news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Politik dalam Restu Ulama

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
9 Maret 2019 4:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
MENARIK! Hasil temuan survei LSI Denny JA pada periode terakhir mencoba mengurai apa yang ada dalam benak publik, terkait persoalan kompetisi politik dengan bobot unit analisis berbasis relasi Agama atas preferensi politik. Hasil kesimpulan yang dinyatakan sebagai kesimpulan relatif singkat, bila kemudian para tokoh ulama yang didengar publik netral, maka hasil survei akan menjadi relevan.
ADVERTISEMENT
Potret hasil temuan LSI Denny JA, terkait dengan riset atas Pilpres menempatkan Jokowi unggul telak atas Prabowo dengan selisih yang signifikan, sekitar 28 persen. Angka ini ada dalam rentang fluktuasi yang relatif konsisten pada temuan LSI Denny JA, pada kurun enam bulan terakhir, sehingga diperkirakan pada sebulan menjelang pencoblosan ini, ketika tidak ada isu yang terlalu dominan, maka bentuk proyeksi politiknya tidak akan berbeda dengan hasil penelitian tersebut.
Pada situasi tersebut, konsekuensi dengan potensi sebaliknya dapat berubah, dan berbalik akan terjadi, bila para ulama dengan kriteria memiliki jumlah audiens yang besar tersebut, mengkonsolidasikan dukungan politisnya bagi salah satu pasangan calon. Sekurangnya, ada tiga kriteria ulama yang menjadi indikator serta barometer publik, yaitu (a) tingkat keterkenalan, (b) tingkat kesukaan, dan (c) kemampuan untuk memberi pengaruh.
ADVERTISEMENT
Lantas merujuk nama, Ustadz Abdul Somad menjadi top rank, disusul Ustadz Arifin Ilham, lalu Ustadz Yusuf Mansur, hingga Ustadz Aa Gym dan Habib Rizieq Shihab. Perubahan pengaruh para ulama ini memang akan mungkin terpolarisasi, mengingat pasangan petahana menempatkan Kiai Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden.
Persoalan politik kita memang tersedot pada pusaran elit, menjadi apa yang dikenal sebagai istilah plutokrasi. Posisi publik dibutuhkan manakala periode pemungutan suara dilaksanakan, para penguasa membutuhkan legitimasi dengan mengumpulkan jumlah suara secara mayoritas. Pada kondisi itu, maka para ulama kemudian mewakili peran yang representatif, manakala kompetisi elit politik berlangsung sengit.
Bukan tanpa sebab para ulama tersedot dalam pusaran politik, karena mereka yang selalu berinteraksi secara sosial dan langsung kepada publik dari hari ke hari, termasuk menyuarakan apa yang merepresentasikan kepentingan publik. Meski domain komunikasinya berada di ranah keagamaan, tetapi terkadang persoalan politik tidak terhindarkan untuk dibahas, termasuk soal bagaimana konsep kepemimpinan ditegakkan dalam konteks keIslaman.
ADVERTISEMENT
Pasca testimoni Ustadz Yusuf Mansur atas pengenalan individunya kepada petahana, menyusul TGB, maka setidaknya dukungan tidak langsung tersebut dimaknai sebagai bentuk verbal dukungan secara implisit. Pada sisi yang berbeda Habib Rizieq Shihab, melalui komando Ijtima Ulama memberikan restu bagi Prabowo dalam kontestasi Pilpres kali ini. Praktis, tersisa Ustadz Abdul Somad, Ustadz Arifin Ilham dan Ustadz Aa Gym yang belum memberi arah dukungan secara terang.
Bila kemudian para ustadz yang kharismatik tersebut, dalam kriteria terkenal, disukai dan berpengaruh tersebut, dalam frame LSI Denny JA akan membuat ruang tanding Pilpres netral. Tetapi netralitas akan terguncang, bila pada fase akhir ada pernyataan terbuka atas dukungan politik salah satu kubu, tentu menjadi ancaman bila para ulama tersebut justru memberikan mandat bagi kubu oposisi. Dengan demikian, ulama menjadi bagian yang diperebutkan.
