Metakomunikasi Pasca-Debat

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
21 Februari 2019 19:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Capres no urut 01 Joko Widodo dan Capres no urut 02 Prabowo Subianto berjabat tangan  usai Debat Kedua Capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu, (17/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Capres no urut 01 Joko Widodo dan Capres no urut 02 Prabowo Subianto berjabat tangan usai Debat Kedua Capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu, (17/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
PERDEBATAN terjadi, sesaat ketika tirai panggung debat telah tertutup. Tampilan kontestan Pilpres 2019 saat fase debat berlangsung menjadi objek perdebatan baru.
ADVERTISEMENT
Situasi ini dapat dimaknai dalam bentuk metakomunikasi, yakni berkomunikasi di atas komunikasi. Para pendukung dan penentangnya, kemudian membicarakan apa yang terlontar di arena perdebatan.
Terkadang, kondisi perdebatan tersebut justru berlangsung jauh lebih sengit. Padahal, bisa jadi apa yang hendak disampaikan sang aktor saat bertindak selaku komunikator dalam wilayah debat, sesungguhnya tidak sedemikian seperti yang dipahami oleh para pengusungnya, bahkan mungkin bersifat lebih spontan tanpa disengaja. Disitulah permainan interpretasi diperagakan oleh mesin pendukung para kandidat.
Dinamika politik ini dipastikan semakin menghangat, seiring dengan ajang debat selanjutnya, sekaligus mendekati tenggat waktu pemilihan. Lantas, apa pentingnya memahami metakomunikasi? Komunikasi politik adalah persuasi dalam upaya memperoleh dukungan material berupa suara sah sebagai legitimasi.
ADVERTISEMENT
Pada kajian metakomunikasi, setidaknya, ada beberapa hal yang perlu dikelola, di antaranya: (a) makna implisit, (b) pesan eksplisit, (c) aspek verbal, hingga (d) faktor non-verbal. Kemampuan untuk mengelola metakomunikasi menjadi penting setelah sebuah tindakan komunikasi. Mengapa demikian? Karena komunikasi bersifat irreversible, di mana sebuah aksi komunikasi tidak dapat dikembalikan.
Meski koreksi dapat dilakukan, tetapi situasi hasil akhirnya bisa berbeda dengan apa yang diharapkan terjadi pada awal proses komunikasi berlangsung. Dengan begitu, perlu kemampuan untuk melakukan upaya reinterpretasi guna menjelaskan ulang apa yang hendak disampaikan kepada khalayak.
Bagi tim pemenangan, analisis metakomunikasi dapat diarahkan dalam dua posisi: (a) menjelaskan maksud dari kandidat yang diusung dan (b) mematahkan argumentasi kandidat lain.
Pemakaian analisis metakomunikasi juga penting untuk dilakukan oleh publik dalam mempersepsikan apa yang hendak ditawarkan oleh para calon dengan menggunakan kriteria-kriteria yang muncul dari perdebatan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Pada posisi tersebut, literasi politik publik meningkat menjadi kualitas baru. Partisipasi politik bukan pada faktor kesukaan akan figur personal, melainkan pada substansi kebenaran yang disampaikan. Meski demikian, faktor pilihan atas subjektif individual tokoh juga bukan merupakan sebuah kesalahan, karena aspirasi demokrasi memberi ruang kebebasan dalam persoalan pilihan.
Interaksi dan Integrasi
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) mengikuti debat capres 2019 putaran kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Analisis metakomunikasi harus dikaitkan dengan apakah sebuah pesan komunikasi yang dikomunikasikan ulang, dapat mendorong terjadinya interaksi yang meluas, dan membangun terbentuknya integrasi secara semakin kohesif. Dalam hal ini, poin interaksi dikaitkan dengan konten, sementara integrasi diselaraskan pada konteks sosialnya.
