Merdeka dan Terbebas dari Belenggu Pandemi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2020 7:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi bekerja saat pandemi Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi bekerja saat pandemi Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Dunia dalam cengkraman pagebluk. Kini, pusat pertahanan terkuat kita adalah rumah. Pandemi seakan sedang memutar kembali waktu. Ruang fisik sosial kita menjadi terbatas dan dibatasi. Persoalan kesehatan menjadi arus utama.
ADVERTISEMENT
Prinsip yang dikumandangkan filsuf Cicero, salus populi suprema lex esto -keselamatan publik adalah hukum tertinggi, seolah menjadi sebuah kalimat yang mencerminkan bagaimana prioritas kesehatan harus disusun sebagai hal terpenting, terutama berkaitan dengan eksistensi keberadaan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Kesadaran itu terjadi dan meningkat seiring dengan risiko yang dihadapi. Benar bahwa manusia kerap gagal membaca sejarah. Padahal berbagai kejadian terkait wabah sudah berulang kali terjadi, harusnya meningkatkan perangkat kewaspadaan. Kita sering abai bila ancaman tersebut tidak bersifat langsung.
Menariknya, isu-isu kesehatan sebagai tema esensial kerap terpinggirkan dalam gerak maju kehidupan bersama. Jauh sebelum pandemi, kita berhadapan dengan problematika sistem kesehatan nasional yang belum memadai. Hal tersebut, semakin terbuka dan terlihat dengan jelas di masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Tema besar majalah Tempo Edisi Kemerdekaan dengan mengangkat Jejak Dokter Legendaris, memperlihatkan bagaimana peran tenaga kesehatan ternyata menjadi bagian penting dari gerak kesejarahan hidup berbangsa. Bahkan hal itu terjadi di awal permulaan bangunan republik ini dimulai, sejak zaman pergerakan hingga kemerdekaan.
Tenaga kesehatan merupakan lapisan sosial dari para intelektual yang memperoleh kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan modern di masa penjajahan. Peran dan keterlibatan mereka dalam perjuangan merumuskan format bangunan kebangsaan terbentuk.
Persis sebagaimana Karl Polanyi, filsuf Hongaria yang menempatkan tugas para ilmuwan seharusnya seperti para dokter dalam mencermati fenomena, lalu mencari kausalitas diagnosa, dan melakukan tindakan terapi. Demikian dalam makna riil, kenyataan yang dihadapi para tenaga kesehatan di era kolonial melihat realitas sosial penjajahan.
ADVERTISEMENT
Pelik dan Panik
Di era pandemi, persoalannya menjadi pelik. Kepanikan publik dalam menyikapi penularan wabah, berhadapan dengan persoalan keterbatasan sistem kesehatan kita untuk merespon perubahan yang terjadi secara disruptif. Kemampuan untuk melakukan tindakan penanganan menjadi tertinggal dari kecepatan penularan virus.
Lebih jauh lagi, publik yang secara psikologis tertekan akibat pembatasan fisik di masa pandemi memunculkan sentimen negatif atas pelayanan kesehatan. Menciptakan konstruksi seolah pandemi menjadi upaya manipulasi, merupakan konspirasi dari kepentingan bisnis, lebih dari sekadar persoalan kesehatan semata. Terjadi distorsi arus informasi yang keliru.
Pada sisi lain, pemangku kebijakan seolah tidak mampu memberikan asupan yang cukup dalam membangun ruang literasi dan edukasi publik. Bahkan upaya untuk mempercepat proses recovery kehidupan sosial ekonomi menjadi tumpang tindih dengan keharusan untuk menyelesaikan persoalan utama pandemi pada penguatan sektor kesehatan.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk pidato Kenegaraan dan pembacaan RAPBN 2021 beserta nota keuangan, maka upaya untuk memunculkan persoalan kesehatan sebagai hal penting mulai diajukan. Daya dukung anggaran dan wacana tentang penanganan kesehatan di masa pandemi menjadi domain utama pembahasan, meski sektor kesehatan merupakan pelengkap penyerta, karena diksi utamanya adalah tentang pemulihan dampak ekonomi sosial karena Covid-19.