ADVERTISEMENT
Ormas Islam dan Pemaknaan Radikal
Bila kemudian merujuk peta organisasi Islam di Indonesia, representasi terbesarnya ada dalam jejaring NU dan Muhammadiyah. Pada kondisi tahun politik kali ini, NU telah secara lugas memberikan ekspresi politiknya kepada petahana, terlebih Kiai Ma'ruf Amin adalah tokoh NU sebagai mantan Rais Aam PBNU sebelum pencalonan Pilpres.
Dalam sejarah politik lokal, pada konstelasi wajah politik domestik, sejumlah kader NU juga berlabuh di banyak partai politik, termasuk bagian besarnya terdapat di PPP, PKB maupun Golkar. Dimana ketiganya, menjadi koalisi pengusung dari pasangan calon petahana pada kontestasi Pilpres kali ini.
Sementara itu, Muhammadiyah justru menyatakan diri netral, meski menyarankan agar menggunakan hak dalam partisipasi politik. Meski dalam bentuk tersamar, ada afiliasi historis secara tidak langsung dengan organisasi PAN, dijembatani oleh figur Amien Rais yang secara terang-terangan menjadi koalisi pendukung kubu oposisi, melalui Prabowo-Sandi.
ADVERTISEMENT
Interpretasi atas temuan riset LSI Denny JA dalam poin kesimpulan, seolah menegaskan bahwa kelompok Islam tradisional dan moderat memberikan dukungan kepada Jokowi, sementara Islam konservatif yang berorientasi Timur Tengah dan FPI menjadi penyokong bagi Prabowo. Hal ini nampak serempak dengan pernyataan Ketua Umum PPP Romahurmuziy yang menyebut HTI bersembunyi di balik kubu pendukung oposisi.
Hal ini, tampak sebagai framing yang dibenarkan melalui hasil survei bahwa kekuatan kelompok radikal Islam disimbolkan melalui HTI, sebagai sebuah organisasi yang dibubarkan karena bertentangan dengan falsafah Pancasila. Dengan demikian, kelompok penanding dari pihak petahana, berasosiasi dengan sikap intoleran. Padahal situasi melalui ilustrasi Islam “garis keras” tersebut, akan sangat sulit untuk didekatkan dengan Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat.
ADVERTISEMENT
Akankah Ulama Bersuara?
Meski samar-samar dan tidak bersuara lantang secara langsung, arah jejak digital para Ulama berpengaruh tersebut, dapat ditafsirkan merestui pihak oposisi. Sesuai pernyataan LSI Denny JA, ketika para Ulama kemudian ikut terbuka dalam dukung-mendukung politik, akan mengalami ketergangguan pada citra ulama, khususnya pada para pendengar yang netral.
Periode sebulan terakhir ini tentu akan menjadi rawan, isu yang berkembang di waktu pendek ini menjadi penentu. Meski soal Agama hendak dilepaskan dari pilihan politik, tetapi harus diakui bahwa peran keagamaan dan tokoh agama menjadi penting. Para ulama yang tersorot, sebagai ulama besar tersebut tentu akan berpengaruh. Terlebih, para ulama yang masuk di kerumunan publik, dalam dakwah yang senyap.
Bila kemudian para ulama semisal UAS, Ustadz Arifin Ilham dan Aa Gym memberikan pernyataan di putaran penentu, kita tentu akan melihat bagaimana kemampuan pengaruh dan didengarnya para ulama, dapat menjadi rujukan pilihan politik. Tapi ulama memang selalu seperti itu, para ulama dikunjungi jelang momentum politik, karena berharap mendapat efek elektoral dari kemuliaan dari para pemimpin umat tersebut.
ADVERTISEMENT
Tentu kita menunggu suara para ulama di etape terakhir ini, sebagai pamungkas yang paripurna, yang dapat menentukan arah angin politik, semoga pembaharuan terjadi bagi kepentingan umat secara lebih luas!.