Menimbang Demokrasi dalam Impitan Pandemi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
16 Februari 2021 12:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menimbang Demokrasi dalam Impitan Pandemi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Nestapa! Outlook demokrasi LP3ES menempatkan kata tersebut sebagai awalan yang memberikan ilustrasi kondisi demokrasi yang terjadi sepanjang tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Rilis buku LP3ES berjudul; Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi: Refleksi 2020, Outlook 2021, yang tersusun ke dalam 210 halaman, oleh Wijayanto dkk, menjadi sebuah kajian menarik sebagai pembuka permulaan tahun.
Sesuai dengan judul bukunya, maka aspek kajian yang dimajukan dalam keseluruhan rangkaian tulisan berkaitan dengan (i) kondisi demokrasi aktual, dan (ii) situasi pandemi yang menyertai kehidupan sosial hingga saat ini.
Dalam kesimpulan besar yang dapat dirangkum melalui buku tersebut, LP3ES menilai telah terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia. Hal tersebut terkonfirmasi dari merosotnya penilaian dari berbagai lembaga internasional.
Bahkan bila mengutip lansiran Democracy Index hasil penelitian The Economist Intelligence Unit (EIU) peringkat Indonesia berada di urutan ke 64 dari 167 negara, dengan nilai yang melorot 6.3 dari sebelumnya 6.48 (Detik, 4/2).
ADVERTISEMENT
Indikator nilai yang diperhitungkan antara lain skor 7.92 untuk proses pemilu dan pluralisme. Sedangkan, fungsi dan kinerja pemerintah dengan catatan nilai 7.50. Sementara itu pada ukuran partisipasi politik didapatkan angka 6.11.
Dua kriteria bernilai minim terletak pada kriteria budaya politik skor 4.38, dan persoalan kebebasan sipil yang hanya bernilai 5.59. Berbekal hasil tersebut, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Hal ini juga nampak selaras dengan laporan sebelumnya dari Freedom House 2020, (Tempo, 4/3/2020) yang menyampaikan bila posisi demokrasi Indonesia disebut masih dalam kriteria bebas sebagian.
Hambatan Serius
Sesuai catatan LP3ES, kerangka hambatan perkembangan demokrasi di tanah air dapat didekati dengan melihat faktor utama yang terletak pada (i) problem struktural, kuatnya elite oligarki dalam menyusun kekuasaan, (ii) peran aktor dan agensi melalui partai politik untuk berkoalisi mengeliminasi oposisi, hingga (iii) aspek kultural ditandai dengan setengah hatinya publik mendukung demokrasi, sebagai konsekuensi keterbelahan atas pilihan politik yang dimanipulasi kepentingan elite.
ADVERTISEMENT
Dalam cermatan LP3ES, fenomena kemunduran atau resesi demokrasi sudah dimulai ketika politik harmonisasi dilancarkan pasca Pemilu 2019.
Lawan kontestasi seketika berubah menjadi kawan koalisi, meninggalkan ruang sempit bagi pemikiran berbeda sebagai oposisi. Perbedaan ditransaksikan melalui pembagian porsi kursi.
Kondisi ini berjalan seiring dengan penanganan pandemi. Situasi kedaruratan penularan wabah, mengharuskan negara hadir untuk melakukan pengaturan hingga pembatasan.
Sementara itu, pada berbagai momentum di 2020, ruang gerak yang dibatasi, ternyata tidak mampu membatasi gerak elite untuk menyusun regulasi yang dianggap penting bagi konsolidasi kekuasaan.
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (28/10). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Rentetan Peristiwa
Secara berurutan, LP3ES mengurai tahun 2020 dalam beberapa babak penting. Pandemi memicu berbagai blunder komunikasi pemerintah, hingga bertindak anti sains dalam mengambil kebijakan yang terbalik berhadapan dengan wabah global.
ADVERTISEMENT
Bahkan, diksi new normal dan serangkaian istilah yang dipergunakan selama pandemi, tidak efektif dalam membangun kesadaran publik secara lebih luas. Seolah gonta-ganti singkatan menjadi alternatif pilihan dari ketidakmampuan mengelola permasalahan.
Sejurus kemudian, diluncurkan RUU Omnibus Law yang mendapat perlawanan sengit publik, ternyata dengan sekejap mata mendapatkan persetujuan di ruang pengambilan keputusan yang notabene lapangan politiknya sudah dikuasai oleh dominasi koalisi.
Senjangnya harapan publik dan realitas yang dihadapinya, membuktikan ada jarak terpisah antara tujuan pengambilan keputusan dengan kehendak masyarakat.
Hal ini tentu menjadi sebuah ironi ketika hasil proses politik melalui agenda pemilu, yang seharusnya mengartikulasi kepentingan publik justru berakhir sebaliknya.
Tidak berhenti di situ, diskusi di ruang publik tentang kontroversi Pilkada 2020 yang tetap dilaksanakan di masa pandemi, juga menjadi tambahan catatan yang seakan menggenapi proses demokrasi dalam mengalami kelesuan.
ADVERTISEMENT
Begitu pula di ranah ruang digital, media sosial menjadi medan pertarungan narasi dan ajang perang opini. Lebih jauh lagi, media sosial menjadi sarana penting untuk melakukan hegemoni. Tidak dengan metode yang lazim melalui diskusi melainkan menggunakan pasukan siber dan gerombolan pendengung-buzzer.
Fajar Demokrasi di 2021?
Menutup kesimpulannya, LP3ES seolah menyampaikan pesan bila 2020 adalah sebuah periode kenestapaan bagi demokrasi, yang secara bersamaan diimpit pula oleh pandemi.
Bahkan di tengah situasi serba sulit akibat pandemi, perilaku korupsi pada aktor politik tetap terjadi. Begitu pula dengan perubahan wajah kabinet melalui reshuffle, yang semakin meneguhkan konsolidasi kekuasaan, menutup ruang oposisi yang semakin terlihat marjinal.
Begitulah nasib demokrasi, bukan merupakan sesuatu yang datang sebagai hasil pemberian cuma-cuma, melainkan harus diperjuangkan serta dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Manakala kanal oposisi di ruang politik formal seolah menghilang, disertai konsolidasi kekuasaan, maka publik membutuhkan arus penyeimbang narasi.
Komponen kekuatan kontrol publik yang terfragmentasi dalam berbagai bentuknya, mulai dari para profesional, akademisi, mahasiswa, insan media hingga organisasi massa, perlu mengkonsolidasikan diri.
Dengan begitu, ranah kekuasaan mengembalikan kemampuan dasarnya yaitu mendengar. Sehingga pernyataan tentang adanya kebutuhan kekuasaan untuk tetap dikritik (Kompas, 9/2) tentu bukan sekadar menjadi pemanis janji, melainkan membutuhkan bukti.
Di titik itu, wajah demokrasi dipertaruhkan, akankah 2021 akan menjadi fajar kebangkitan atau justru sebaliknya? Kita berharap, mendengarlah!
source: google