Meremehkan Gerakan Mahasiswa dan Pelajar

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
26 September 2019 15:14 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Pergerakan aksi mahasiswa dan pelajar di hari-hari terakhir ini menarik untuk dicermati. Demonstrasi adalah hak yang harus dihargai dalam alam demokrasi. Refleksi atas sebuah aksi massa, adalah terdapatnya sumbatan saluran aspirasi. Format komunikasi berubah menjadi aksi lapangan.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan tampak diam dan tidak bergeming. Pokok muasalnya dimulai dari Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pemicu utama. Harapan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas UU KPK, bertepuk sebelah tangan. Tegas dinyatakan tidak akan ada kompromi, termasuk mengeluarkan Perppu. Kekuasaan menunjukan wajah aslinya.
Para Buzzer pelindung kekuasaan juga dengan sigap melindungi. Bertindak layaknya spin doctor, memutar isu, membalik narasi dan menciptakan bias di tingkat publik. Berbagai RUU yang setelahnya ditunda, bukan dibatalkan. Gerakan mahasiswa dan pelajar tidak hanya dilecehkan tetapi juga direcehkan.
Sinisme dibangun oleh kelompok Buzzer sebagai counter opinion untuk memberi cap buruk bagi aksi mahasiswa dan pelajar. Sesungguhnya, meremehkan kekuatan lapisan muda adalah sebuah kesalahan fatal. Pada perjalanan bangsa, pemuda adalah motor penggerak dari seluruh momentum kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Perlu dilihat kembali aspek kesejarahan kemerdekaan bangsa ini, yang melibatkan elemen pemuda dalam setiap perubahan. Tonggak fase pergantian pemerintahan pascakemerdekaan pun diwarnai oleh kontribusi pemuda, sebut saja Orde Lama, Orde Baru, bahkan Orde Reformasi yang menghantarkan lapisan elite politik saat ini.
Kolotnya Kaum Tua
Zaman berganti, waktu bergulir. Para aktivis pada masanya, kini menjadi pemangku kuasa. Saat roda berputar, dan mereka yang dulu menjadi anggota parlemen jalanan kini menjadi anggota parlemen dalam arti sesungguhnya. Tidak menyadari tumbuhnya kaum muda baru.
Salah satu premis sinis, terkait gerakan mahasiswa dan pelajar adalah kurangnya pemahaman atas substansi yang ditolak. Sejatinya pernyataan ini merendahkan kemampuan intelektual kelompok muda. Mereka kemudian memberi label "ditunggangi".
Benarkah itu? Bentrokan fisik yang terjadi kemudian dimaknai sebagai kegagalan proses komunikasi dalam sebuah aksi massa. Bagi yang pernah terlibat unjuk rasa, tentu pernah merasakan aliran adrenalin mengikuti situasi dinamis. Bahwa tuduhan aksi mahasiswa dan pelajar hanya menjadi kuda tunggang politik sangatlah tendensius.
ADVERTISEMENT
Sekurangnya, mereka kelompok muda ditunggangi oleh keterusikan hati nurani atas harapan keadilan, yang kini tampak kandas dalam genggaman oligarki elite politik pemegang kekuasaan. Semangat itu tentu perlu diapresiasi, karena kita masih bisa berharap pada masa depan bangsa ini.
Problem utamanya, publik memang telah terbelah dalam polarisasi politik pascapemilu. Maka, semua tindakan yang berbeda dari perspektif kekuasaan dianggap sebagai ancaman, dinyatakan sebagai elemen kepentingan dari kelompok politik tertentu.
Padahal, seluruh kelompok politik formal, baik institusi maupun aktor politik semuanya bersepakat bersama, yakni untuk mengambil sikap berbeda dari pendapat publik. Jadi, seluruh premis itu runtuh dari dasar asumsinya. Kesepakatan eksekutif dan legislatif untuk revisi UU KPK menebalkan ketidakpercayaan.
Suasana massa mahasiswa saat demo di depan gedung DPR RI, Jakarta, pada Selasa (24/9/2019). Foto: Helmi Afandi/kumparan
Isu dan Tema Receh
ADVERTISEMENT
Hal lain yang perlu dicatat dalam aksi demonstrasi mahasiswa kali ini adalah semangat untuk merecehkan politik formal. Kelompok milenial yang selama ini dianggap apatis dan tidak tertarik pada persoalan politik membuktikan kepedulian mereka.
Keberhasilan mereka kali ini, seharusnya mampu membuka mata para aktor politik. Bahwa proses edukasi politik kelompok muda justru mendapatkan kematangan melalui aksi di jalanan. Rayuan pelibatan kelompok muda selama masa kampanye politik, hanya soal perhitungan suara tanpa keterlibatan aktif.
Terbelalak. Reaksi ini tentu tidak disangka oleh pihak kekuasaan. Bergelombang, dari banyak daerah. Para pihak pendemo sangat beragam. Isu yang diangkat pun terbilang banyak. Kesamaan isu utamanya terletak pada ketidakpuasan UU KPK, sisanya adalah bentuk turunan dari ketidakpercayaan publik.
ADVERTISEMENT
Para pemuda, mahasiswa, dan pelajar milenial ini membawa ruang hidupnya untuk terlihat pada publik. Banyak capture spanduk dengan tema sangat receh. Dengan itu, mereka sekaligus membalik posisi untuk bisa meremehkan pihak-pihak yang menyangsikan kemampuan kelompok muda ini.
Kelompok pendengung di sekitar kekuasaan akan terus mendendangkan suara berlawanan dengan aspirasi kelompok muda itu. Sekali lagi, diktum utamanya, saluran perlawanan akan menemukan jalannya meski dihalang-halangi. Koreksi kekuasaan perlu segera dilakukan, bila semakin menutup diri ketidakpuasan publik akan semakin kuat terpatri.
Fragmentasi media dan sosial media juga akan terlihat. Blok pendukung kekuasaan akan memaknai aksi ini sebagai tindakan tidak bernilai. Padahal kekuasaan perlu memiliki kemampuan bertindak sensitif dan responsif. Membangun benteng dan tembok tinggi serta berjarak dari publik, hanya mengukuhkan bahwa kekuasaan tidak mewakili kepentingan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berkuasa di Atas Publik
Dalam perspektif kekuasaan, publik hanyalah sekumpulan suara politik bagi kursi kekuasaan. Selepas pemilu, suara publik tidak bermakna. Kenyataan itu memang menyakitkan, karena kekuasaan cenderung melindungi kepentingannya sendiri.
Sejurus kemudian dipertanyakan, siapa yang akan diuntungkan dari situasi seperti ini? Kepentingan siapa yang dibawa? Publik merasa tidak terwakili.
Kelompok yang kerap tampil mengusung panji demokrasi, mencitrakan diri pengabdi kepentingan rakyat yang sejati, seolah larut dalam dinamika kali ini. Hilang tertelan manis kekuasaan. Bahkan beberapa diantaranya, justru menggunakan retorika yang senada dengan intonasi penguasa.
Dengan begitu, tindakan represif penuh kekerasan dipertontonkan secara garang menghalau kelompok muda. Sementara itu, justru nampak takluk dan tidak berdaya atas para pembakar hutan. Sikap yang berbeda itu, menciptakan public distrust, bila terus dipertahankan bisa menjadi penyakit akut dan kronis, yang pada akhirnya menggerogoti tubuh kekuasaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kaum tua, berubahlah atau kalian yang akan diremehkan oleh sejarah!