Bahkan secara berturutan kejadian setelah itu menimbulkan berbagai pertanyaan atas komitmen penguatan sektor kesehatan, yang seharusnya melibatkan ruang partisipasi kelompok profesi. Semisal, isu tentang dokter asing yang memang dalam kerangka globalisasi menjadi bagian yang diakomodir, tetapi memunculkan narasi tersebut tanpa mengikutsertakan stakeholder terkait terlebih di situasi pandemi menjadi sebuah pernyataan yang kontraproduktif.
Lebih jauh lagi, ruang kesehatan kita tidak lepas dari agenda kepentingan politik kekuasaan, hal itu terlihat dari bagaimana penolakan sejumlah asosiasi profesi kesehatan terkait dengan pelantikan Konsil Kedokteran Indonesia -KKI. Aspirasi dari kumpulan organisasi tersebut tidak cukup mampu didengar oleh pengambil kebijakan. Dalam situasi seperti saat ini, sinergi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan menjadi hal utama, dan untuk itu sektor kesehatan sudah selayaknya memainkan peran secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Pembangunan Berkelanjutan
Padahal, kesuksesan pembangunan bidang kesehatan agenda kesehatan merupakan bagian penting dalam kerangka target pembangunan berkelanjutan -SDG's. Tidak hanya menyoal pemerataan ekonomi yang berdampak pada reduksi kemiskinan, tetapi juga menempatkan status kesehatan dan tingkat pendidikan sebagai sektor-sektor penting dari konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada manusia.
Pengambil keputusan nampak panik, melihat dampak pandemi, tetapi gagal untuk melihat kerangka besar persoalan dan merumuskan formula strategi yang sesuai dengan pokok permasalahan yakni ancaman kesehatan bagi eksistensi manusia. Logika berpikir dalam setting pembangunan yang dibangun seolah terbalik, dengan perbaikan pondasi ekonomi maka masalah kesehatan akan secara selaras terselesaikan.
Padahal tidak demikian, imunitas dan daya beli dari ekonomi publik adalah dua hal yang saling melengkapi serta tidak akan saling menggantikan, atau dalam bahasa ekonomi bersifat barang komplementer bukan subtitusional. Dengan begitu proporsi keduanya harus sejalan dan sama kuat, tengok nilai alokasi porsi kesehatan yang dalam nota keuangan direncanakan sebesar Rp 169,7 triliun atau setara 6,2 persen APBN. Disertai dengan tambahan anggaran penanganan Kesehatan anggaran sekitar Rp 25,4 triliun.
ADVERTISEMENT
Nilai alokasi tersebut menjadi tidak seimbang ketika diperbandingkan dengan nilai pembiayaan infrastruktur. Hal ini tentu menjadi krusial untuk dilihat, terlebih karena persoalan pandemi diproyeksikan masih akan berlangsung hingga 2021, bahkan mungkin bisa lebih lama lagi. Dengan begitu penekanan terhadap penguatan infrastruktur kesehatan, semestinya menjadi perhatian penting sebagai bentuk investasi strategis bagi sumberdaya manusia.
Kita berhitung nyawa, bukan sekadar angka semata. Ini tentang manusia bukan hanya data-data. Ancaman pandemi menjadi belenggu dari perayaan kemerdekaan kita ke-75, dan harus segera dipecahkan. Prinsip utamanya, Health before Wealth, bahwa kesejahteraan membutuhkan pondasi kesehatan yang paripurna. Fokus pada eksistensi manusia, sebelum memperbaiki sektor-sektor kehidupannya.
Sejarah kemerdekaan mengajarkan hal itu, bebas dari belenggu penjajahan fisik sebagai bentuk ekspresi merdeka, adalah hal utama sebelum berbicara tentang dimensi-dimensi lain.
ADVERTISEMENT
Kita harus merdeka kembali kali ini, dengan situasi yang berbeda, bahwa salus populi suprema lex esto seharusnya tidak hanya menjadi jargon yang indah didengar, tetapi merupakan kenyataan dari bentuk kemerdekaan yang terbebas dari ancaman pandemi.