Apa yang menjadi kajian dari metakomunikasi pasca-debat kemarin? Terkait tema: energi, pangan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, maka gagasan besar sebagai wacana yang hendak dibawa, seharusnya, adalah hendak ke mana arah pembangunan ditujukan berkaitan dengan sektor-sektor tersebut. Jadi, kita perlu mengurai komunikasi di dalam debat menjadi bagian terinci.
ADVERTISEMENT
Pada makna implisit, debat harus membawa hal detail, maka data perlu ditampilkan. Keberadaan data sebagai sarana menghantarkan diri pada program yang ditawarkan.
Bagi petahana, soliditas data digunakan untuk menyatakan keberhasilan, sementara oposisi menjadikan data sebagai senjata untuk melayangkan serangan 'memukul'. Detail penting, meski tidak dibutuhkan rinci, bisa berupa gambaran besar berupa taksiran atau estimasi yang representatif. Terkait dengan kajian wacana, hal ini akan bersangkut paut dengan discourse (d kecil), yakni pilihan kata dalam linguistik.
Sementara pada pesan eksplisit, para pelaku debat harus mampu membawa situasi pernyataan sebagai penegasan konsep. Hal tersebut dikenal sebagai Discourse (D besar) berupa pandangan serta identitas. Dalam hal ini debat yang dibawakan oleh para kandidat harus mengusung bentuk narasi besar, maka wujud gagasan Indonesia Maju, maupun Indonesia Menang harus lebih rigid.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang harus dijawab di antaranya: Bagaimana hendak maju? Lantas mau maju ke mana? Apa saja langkah menuju kemajuan?
Demikian pula bagi oposisi, dengan menentukan apa identifikasi menang? Menang dari apa? Lalu bagaimana mencapai kemenangan?
Pemaparan secara deskriptif memberi gambaran, bisa pula eksplanatif dengan gaya menjelaskan, harus mampu mengeksplorasi apa yang menjadi tawaran paradigmatik.
Bagian verbal dan non-verbal akan selaras dengan intonasi, gesture, raut wajah, kekerapan dan tensi pembicaraan, arah emosional, gerak-gerik, bahkan tingkat keheningan beserta diam saat menyimak pertanyaan ataupun menyusun jawaban. Semua itu menjadi bagian penting dalam memaknai kompleksitas pesan yang hendak disampaikan sang kandidat sebagai komunikator kepada audiens.
Panggung Drama
Ilustrasi panggung. Foto: Unsplash/Rob Laughter
Di tengah keriuhan perdebatan diatas debat, toh, kita mafhum bila ini memang merupakan show performance di atas panggung, yang mengalami gema pada pikiran dan hati publik. Para aktor akan memainkan peran masing-masing, dari panggung belakang saat persiapan (preparation), menuju panggung depan untuk penyajian (presentation).
ADVERTISEMENT
Drama disajikan di atas panggung. Peran protagonis dan antagonis dimainkan, mengaduk emosi pemirsa, membangun ketertarikan. Karakter dimainka, dan kemudian audiens terpolarisasi mendukung aktor-aktor pujaan.
Kuncinya, persiapan prima dan presentasi yang paripurna, dengan tampilan yang meyakinkan. Di sini titik kuncinya, panggung debat harus diposisikan sebagai gelanggang bagi optimalisasi menggaet simpati.
Serangan dibutuhkan untuk menekuk lawan, jangan sisakan waktu untuk justru seolah mempersetujui pikiran kandidat lain. Dialektika dimainkan, kontradiksi diperhadapkan, untuk mencapai satu fase kesetimbangan baru.
Terlebih bagi kelompok penantang alias oposisi. Waktu yang tersisa harus dapat dioptimalkan untuk menggaet dukungan, bukan hanya pada kesepahaman rasional, tetapi juga masuk ke wilayah emosional dengan memanfaatkan paparan serta ekspose debat yang masif. Termasuk, menguasai teritori pasca-debat yang ditandai sebagai wilayah metakomunikasi. Formula harus tepat, sesuai dengan skenario, agar mencapai tujuan yang happy ending!
ADVERTISEMENT