Moment of Truth para Pendamping Politik

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
1 Maret 2019 9:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
MELENGKAPI! Fungsi keberadaan wakil pemimpin adalah melengkapi tugas kepemimpinan. Bukan sebagai substitusi, melainkan komplementer. Dalam perjalanan kesejarahan bangsa ini, peranan wakil tertinggi kepala negeri kerap kali tertutupi oleh pesona pemimpinnya. Alih-alih berbagi tugas, keberadaan seorang wakil kemudian hanya tampak menjadi pemain minor dari pengelolaan kehidupan berbangsa.
ADVERTISEMENT
Padahal syarat utama pengajuan pasangan calon pemimpin, mengharuskan keberadaan seorang wakil yang secara ideal akan menggenapi fungsi serta tugas seorang pemimpin. Terlebih permasalahan hidup bernegara terlalu besar untuk dijalankan seorang diri, perlu mitra kerja yang setara untuk merumuskan langkah-langkah strategis.
Situasi tersebut, menjadi nyata ketika formatur kandidat hendak ditetapkan oleh koalisi partai pengusung dan pendukung. Posisi seorang wakil ternyata strategis, terutama dalam kepentingan suksesi kepemimpinan selanjutnya. Hal itu menjelaskan mengapa usulan pasangan calon bagi petahana maupun oposisi menjadi pelik untuk diputuskan. Tentu dikarenakan titik negosiasi wakil pemimpin menjadi nilai tawar secara signifikan.
Mengapa wakil pemimpin menjadi penting? Banyak peran yang dapat dimainkan seorang wakil, selain mempelajari model efektivitas kepemimpinan secara langsung, wakil pemimpin juga bisa memulai investasi politik dalam membangun popularitas dan elektabilitas. Jelas karena umur kepemimpinan yang dibatasi amanat konstitusi, mengharuskan wakil pemimpin untuk berpikir tentang kesinambungan pasca periode kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Maka, pilihan pragmatis dalam Pilpres kali ini menempatkan posisi para wakil sebagai hasil kompromi serta negosiasi praktis, sebagai titik temu kepentingan politik partai-partai pendukung. Pangkal musababnya adalah presidential threshold, dan ketiadaan partai dominan yang memenuhi ketentuan tersebut, menyebabkan dibutuhkannya formasi koalisi. Lalu bagaimana melihat potensi performa para wakil menjelang debat ketiga para Cawapres dengan tema yang sangat padat: Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan serta Sosial dan Kebudayaan.
Belajar dari Dwi Tunggal
Merujuk figur kepemimpinan yang pernah ada dalam sejarah kebangsaan negeri ini, maka model Dwi Tunggal Soekarno-Hatta menarik untuk dipelajari, terlebih dalam konten serta konteks kepemimpinan di awal kemerdekaan, yang diisi oleh semangat kebebasan dari penjajahan, meski infrastruktur perangkat fisik dan lunak pemerintahan kala itu, tidak serta merta berada dalam kelengkapan sempurna.
ADVERTISEMENT
Pembagian peran antara keduanya terjadi secara efektif. Dimana Soekarno menjadi orator ulung penyebar semangat nasionalisme, pemersatu, simbol kenegaraan di berbagai pentas internasional. Sementara Hatta seorang administrator yang handal, mengelola rumah tangga Indonesia, dengan berbagai persoalan domestik di awal mula kehidupan berbangsa.
Kita memahami, kepemimpinan bukan hanya soal pemimpin dan wakil pemimpin, melainkan tentang populasi warga bangsa yang besar sebagai pemegang kedaulatan. Hal itu pula yang menempatkan kepemimpinan bukan sebagai hal individual, melainkan aspek kolektif tentang sistem yang mendukung keberadaan keduanya dalam mengatur serta mengelola bangsa.
