New Normal, Medan Tempur Baru dan Beban Ganda Tenaga Medis

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
7 Juni 2020 19:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Gegap gempita. Suara-suara meminta untuk segera menuju normalitas baru, semakin kencang terdengar. Istilah yang dikumandangkan melalui pusat kekuasaan, bergema. Kewaspadaan ekstra harus menjadi pemandu gerak bagi tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
Dengan angka kasus yang fluktuatif, bahkan cenderung naik, agak sulit untuk dapat memahami narasi new normal. Situasi kali ini, tidaklah sama dengan kenormalan lama, disaat pandemi belum terjadi. Virus masih terus menyebar antar manusia.
Problemnya, pukulan telak wabah menghantam keras wajah perekonomian kita. Tidak hanya itu, strategi pembatasan sosial, berhadapan dengan sifat alamiah manusia yang homo socius. Bersembunyi terlalu lama membuat manusia mengalami kebosanan, psikologinya terganggu.
Tekanan berat berganda melanda, secara ekonomi ada kontraksi yang hebat, selain itu ada kekhawatiran dalam ketidakpastian atas risiko penularan yang terjadi. Dan dalam situasi yang seolah menjadi pilihan simalakama ini, rasionalitas mengalami distorsi.
Persis sebagaimana Kubler Ross merumuskan dalam The Five Stages of Grief, 1969, mengungkapkan bagaimana fluktuasi emosional dari psikologis ketakutan manusia. Dikenal sebagai DADBA model, Denial -menolak, Anger -marah, Depression -depresi, Bargaining -negosiasi, hingga Acceptance -penerimaan.
ADVERTISEMENT
Periode kali ini, psikologi sosial publik bergerak pada batasan depresi menuju negosiasi. Di situasi ini, kerap muncul upaya menyalahkan pihak lain -blaming. Hal tersebut, menjadi beban tambahan bagi tenaga medis, yang harus bersiap mengantisipasi potensi terjadinya second wave dari penularan wabah, akibat dimulainya gelagat relaksasi atas interaksi sosial.
Terkepung Narasi Terbalik
Setelah sebelumnya dielu-elukan sebagai pahlawan dari garda terdepan pelayanan langsung Covid-19, kini tenaga medis justru mendapat sorotan tajam dari banyak pihak. Berkembangnya teori konspirasi yang menyesatkan, bersamaan dengan keinginan untuk melonggarkan pembatasan sosial, semakin menebalkan rasa ketidakpercayaan publik kepada institusi dan insan kesehatan.
Bagaimana tidak, saat ini konstruksi wacana yang terbentuk, seolah menempatkan diskursus Covid-19 sebagai sebuah rekayasa dunia medis untuk mengeruk keuntungan. Jelas ini pemahaman yang keliru dan berbahaya. Seolah Covid-19 adalah upaya manipulasi dalam membisniskan wabah. Keliru besar.
ADVERTISEMENT
Beredarnya video viral dan berbagai tanggapan buruk, yang dinarasikan sebagai upaya culas tim medis dan institusi rumah sakit, adalah hal yang perlu diluruskan. Bila tidak, persepsi yang salah, justru akan menghancurkan skenario dalam menghadapi pandemi. Stigma dan stereotip adalah musuh tambahan selain virus.
Padahal, angka kematian tenaga medis akibat penularan Covid-19 tidak dapat dibantah sebagai bentuk keganasan wabah ini. Adakah yang diuntungkan dari problematika penyakit yang tidak terlihat dan tidak bisa dikendalikan ini? Masihkah berpikir untung tetapi tertular?
Publik sudah memasuki fase Cabin Fever, yang dimaknai secara psikologis kebosanan untuk terus menerus bersembunyi dalam rumah-rumah mereka. Himpitan ekonomi menambahkan rasa keinginan untuk kembali bebas, dan memenuhi hajat kehidupan sebagai manusia komunal. Tenaga medis, kini menjadi sasaran empuk.
ADVERTISEMENT
Proses edukasi yang tidak tuntas dalam menerjemahkan new normal, yang pada gilirannya membuat publik membangun konstruksi narasi untuk menganggap bahwa virus sudah tidak ada, kembali dalam kondisi normal seperti semula. Padahal tidak demikian. Situasi ini beririsan dengan pernyataan berdamai, dan upaya membuka denyut ekonomi.
Mudah ditebak, publik membangun rasa ketidakpercayaan pada institusi dan tim medis. Segala upaya, untuk memberikan penyadaran tentang bahaya wabah, dimaknai sebagai tindakan menakut-nakuti. Distrust tercipta. Disisi lain, intervensi sistematik belum juga terbangun.
Pandemi menyodorkan realita, bahwa banyak hal harus dibenahi, termasuk soal sistem kesehatan kita. Hal ini terkait kapasitas sumberdaya, dan perangkat pendukung layanan, yang masih menjadi sumber kendala. Keterbatasan tersebut, menjadi pisau bermata ganda bagi tenaga medis.
ADVERTISEMENT
Keterlambatan penegakan diagnosa, kemudian dituding sebagai aksi ambil untuk kasus Covid-19. Sebuah klaim yang keliru atas tipisnya kepercayaan publik. Belum lagi teori konspirasi merebak, bersamaan dengan semakin nyaringnya suara para influencer.
Kebal Karena Bebal?
Tersudut. Tenaga medis berubah dari pahlawan menjadi pecundang. Selain harus menghadapi stigma negatif, kini juga harus bersiap bila gelombang kedua terjadi pasca pemberlakuan new normal. Terhimpit di pojok ring.
Dalam situasi seperti ini, perlu ada upaya serius untuk mereposisi wacana publik. Kolaborasi pemangku kebijakan dan organisasi profesi, harus mengembalikan kesadaran publik yang sudah mulai mengalami distorsi.
Kekacauan informasi, tidak cukup dikelola dengan mengandalkan sortir hoaks, tetapi juga mengendalikan kekeliruan persepsi akibat berkembangnya informasi yang salah, semisal teori konspirasi. Inilah masa di mana prediksi Tom Nichols tentang Matinya Kepakaran, 2018, bahwa aspek ilmiah keilmuan dikalahkan oleh jumlah followers.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, dibutuhkan komitmen dalam kebijakan yang konsisten dari kekuasaan, untuk terus memerangi pandemi. Kita masih jauh dari memenangkan peperangan melawan virus tak kasat masa ini. Belum saatnya menghembuskan angin harapan new normal.
Satu-satunya jalan untuk bisa keluar dari berbagai kemelut yang diakibatkan oleh pandemi, adalah dengan membangun kolaborasi yang berbasis mutual trust. Dan untuk itu, dibutuhkan kemauan untuk sampai pada tujuan serta harapan bersama, terlepas dari belit wabah.
Rasionalitas harus menjadi alat bantu, dibangun dan dikuatkan. Kekebalan tidak bisa dipupuk dari kebebalan. Karena hal yang sulit disembuhkan adalah virus akal budi, yang menumpulkan kemampuan untuk berpikir penuh kesadaran.
Fase new normal menjadi medan tempur yang ambigu bagi tenaga medis. Pada satu sisi berjuang melawan wabah, di sisi lain harus memerangi kebebalan publik. Perlu dukungan dalam sikap tegas dari pemangku kebijakan. Semoga kita secepatnya berbenah.
ADVERTISEMENT