Post Truth dan Selubung Kepentingan

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
25 Februari 2020 8:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Hoaks beredar! Berita palsu nan bohong, justru viral dan mengguncang. Konsekuensinya, publik diliputi dengan rasa ketakutan, kekhawatiran, serta ketidakpercayaan. Keberadaan teknologi menjadi alat bantu, bagi persebaran masif dari informasi yang keliru.
ADVERTISEMENT
Berita bohong, mengasumsikan terjadinya manipulasi informasi. Tidak hanya misinformasi, di mana penyampaian komunikasi terjadi secara tidak utuh, melainkan juga telah memasuki ranah disinformasi.
Ketika kita membicarakan situasi disinformasi, maka terdapat kepentingan dalam upaya sadar, untuk melakukan pembiasan makna dan pesan.
Kebohongan akan tampak seolah nyata dan pada akhirnya dapat dipercaya, tentu dilakukan secara terencana. Dipersiapkan dengan berbagai argumentasi yang menyertainya. Lapisan bohong tersusun bertingkat.
Jadi, hoaks adalah sebuah berita yang telah disusun oleh aktor pelakunya. Berita bohong alias fake news jelas bukanlah terkategori sebagaimana berita yang kita kenal. Justru menanggalkan kategori berita dan yang tersisa adalah kebohongannya semata.
Pada sebuah pemberitaan, maka unsur kelengkapan berita dan prinsip kode etik jurnalistik menjadi pemandunya. Fake news tidak bekerja dalam alur sistematika tersebut.
ADVERTISEMENT
Skemanya hit and run, mengabaikan proses verifikasi dan keberimbangan berita. Hal ini jelas membuat publik selaku khalayak informasi, berada dalam kebingungan serta kebimbangan. Maka keberadaan fakta menjadi terabaikan, lantas publik bergantung pada naluri emosional.

Manipulasi Informasi

Tetapi apa yang nampak sebagai fakta pun, sesungguhnya dapat berupa fakta rekayasa dan imajiner. Faktoid, adalah hal-hal yang nampak sebagai fakta dan terbungkus dalam informasi kebohongan.
Mengutip Daniel J Levitin, 2017 dalam Weaponized Lies, How to Think Critically in the Post-Truth Era, maka sebuah kebohongan dapat disembunyikan melalui tiga hal; Pertama: Selubung angka-angka. Kelemahan manusia dalam melihat deretan numerik adalah kecenderungan mudahnya mempercayai sebagai kebenaran.
Hal kedua: Tabir kata-kata. Kemampuan melakukan pengolahan narasi menjadi satu deskripsi yang seakan otentik, menciptakan persuasi bagi pembentukan opini publik.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ketiga: Hadir melalui interpretasi yang dikembangbiakkan. Para pakar dengan kepentingannya mendorong konsensus publik tentang apa yang dianggap menjadi kebenaran.
Kancah politik adalah medan terbuka bagi pertempuran kebohongan. Pernyataan bohong penuh kepalsuan, terlontar di ruang publik. Tanpa kemampuan literasi dalam melakukan checking, terdapat perangkap filter bubble untuk meresonansi peneguhan kebohongan.
Dalam ruang politik, hal itu lazim terjadi. Aspek pragmatik, melepaskan prinsip etik. Ranah politik lantas menjadi wadah ekspresi dan kehendak untuk menggenggam kekuasaan. Era digital dan sosial media semakin mempermudah, proses amplifikasi pesan kebohongan.
Terbentuknya masyarakat berjejaring, mengandaikan proses penyampaian pesan berantai, pada ruang digital yang tidak terbilang. Kehadiran teknologi, membawa serta dampak negatif bersamanya. Tetapi teknologi tidak bergerak secara sendiri, sang sutradara mengatur peran.
ADVERTISEMENT
Data, fakta dan informasi diacak, disusun, dan diatur ulang agar sesuai dengan irama yang diinginkan oleh pemilik kepentingan. Pesan komunikasi yang telah dimanipulasi, selanjutnya direproduksi. Arus pertukaran informasi yang berjalan secara real time, mengakibatkan overload.
Memisahkan yang bohong dari yang sebenarnya, membutuhkan kemampuan dan kesabaran untuk mencerna dengan cermat, bagaimana susunan informasi tersebut hadir dan diperuntukan. Formulasi sederhananya read back and check fact penting untuk dikembangkan.

Demokrasi Ruang Digital

Krisis komunikasi terjadi pada ruang digital. Proses komunikasi tidak ditujukan untuk membangun kesepahaman, justru menghasilkan keterbelahan. Era post truth adalah masa di mana terjadi percampuran serta persenyawaan antara kebohongan dan kebenaran.
Kemampuan untuk mempertahankan argumen, meskipun adalah hal yang bohong, ditopang dengan kemampuan untuk membangun khalayak yang bertindak sebagai supporter.
ADVERTISEMENT
Peran media massa yang dulu menjadi mutlak sebagai medium dan kanal informasi, kini digantikan media sosial. Lengkap dengan sifatnya yang user generated content, di mana semua bisa bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen informasi.
Tantangan politik dan demokrasi di abad digital, terletak pada kemampuannya untuk mempergunakan norma dan etika sosial sebagai pemandu geraknya. Tidak berfungsinya kanal politik formal, digantikan oleh ketidakpercayaan publik melalui ruang digital.
Sesaknya dunia maya, disebabkan oleh maraknya informasi bohong, yang diproduksi pada suatu tujuan tertentu, ternyata tidak mampu mengembalikan fungsi dan peran media mainstream dengan kekuatan verifikasinya. Mengapa? Karena media massa pun bersikap partisan.
Mundurnya peran media massa, ditambah dengan pragmatisme institusi politik, menciptakan ruang yang luas bagi timbulnya apatisme politik. Partisipasi publik menuju emansipasi dalam bidang politik, tidak terbentuk. Sebaliknya, kepentingan kelompok semakin menguat. Demokrasi hidup dalam himpitan serta tekanan.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan Averin Davis, 2019 pada Political Communication, A New Introduction for Crisis Time, maka era post truth bersanding dengan post public sphere yang berujung pada situasi post democracy.
Kosongnya ruang kebenaran disebabkan ruang publik tidak sepenuhnya steril dari dominasi kepentingan kekuasaan. Ruang publik yang seharusnya bersifat setara, justru ada dalam hegemoni kekuasaan. Sejurus kemudian, demokrasi berhadapan dengan kepunahan.
Alternatif langkah yang dapat dikembangkan untuk mengatasi lapuknya demokrasi adalah peran gerakan masyarakat sipil untuk melakukan koreksi dan pencerahan politik bagi publik, mengoreksi jalur politik prosedural agar tidak justru menghadirkan pilihan anti demokrasi.
Pertanyaan besarnya yang belum bisa dipastikan adalah, sampai kapan situasi krisis demokrasi akan berlangsung? Dan bilamana situasi krisis demokrasi akan mampu menghasilkan kualitas baru bagi demokrasi itu sendiri? Kekuasaan otoritarian menghasilkan kontradiksi dan negasi pada dirinya. Hanya waktu dan situasi sosial yang akan menciptakan kematangan proses sosial tersebut!
ADVERTISEMENT