Meski begitu, syarat awal kepemimpinan adalah tentang kecakapan, baik dalam posisi sebagai pemimpin maupun wakil pemimpin, bisa sekaligus sama tetapi tidak harus sama, karena berbeda pun tidak berarti konflik, melainkan mencari solusi terbaik bangsa ini. Berbeda pendapat dalam tugas kepemimpinan, adalah dinamika dari dialektika kepemimpinan. Justru menjadi persoalan ketika tidak ada ruang berbeda dalam mencari format solusi.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan adalah kesatupaduan antara gagasan dan tindakan, ketika telah menentukan sebuah kebijakan. Titik berbeda dapat diakomodir ketika tahap awal perumusan kebijakan. Ketika sampai pada pengambilan kebijakan, kebersamaan dikedepankan sebagai bentuk kesepahaman kepemimpinan, mengatasi dualitas dan ambigu pelaksanaan. Situasi kepemimpinan nasional itu, berbeda watak dari waktu ke waktu, bahkan pasca era Soekarno-Hatta hingga kini ada rentang jarak yang teramat berubah, ini adalah situasi dari tantangan zaman dan kepemimpinan.
Antara Kiai Ma'ruf dan Sandi
Terus terang sulit membandingkan keduanya, karena karakternya yang spesifik secara individual. Aspek personalitas Kiai Ma'ruf Amin lebih kental sebagai tokoh Agama Islam yang dekat dengan posisinya sebagai Ketua MUI, memiliki keahlian dalam berbagai bidang termasuk soal ekonomi syariah, serta kenyang dengan berbagai posisi pada berbagai jabatan publik. Seorang tokoh senior, sarat pengalaman.
ADVERTISEMENT
Sementara Sandiaga Uno, dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses, serta terjun ke pentas politik melengkapi portofolio pribadinya yang cemerlang. Dibidang bisnis dan industri, termasuk didalamnya keuangan dan manajemen, kemampuannya tidak dapat diragukan. Posisi terakhirnya dalam kontestasi politik adalah terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, wilayah teritori simbolik dari barometer politik lokal.
Perjumpaan keduanya dalam debat ketiga nanti layak ditunggu, dalam upaya menegaskan bahwa posisi wakil tidak hanya menjadi pelengkap penyerta apalagi hanya pelengkap penderita. Dengan begitu, perlu ada gagasan otentik yang dibahas dalam posisinya yang akan berperan sebagai Cawapres. Kiai Ma'ruf yang tampil minimal dalam debat pertama akan mendapatkan keleluasaan panggung.
Demikian pula Sandi yang akan tampil tanpa sekondan pasangannya Prabowo, tentu diharapkan memunculkan improvisasi terbaik, terlebih isu dalam tema debat ketiga agaknya disukai, karena terkait milenial dan ekonomi. Meski berhadapan dengan aspek senioritas, kita tentu berharap forum debat tidak menjadi ajang berbasa-basi, meski etika perlu dijaga karena mitra debatnya adalah seorang Kiai.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari jarang tersorotnya aktifitas Kiai Ma'ruf, yang justru nampak kerap hadir di acara simpul pesantren di beberapa tempat, membuat analisa atas representasi kehadiran Kiai Ma'ruf menjadi menyulitkan. Sementara keberadaan figur Sandiaga justru impresif, dengan hadir di banyak titik penjuru nusantara. Kita perlu melihat efektifitas itu nanti saat pemilihan nantinya, tetapi hal tersebut setidaknya meningkatkan popularitas Sandi, meski terus di bully dengan term “Sandiwara Uno” di sosial media. Bisa dipastikan cara-cara bullying politik seperti itu tidak akan membawa dampak berarti, justru memberi ruang bagi pembentukan simpati bagi figur yang teraniaya.
Di bagian akhir, setelah menyimak acara Mata Najwa edisi Sandi Sandiaga Uno (27/2), Sandi terlihat lebih matang dan lugas dalam melakukan eksplorasi pemikiran yang dipahaminya sebagai aspirasi publik. Najwa dengan metode interogatif mencoba membawa narasi dan kerap melakukan interupsi, kemudian nampak harus melihat posisi Sandi yang berbeda, dibandingkan keharusan memaksakan premis yang dibuatnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Tentu acara Mata Najwa dapat menjadi titik balik bagi Sandi, karena dia mampu melewati ujian itu, dan diapresiasi kehadiran dirinya ketimbang justru mengelak dari panggung forum yang berpotensi akan menjatuhkan serta mempermalukannya. Jika Anda jeli, bisa cek Google Trend keyword dengan input Sandiaga Uno baik secara sendiri maupun berpasangan dengan Prabowo Subianto nampak jauh lebih baik dibandingkan incumbent.
Bisa jadi inilah Sandi yang telah terpecahkan!