
ADVERTISEMENT
Pendidikan, Teknologi, dan Persepsi Publik
Literasi Media Foto: Pexels
Kontribusi terciptanya situasi yang seolah mendelegitimasi kepakaran tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal. Akan tetapi, menjadi bauran dari berbagai hal, termasuk di antaranya: (a) kegagalan sistem pendidikan tinggi, (b) perkembangan serta kemajuan teknologi, dan (c) persepsi publik akan kemampuan pakar itu sendiri.
Pada aspek yang pertama, maka kritik Nichols terjadi manakala pendidikan tinggi tidak lagi memberikan apa yang terbaik dalam kerangka membangun kemampuan berpikir kritis. Mahasiswa sebagai elemen terdidik di kampus pun lebih bersifat sebagai konsumen dari sebuah industri pendidikan. Hal tersebut berkonsekuensi pada minimnya kemampuan dari output perguruan tinggi untuk berkontribusi pada kepentingan publik secara luas, kecuali terserap pada struktur dari model ekonomi yang telah ada.
ADVERTISEMENT
Lantas, secara lebih jauh, Nichols pun menyampaikan kritiknya pada persoalan kehadiran Google dan algoritma Wikipedia, yang mengakibatkan situasi semakin berubah, dalam makna perlintasan ruang dan waktu dalam kecepatan yang tidak terhingga.
Hal tersebut mengakibatkan kita menjadi semakin lemah dalam kemampuan melakukan analisis. Proses linier yang seharusnya terjadi secara berkelanjutan adalah: (a) gathering information melalui data mining, selanjutnya membangun (b) decision making. Kini keduanya hadir secara otomatis, bahkan tanpa perlu berpikir lebih dalam, cukup copy-paste.
Di bagian akhir, Nichols juga mengkritik persepsi publik tentang pakar yang selalu diposisikan tanpa kekurangan, bahwa terkadang pakar tidak mempunyai formula jawaban atas sebuah persoalan, bahkan bisa jadi proyeksi serta prediksinya meleset dari asumsi premis dan hipotesis yang dibuatnya.
ADVERTISEMENT
Namun, itulah proses menjadi dalam bidang kepakaran, kegagalan adalah learning process yang dilalui. Kesempurnaan dalam persepsi publik ini kemudian kerap dibandingkan dengan kemampuan komputasi yang lebih presisi dan terukur, meski tidak selalu benar, tetapi dapat dimaklumi publik.
Demokrasi dan Literasi
Ilustrasi buku-buku tua Foto: Pixabay
Integrasi kehidupan manusia bersama dengan teknologi dalam keseharian hidupnya, termasuk di antaranya peran smartphone sebagai alat bantu, menggeser kerangka berpikir manusia hanya semata user. Sebab, aspek smart telah disematkan pada alat yang digunakan sebagai instrumen, bukan lagi pada kapasitas isi kemampuan kepala manusia mengolah persoalan yang dihadapinya.
Situasi ini tentu tidak menguntungkan bagi para pakar, yang seharusnya mampu memastikan tidak terjadinya bias konfirmasi dan informasi. Sebab, dampaknya: (a) terdapat informasi yang kurang dan (b) terjadi informasi yang salah.
ADVERTISEMENT
Kita kini berhadapan dengan keduanya, ditambah lagi dengan ketergesa-gesaan publik dalam memahami sebuah persoalan melalui over-generalisasi. Budaya instan merambah sendi kehidupan masyarakat.
Viralitas dan jumlah follower kemudian menjelma menjadi diksi yang menentukan kebenaran. Popularitas mengalahkan nilai akademik dan nilai-nilai kepakaran memudar dalam batas yang teramat tipis. Pada tantangan yang semakin menghebat itu, perlu ada reformulasi bentuk kepakaran yang dapat menjawab tantangan zaman, termasuk mendemokratisasikan kehidupan dalam arus teknologi yang semakin matang kali ini.
Bagaimana caranya? Tidak lain dan tidak bukan dengan mendorong literasi publik, membangun kebiasaan untuk dapat think before like or share, mendahulukan kemampuan berpikir intrapersonal--dalam diri sendiri terlebih dahulu--sebelum membangun interaksi lanjutan melalui model komunikasi many to many di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Bila tidak, bukan tidak mungkin kepakaran pada masa depan akan disusun ulang, dan tidak lagi konsentrik pada yang berlabel pakar semata, melainkan tersebar, karena dunia digital terdiri dari sistem binary secara acak.
Bisa jadi, para pakar nantinya adalah mereka yang mampu menyusun ulang kode digital dari algoritma berpikir publik, bukan sekedar penguasaan konten dan konteks, tetapi memiliki kemampuan komputasi serta matematis, sesuai laku jaman kekinian!