Menyoal Politik Identitas dan Pengaruhnya

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
22 Mei 2019 5:54 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Pembahasan atas berbagai fenomena seputar Pemilu kali ini terbilang menarik dan menghadirkan berbagai macam kajian baru dalam konteks perilaku politik publik. Selain persoalan post truth dan dampak sosial media, salah satu hal yang menguat dan menjadi objek studi penting terkait tentang politik identitas.
ADVERTISEMENT
Bahkan, korelasi post truth dan politik identitas di sosial media menjadi bagian dari telaah besar yang hendak dirangkai untuk melihat keterhubungan di antara faktor-faktor tersebut.
Mari kita mulai dari politik identitas, bagaimana mendefinisikannya? Apa pula faktor penyebabnya? Tentu banyak premis yang bisa diungkapkan, salah satunya dalam konteks pengelompokan atas suatu kesepahaman. Sejatinya, berkumpul yang sekubu adalah perilaku alamiah.
Pada kajian komunikasi, ada homophily yang menjelaskan mengapa seseorang lebih menyukai perkumpulan dengan pihak lain yang memiliki kemiripan tipikal, ambil contoh kesamaan bahasa. Kalau Anda sempat jalan-jalan ke luar negeri, tentu Anda akan merasa sangat senang bisa bertemu orang lain yang menggunakan bahasa sama, bukan?
Sebagian lainnya mengungkapkan politik identitas adalah bentuk polarisasi dan pengelompokan yang dilakukan dengan melakukan politisasi identitas. Bahwa keberagaman adalah bentuk natural dari kehidupan kita, namun memperbesar hal-hal yang berbeda menimbulkan persoalan baru, kebencian dan permusuhan.
ADVERTISEMENT
Premis tersebut terbilang lebih solid, ada benarnya. Posisi aktifnya terletak pada persoalan politisasi, yang dibuat seolah-olah demi tujuan dan kepentingan tertentu. Meski pada konteks yang sama, dengan mengeliminasi potensi atas dampak yang mungkin terjadi, sesungguhnya terdapat peluang positif.
Lingkungan sosial sesungguhnya, memiliki dampak bagi individu. Pernah dengar ungkapan "berteman dengan tukang minyak wangi ketularan harumnya”? Tentu saja lingkup sosial Anda bisa membantu proses positif terjadi, maka pilihannya tergantung Anda sendiri tentunya.
Dalam Bayang Post Truth
Era ini dinyatakan sebagai abad post truth, pasca-kebenaran bahkan melampaui kebenaran, hingga apa yang sesungguhnya benar tertinggal jauh di belakang. Sejatinya, persoalan kebenaran akan berlawanan dengan kebohongan. Problemnya, sesuai diktum Menteri Propaganda Nazi Goebbels, repetisi kebohongan bisa menciptakan sebuah realitas kebenaran baru.
ADVERTISEMENT
Pada konteks ekonomi, mekanisme periklanan adalah bentuk nyatanya. Penyembunyian kekurangan serta dampak buruk, ditutupi oleh nilai manfaat yang seolah-olah jauh lebih besar, sebuah bentuk kebohongan yang sama. Jadi, sesungguhnya era post truth sudah berlangsung lama. Lalu, tampak relevan bila dikaitkan dengan situasi kekinian.
Berapa banyak investasi bodong? Penipuan agen travel? Bagaimana kasus Kanjeng Dimas? Post truth hadir bersamaan dengan informasi bohong alias hoaks, bisa jadi terbalut rapi dalam sebuah skenario. Sudah sejak dulu para peminat kekuasaan--power seeking--menggunakan metode yang sama untuk mencapai tujuannya.
Jadi, kebohongan adalah cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai kursi kuasa, meski tidak berbanding lurus dengan legitimasi. Bahkan skema politik yang demokratis melalui pemilu pun bisa direkayasa secara manipulatif. Ferdinand Marcos dan Filipina, dengan aksi people power adalah bentuknya.
ADVERTISEMENT
Perlu diingatkan, dalam era post truth kebohongan itu tercampur dengan kebenaran, percampuran tersebut mengakibatkan kaburnya batas-batas realitas, dalam istilah Baudrillard dikenal sebagai hiperrealitas, yang terbentuk dalam ruang simulacra. Menjadi simulasi realitas yang semu. Dan tidak mudah memisahkan di antara keduanya ketika telah bersenyawa.
Perluasan Sosial Media
Kehadiran sosial media yang pada awalnya menjadi bagian dari upaya mempermudah komunikasi, tidak dapat dihindari menjadi sarana perbesaran kanal hoaks bagi para pihak yang saling bersaing. Lebih rumit lagi, ruang media baru seperti sosial media memberikan teritori privat dengan model anonymous, bahkan menggunakan false identity.
Ketika publik sudah tidak mampu melakukan self screening informasi, maka realitas disandarkan pada aspek emosionalitas, berdasarkan perasaan--feeling into. Maka melalui kecanggihan teknologi, sosial media mengadopsi mekanisme algoritma perangkap filter bubble, membentuk gelembung informasi yang selaras minat end user, maka news feed sosial media menawarkan hal sama, mengadopsi prinsip homophily.
ADVERTISEMENT
Konsumsi informasi yang keliru tersebut, menurut Baudrillard, semakin menghilangkan realitas. Dengan begitu, realitas dunia maya terlepas dari kenyataan faktual, bahkan kerap disembunyikan untuk kepentingan tertentu.
Bisa dibayangkan, politik identitas semakin mengental bersamaan dengan perkembangan teknologi, terbentuknya networking society melalui internet memudahkan proses amplifikasi informasi tersebut.
Tapi apakah letak soalnya politik identitas? Bukankah berbeda itu memang sudah kodrat alamiah? Dibandingkan harus membangun upaya fusi paksa atas identitas, maka yang harus dikembangkan adalah membangun sikap toleransi.
Problemnya tidak mudah merumuskan ulang langkah-langkah pembangunan tersebut, terutama di tengah situasi yang penuh dengan sentimen dan ketidakpercayaan. Simpulan sementaranya, pengaruh politik identitas tidak akan masif, jika ada kehendak untuk membangun imajinasi kehidupan bersama.
Sudah siapkah kita? Dan mampukah kekuasaan memformulasikan kebijakan yang berlaku adil bagi semua pihak? Kita tentu perlu menunggu sejenak.
ADVERTISEMENT