Pandemi, Ketimpangan, dan Bayang Kematian

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
25 Maret 2021 15:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pandemi, Ketimpangan, dan Bayang Kematian
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Mati! Misteri terbesar dalam kehidupan manusia adalah berpisahnya jiwa dari raga. Kematian menjadi bagian tidak terpisahkan atas kehidupan, sekaligus hal yang ingin dihindari.
ADVERTISEMENT
Batas akhir ini tidak dapat dipungkiri, ada kesendirian dikesunyian kematian. Rumah sakit dihadapkan pada berbagai pilihan sulit, menangani pasien tidak ubahnya bersikap sebagai hakim pemberi vonis, meski tidak diinginkan.
Pandemi menciptakan situasi penuh obituari. Kematian semakin sering terdengar. Kabar duka itu mulai datang dari lingkaran terdekat dan mendadak, seakan tercekat. Tulisan Sindhunata (Kompas, 19/3) Jeritan Kematian Kala Pandemi, seolah mewakilan kegelisahan tersebut.
Bahkan lebih jauh, kritik yang dimunculkan justru hadir manakala ruang politik menjadi kedap untuk urusan keselamatan publik.
Padahal frame keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi -salus populi suprema lex esto, kerap terdengar dan berdengung di mana-mana.
Keselamatan tidak hanya menyoal selamat jiwa dan raga, lebih jauh lagi juga soal ekonomi dan perlindungan atas penghidupannya. Kritik Sindhunata mendapatkan tempatnya manakala hiruk-pikuk korupsi dan pilkada justru lebih mencuat dibandingkan upaya-upaya serius mengatasi pandemi.
ADVERTISEMENT
Sepanjang sejarahnya, persoalan wabah ditandai dengan momentum kebangkitan baru. Termasuk catatan dokumentasi era kolonial, yang menyebutkan kemunculan kaum terdidik pribumi sebagai dokter kesehatan dalam mengatasi wabah pes di Hindia Belanda pada abad 19.
Keberadaan para dokter ini selaras dengan tumbuhnya ruang pelayanan kesehatan di tanah air. Tengok dokumentasi nasionalisme dalam tulisan Hans Pols, Merawat Bangsa, Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, 2019.
Tidak hanya bertugas mengatasi pertambahan jumlah angka penularan dan kematian. Para dokter pribumi juga mulai berbicara tentang ketidakadilan dan prinsip kesetaraan.
Pasca-kemerdekaan, dokter dan rumah sakit menjadi garda terdepan dalam mengawal tingkat kesehatan publik. Berbagai rumah sakit dengan latar keagamaan dan berbasis organisasi kemasyarakatan mulai muncul.
Peran swasta hadir, menginisiasi berbagai rumah sakit, ketika negara tidak memiliki kemampuan untuk menjangkau seluruh penduduk secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Masalah kesehatan di awal kemerdekaan tenggelam dibandingkan dengan upaya mempertahankan kemerdekaan dari agresi penjajah serta pemberontakan, di samping kemiskinan dan persoalan kelaparan yang lebih dominan.
Seiring waktu, persoalan kesehatan mendapat perhatian secara bersamaan dengan gagasan pembangunan. Runutan kisah tersebut terurai dalam buku Vivek Neelakantan, Memelihara Jiwa-Raga Bangsa: Ilmu Pengetahuan, Kesehatan Masyarakat, dan Pembangunan Indonesia di era Soekarno, 2019.
Masalah kesehatan mulai dipandang krusial dalam mendukung kemajuan bangsa, sesuai dengan tujuan kemerdekaan.
Rumah Sakit, Kini dan Nanti
Ruang transisi. Rumah sakit sebagai sebuah institusi pemberi layanan kesehatan berada di antara emosi dan harapan, bak surga dan neraka. Pilihan bagi para pasien yang berkunjung ke pusat kesehatan adalah pulih atau berpisah dari kehidupan fisik. Pandemi semakin menempatkan peran penting keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Sebuah rumah sakit mengintegrasikan berbagai kompetensi. Tidak hanya dalam kelolaan aspek medis, termasuk pelayanan non medis. Dengan begitu, interaksi pelayanan di rumah sakit menjadi multikompleks.
Sebut saja berbagai profesi medis yang bernaung di dalamnya, seperti: dokter, perawat, laboran, radiolog hingga apoteker, belum berbagai bidang profesi lain sebagai sistem pendukung.
Ilustrasi sederhana dalam menimbang keberadaan rumah sakit adalah padat karya, padat modal dan padat konflik. Selama ini, rumah sakit menjadi oase bagi pencari kesembuhan, sekaligus merupakan ruang mengumpat karena kekecewaan dan kesedihan.
Keberadaan rumah sakit yang terbatas, memerlukan dukungan kuat untuk mengoptimalkan perannya secara signifikan, terutama dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Di rumah sakit, tidak hanya ada pasien yang berharap sembuh dari penyakit, tetapi juga ada tenaga medis yang berjuang untuk membantu pasien melewati masa sulit yang menyakitkan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ekosistem yang saling bergantung tercipta dan membutuhkan kesepahaman dalam membangun kerja sama, sekaligus menumbuhkan sikap saling percaya, meminimalkan potensi konflik.
Di tengah periode penuh ketidakpastian sejalan dengan pandemi yang masih terjadi, keberadaan rumah sakit perlu diperkuat. Wabah yang menular, menjadi semakin viral dengan lalu lintas yang bersifat global.
Dalam pandemi, tidak ada yang dapat selamat bila tidak terbentuk ketahanan sistem kesehatan nasional, dengan kontribusi seluruh pusat kesehatan publik termasuk rumah sakit. Teknologi menjadi alat bantu, konsep rumah sakit tanpa dinding terbentuk melalui konsultasi telemedik.
Di saat bersamaan, tantangan dan disrupsi mengguncang rumah sakit. Arus investasi asing berpotensi mengancam eksistensi lokal. Dinamika baru mengadang pengembangan sistem layanan kesehatan domestik, dengan adopsi model kompetisi pasar bebas.
ADVERTISEMENT
Pandemi membuat ruang tertutup dan gelap, tidak hanya tentang bayangan kematian bagi manusia, tetapi juga menjadi periode sulit bagi institusi kecil pemberi layanan. Sekali lagi, pandemi juga memiliki dampak atas munculnya kerentanan termasuk ketimpangan dan kemiskinan.
Hal-hal buruk ini menyeruak bersamaan dengan terbukanya kontak pandora, sementara para aktor pengambil kebijakan masih sibuk dengan urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan secara politik. Kita perlu belajar dan kembali belajar.