news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyusun Bingkai Peradaban Digital

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
2 Maret 2021 9:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyusun Bingkai Peradaban Digital
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tidak sopan! Begitu hasil rilis Microsoft dalam laporan Digital Civility Index (DCI) 2020. Kajian ini menyoal tingkat kesopanan digital saat berinteraksi di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Sesuai keterangannya, penelitian ini melibatkan 16.000 responden di 32 wilayah, termasuk Indonesia (Kompas, 25/2). Media sosial berperan besar dalam persoalan kesopanan digital.
Riset dari Microsoft ini juga berupaya mempromosikan interaksi online yang lebih aman dan lebih sehat, serta saling menghormati dalam pola relasi komunikasi sebagai perilaku digital.
Tidak lama kemudian, kolom komentar akun Instagram diserbu netizen Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Microsoft menutup kolom komentar di sosial media (Detik, 28/2). Penelitian terbukti.
Laporan DCI selaras dengan pertumbuhan pengguna internet di tanah air yang semakin massif. Platform Hootsuite dan We Are Social memperlihatkan jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta atau 73,7 persen dari populasi (Kompas, 24/2).
Dominasi pengguna internet dikontribusi 96,4 persen melalui perangkat mobile smartphone. Fenomena ini menunjukkan bagaimana kehidupan kita semakin terintegrasi secara digital.
ADVERTISEMENT

Relasi Teknologi

Bisa dikatakan internet telah menjadi bagian penting dari kehidupan individu dan sosial. Hal tersebut semakin terlihat di saat pandemi, ketika semua kegiatan terpaksa dilakukan dari rumah.
Pandemi membuat kita semakin dalam untuk beradaptasi dengan teknologi dan internet, tanpa terkecuali. Problemnya, ada kesenjangan antara tingkat kecanggihan teknologi dengan kecerdasan penggunanya.
Prinsip utamanya, ponsel pintar membutuhkan pengguna yang juga pintar -smartphone need smart user. Kecerdasan digital bukan bermakna kepintaran akademik, melainkan keadaban dalam mempergunakan teknologi dan internet.
Jika mengacu pada temuan DCI, tiga faktor yang mempengaruhi risiko kesopanan antara lain, (i) hoaks dan penipuan, (ii) ujaran kebencian dan (iii) diskriminasi, yang juga menjadi fenomena global.
Dunia digital membawa perilaku baru, termasuk ketidakberadabannya. Hal itu diketahui dari pengakuan 5 dari 10 responden menyatakan pernah terlibat dalam perundungan -bullying. Kehidupan digital, turut serta membawa dampak-dampak buruk secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini pula yang dipotret Jaron Lanier, Ilusi Media Sosial, Sepuluh Argumen tentang Paradoks Medsos, 2019. Secara konseptual, Jaron mengingatkan kehidupan digital melalui media sosial, mengandung ancaman laten dan manifest atas otonomi dan kebebasan manusia.
Ruang digital yang terlihat bebas, sesungguhnya mengurung manusia dalam perangkap manipulasi sekaligus hidup pada konstruksi yang dibentuk oleh algoritma kecerdasan buatan. Distorsi terjadi tanpa disadari dan manusia semakin terdikte.

UU ITE dan Buzzer

Dalam ranah lokal, polarisasi politik juga terjadi seiring dengan interaksi pada media sosial. Tidak hanya itu, media sosial juga menjadi sarana dalam memainkan isu-isu politik, termasuk di periode menjelang kontestasi politik.
Peradaban digital harus tegak. Sebagaimana sebuah peradaban yang identik pada gagasan mengenai kompleksitas kemajuan sosial yang mengedepankan rasionalitas, dibarengi dengan moralitas dan etika. Di situlah prasyarat kehidupan bersama dimulai.
ADVERTISEMENT
Momentum abad ini, kita mengenal pula istilah pasca kebenaran -post truth. Sebuah kondisi yang menggambarkan kaburnya batas realitas, disertai dengan ketidakmampuan untuk menangkap kebenaran yang telah bercampur dengan berbagai kepalsuan.
Dunia digital dan media sosial memungkinkan hal itu, bersamaan dengan terbukanya ruang privat hingga bersalin rupa melalui anonimitas. Arus deras teknologi digital, tidak mampu dibendung dengan bekal literasi yang minimal.
Saat ini media sosial menjadi medium bagi para aktor yang berkepentingan secara sosial politik. Kita mengenal istilah para pemberi pengaruh -influencer hingga pendengung -buzzer telah menjadi sebuah bidang pekerjaan baru. Dalam konteks lokal maknanya terdegradasi secara peyoratif menjadi pendukung status quo.
Bahkan Jusuf Kalla dalam sebuah wawancara (Detik, 26/2) mengatakan bila instrumen politik di media sosial sebagaimana buzzer berubah menjadi sumber kekacauan, menutup ruang kritik dengan mekanisme cyber bullying.
ADVERTISEMENT
Berbagai kejadian saling lapor terkait posting di media sosial pun makin marak. Hal yang terakhir ini direspons dengan rencana perubahan UU ITE, akibat penerjemahan pasal-pasal multitafsir (Kompas, 16/2). Turunan implementasinya disikapi dengan bentuk polisi virtual.
Peradaban baru dalam dunia digital haruslah mencerminkan keluhuran budi dan kemenangan nalar atas berbagai problem patologi sosial seperti kebencian, permusuhan, kebohongan hingga perundungan, yang hanya bisa dieliminasi dengan meningkatkan kapasitas literasi.
Seluruh pihak ikut bertanggung jawab, (i) regulator harus mampu menyusun pola regulasi secara edukatif serta mencerahkan, (ii) operator platform wajib memiliki kemampuan untuk melimitasi hal-hal buruk, dan (iii) end user para pengguna pun harus mampu bersikap dan bertindak dalam batas keadaban.
Kita mulai susunan peradaban digital kali ini dengan bingkai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT