news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ningsih Tinampi, Model Solusi Defisit BPJS Kesehatan

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
10 Desember 2019 10:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Membludak! Antrian pengobatan alternatif Ningsih Tinampi dari Pasuruan, Jawa Timur, telah penuh terdaftar hingga 2021. Jumlahnya sekitar 30.000 pasien.
ADVERTISEMENT
Dibalik semua kontroversinya. Itulah wajah dunia kesehatan kita. Bahkan saking panjangnya antrian pasien reguler, sampai dibuat jalur khusus--fast track.
Pasien yang datang pun sangat beragam latar belakangnya. Mulai dari soalan psikis sampai memang problem medis. Semua penyelesaiannya, cuma Ningsih Tinampi yang mampu menjawab.
Sementara itu, dalam realitas sistem kesehatan nasional, program BPJS Kesehatan justru terus berhadapan dengan problem defisit menahun yang tidak kunjung terselesaikan.
Efek Populer Bandwagon
Kedua fenomena itu menarik untuk dikaji. Apa pelajaran pentingnya?
Pertama: edukasi masalah kesehatan medis, masih berhadapan dengan basis kepercayaan tradisional. Penyelesaian ilmiah, berhadapan dengan aspek metafisik--yang tidak kasat mata.
Kedua: publik selalu berupaya mencari jalan keluar secara mandiri dari persoalan yang dihadapinya. Termasuk untuk mencoba pengobatan alternatif, guna mendapatkan kesembuhan.
ADVERTISEMENT
Ketiga: keberhasilan dari pengobatan alternatif, satu yang bisa dipastikan adalah tentang sugesti melalui testimoni. Referensi word of mouth lebih memiliki makna, dibandingkan ilmu dan peralatan kedokteran canggih.
Keempat: viralitas menunjang popularitas. Maka terpaan media, dan percepatan penyampaian pesan melalui dunia digital, bergerak melampaui ruang batas wilayah dan aktif menghampiri para pasien yang berharap terbebas dari penyakit.
Kejadian sebagaimana Ningsih Tinampi bukan kali ini saja, dulu bahkan ada Ponari sang bocah pencelup batu yang terkenal mujarab. Apa yang populer, kemudian menjadi trend, membentuk apa yang dalam bahasa ilmu komunikasi sebagai Bandwagon Effect, yakni efek ikutan dari histeria arus massa.
BPJS Kesehatan Belajarlah
Terus apa gunanya melihat kasus Ningsih Tinampi? Apakah ada kesalahan di situ? Tidak ada yang bisa memastikan hal itu, semua dilandasi rasa saling percaya, mutual trust, bahkan bisa jadi lebih dari itu.
ADVERTISEMENT
Pengaruh dan dampak pengobatan, bisa dan sangat mungkin dipengaruhi oleh sikap dari suasana psikologis melalui sugesti. Pada kasus Ningsih Tinampi, hal itu dibuktikan melalui tingkat penerimaan dan kepercayaan publik yang sangat tinggi.
Situasi yang sama terjadi pada para pengikut Dimas Kanjeng, yang terkenal mampu menggandakan uang. Mereka, justru menolak menyatakan diri tertipu. Terdapat keyakinan, bahkan masih amat sangat percaya pada karomah Dimas Kanjeng. Meski terbukti semuanya fiktif belaka.
Untuk hal itu, tampaknya BPJS Kesehatan harus mampu belajar, dalam upayanya menuntaskan masalah defisit keuangan.
Pertama: memastikan terciptanya level trust yang tinggi dari publik kepada pemberi layanan, dengan begitu sesungguhnya publik akan mampu dan berupaya terbaik dalam memenuhi kewajibannya.
Bayangkan premi rendah, ditambah dengan klaim sepihak defisit terjadi karena perilaku dokter, sudah pasti meruntuhkan bangunan kepercayaan kepada pemberi layanan.
ADVERTISEMENT
Padahal ketika tingkat kepercayaan terbentuk dalam tingkat tinggi, maka besaran nilai biaya atau premi menjadi sangat relatif, tergantung pada harapan yang hendak dicapai di akhir proses.
Kedua: menciptakan viralitas positif yang menjangkau segmen sasaran penerima layanan, plus termasuk diantaranya untuk dapat masuk ke lapisan yang memiliki kemampuan bayar, untuk berdisiplin dalam membayar premi dengan baik, sehingga mendukung alur cash flow BPJS Kesehatan.
Untuk itu pula, seharusnya pengelolaan treasury yang sigap memastikan imbal hasil investasi dari dana pooling yang di-mix atas premi mandiri dan premi yang dibiayai pemerintah.
Ketiga: tata ulang proses dan prioritas layanan, fast track dapat dipersiapkan, bilamana terdapat urgensi dalam proses rujukan. Hal ini berakibat pada pembukaan akses meluas. Sehingga akan semakin mempermudah publik untuk dapat dilayani.
ADVERTISEMENT
Pada tahap yang paripurna, potensi adopsi model layanan Ningsih Tinampi sebagai bagian dari treatment di BPJS Kesehatan mungkin perlu dipikirkan.
Mengapa begitu? Setidaknya karena hal itu selaras dengan laku budaya publik yang mencari model penuntasan penyakit sesuai dengan resonansi individual atas apa yang dipercayai.
Bila selama ini, dokter dianggap menjadi faktor penyebab dari kebocoran anggaran BPJS Kesehatan. Sebagai akibat dari over-utilisasi tindakan medis, maka dengan pengobatan ala Ningsih Tinampi model pengobatan dan pembiayaan menjadi lebih sederhana dan efektif.
Mungkin sudah saatnya dimasukan dalam kurikulum kesehatan dan kedokteran kita, metodologi Ponari dan Tinampi, sebagai alternatif model penyelesaian problem medis. Sekaligus menjadi jawaban sebagai solusi pamungkas atas defisit BPJS Kesehatan yang sudah berlarut-larut.
ADVERTISEMENT
Toh, kita sudah mulai berwacana dan melirik, untuk mengakseptasi kerokan dan terapi mak erot agar dijadikan sebagai bentuk wisata medis. Kenapa tidak sekalian saja?