Narasi Kegilaan dan Konstruksi Konsumerisme

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
25 Maret 2020 17:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Keranjingan belanja. Perilaku berbelanja secara berlebihan--eksesif, terjadi sebagai bentuk dari konstruksi gaya hidup konsumtif.
ADVERTISEMENT
Seolah meneguhkan slogan "saya berbelanja, maka saya ada". Kondisi ini mengilustrasikan bila aktivitas belanja, telah berubah menjadi penanda eksistensi.
Perilaku impulsif, tercipta melalui konstruksi media. Secara alamiah, konteks ekonomi dilandaskan pada kepentingan produksi, distribusi dan konsumsi. Manusia menetapkan kebutuhan dasarnya.
Kini, keinginan melebihi kebutuhan. Pada posisi tersebut, kita memahami proses komodifikasi, mengubah nilai guna menjadi nilai tukar, dengan imbuhan nilai simbol.
Merek kemudian menjadi simbol pembeda. Status sosial dalam mengkonsumsi merek, menciptakan sekat kasta sosial baru. Simbol dari merek, membuat produk melebihi aspek fungsional dan estetik.
Para produsen, menciptakan kesadaran semu di benak publik tentang kenikmatan. Psikologis publik dibentuk melalui pendekatan harga diri--pride.
Barang-barang bermerek--branded, mewah--exclusive, dan terbatas--limited, seolah menjadi label mujarab yang turut mendongkrak nilai harga diri bagi konsumennya.
Ilustrasi sale. Foto: Shutterstock

Medan Simulasi

Memahami para penggila belanja yang kecanduan berbelanja, merupakan fenomena baru dari wajah modernitas. Hal ini harus mampu dilihat, dari bagaimana konstruksi itu dibentuk hingga pada level alam bawah sadar.
ADVERTISEMENT
Media memiliki peran signifikan. Teks media melalui mekanisme periklanan menciptakan hasrat yang membujuk publik mempersepsikan sebuah nilai merek. Hal itu terlihat pada kajian Yolanda Stellarosa, Kecanduan Belanja, Budaya Konsumerisme dalam Teks, Pustaka Indigo, 2020.
Bila dikaitkan dengan hierarki kebutuhan, berbekal teori Maslow, memperlihatkan tingkat kebutuhan yang berbeda dari para pecandu belanja--shopaholic, level kebutuhan mereka berada di tingkat puncak, pada pengakuan--self esteem, hingga aktualisasi diri--self actualization.
Melalui teks media, konstruksi merek diciptakan. Berbagai program dalam narasi teks media diciptakan untuk membentuk kesadaran baru. Publik menelan konstruksi tersebut sebagai hal alamiah.
Realitas semu tertanam, hingga di alam bawah sadar. Perilaku kegilaan berbelanja, membeli dan hidup konsumtif, semakin kompleks dengan kehadiran sosial media, menjadi platform sharing yang mengagungkan gengsi.
ADVERTISEMENT
Konsumen menjadi objek simulasi dalam ruang ilusi. Keinginan distimulasi menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Diskon dan sale menjadi mantra sihir. Hipnotis melalui persuasi media, menyulap kesadaran.
Warga berbelanja di sebuah department store di Singapura. Foto: Nur-Azna Sanusi/REUTERS TV via REUTERS

Memiliki atau Menjadi

Keberadaan kegilaan berbelanja, mengingatkan kita pada tokoh Ratu Marie Antoinette dalam Revolusi Perancis 1789. Sang ratu terkenal dengan hidup boros, gemar berpesta pora, menjalani kehidupan secara glamor.
Sebelum akhirnya pecah Revolusi Perancis, Antoinette menyusun etiket makan. Tata cara yang ditujukan untuk mengatur bagaimana urutan makan ala bangsawan, berbanding terbalik dengan situasi publik yang justru kelaparan di sekeliling istana.
Hal ini jelas membawa kita pada pertanyaan penting yang diajukan oleh Erich Fromm, apakah memiliki--to have, ataukah menjadi--to be?
Berbelanja dalam kepentingan peningkatan status yang seolah ditentukan oleh keharusan kepemilikan, menciptakan kegilaan. Mendorong sentimen egoi individual. Menjauhi fitrah sosialnya.
ADVERTISEMENT
Padahal sejatinya, manusia seharusnya bergerak dari memiliki berubah menjadi, terkhusus menjadi manusia yang berprikemanusiaan. Memiliki makna dalam keberadaannya bagi lingkungan dan sesama.
Kegilaan pemenuhan pribadi ini, kini terlihat dalam kondisi aktual, sebagaimana wabah COVID-19. Kepanikan melanda, berorientasi pada kepentingan individu. Hingga alat perlindungan diri bagi tenaga medis pun diborong publik, bentuk kegilaan lain.
Maka peran teks media kembali berpulang, untuk melakukan dekonstruksi ulang kesadaran publik. Menyadarkan bila kebermaknaan kita, hanya bisa terjadi bila kita memilih untuk menjadi manfaat bagi lingkup sosial kita.
Semoga wabah ini segera berlalu.