news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Rekonsiliasi dan Imajinasi Sensor

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
11 Mei 2019 23:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan politik nasional pasca pemilu belum kembali ke kondisi normalnya, sengkarut persoalan muncul dan masih menjadi perdebatan yang tidak henti. Dinamika politik bahkan seolah semakin menjadi.
ADVERTISEMENT
Peta pertarungan politik seharusnya diselesaikan dengan mekanisme pemilu, tetapi nampak-nampaknya jalan itu masih panjang.
Beberapa hal yang kemudian muncul dalam narasi besar dari pihak oposisi diantaranya, (a) kecurangan dalam format terstruktur, sistematis dan masif, termasuk gagal hitung alias salah input, (b) people power sebagai ekspresi penolakan atas kecurangan, serta (c) misteri kematian 500 petugas pemilu.
Sementara itu di sisi lain, diskursus pihak petahana, seperti (a) penyebaran berita bohong alias hoax dan hate speech, (b) tindakan makar dan anjuran gerakan massa, serta (c) koalisi radikal anti Pancasila.
Pada kedua benturan issue tersebut, maka bisa dipastikan akan terdapat kesulitan untuk membangun komitmen bersama pasca pemilu, bukan sekedar koalisi tetapi sekaligus berkolaborasi, demi masa depan bangsa dan negeri ini.
ADVERTISEMENT
Diperjalanannya, beberapa langkah kubu incumbent justru semakin menguatkan friksi yang sudah memanas, sebut saja (a) rencana pembentukan tim hukum untuk menyortir ucapan para tokoh, (b) dilanjutkannya kasus UBN dengan tuduhan pidana pencucian dana umat, hingga (c) tindakan teguran dan klarifikasi kepada UAS.
Meniti Pengakhiran
Situasi ini jelas mengakibatkan semakin tertutupnya peluang dalam harapan rekonsiliasi. Perspektif dalam pendekatan pengelolaan konflik, menempatkan upaya mendorong rekonsiliasi selayaknya menjadi bagian dari resolusi bersama.
Maka serangkaian tindakan petahana tersebut, semakin menyulitkan kerangka mencapai perdamaian. Rekonsiliasi hanya dapat dibangun dengan; (a) meredakan situasi ketegangan, (b) mampu memahami sudut pandang pihak lain, (c) menunjuk pihak penengah, dalam hal itu bisa berupa otoritas legal, ataupun pihak informal lain yang dipercaya.
ADVERTISEMENT
Mengapa situasinya sedemikian pelik? Pertama: upaya sensor dalam bentuk screening ucapan atau bahkan ujaran, sesungguhnya bentuk tindakan anti demokrasi yang seharusnya ditopang oleh prinsip kesetaraan, keadilan dan kebebasan.
Kedua: bahwa people power tidak dapat diperlekatan pada stereotype sebagai upaya makar, jika kita melihat hal ini secara berbeda dan dalam kerangka positif ekspresi pemikiran yang berbeda, maka kondisi ini jelas mematikan semangat keberagaman berpendapat di alam demokrasi.
Ketiga: pemahaman terhadap Pancasila harus ditempatkan dalam konteks aktual, tidak berarti bahwa kepercayaan yang berlainan harus diberangus, selama berada dalam bentuk yang tidak berlawanan, tetap dapat dilindungi dalam kebhinekaan, serta tidak terstigmatisasi sebagai bentuk radikalisme.
Bersama Pasca Pemilu
Upaya rekonsiliasi hanya dapat berhasil jika semua pihak menurunkan ego individualnya, meredakan tensi pertentangan, dalam posisinya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Maka langkah-langkah terakhir yang diambil pemerintah, dapat diilustrasikan sebagai stimulus memantik api pada tumpukan jerami kering dalam cuaca kemarau. Langkah tersebut, dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan.
Pihak incumbent, seolah membangun tembok pemisah antara pendukung dan pihak lain -liyan oposisi. Maka pihak yang berseberangan pada akhirnya bisa memberikan tafsir berbeda, seperti; (a) menyortir ujaran, dapat pula dianggap menjadi sensor gagasan bagi oposisi.
Sementara itu, pada (b) kasus UBN, ditarik pada kegagalan kemampuan memaknai dana publik dan perbedaannya dengan dana negara, sumir pelapor dan kepentingan yang dirugikan, (c) setting kasus UAS, menyisakan ruang ketidakadilan yang timpang bagi pendukung oposisi, mengingat sedemikian banyak petinggi daerah yang juga secara terang benderang mendukung paslon petahana.
ADVERTISEMENT
Pemerintah yang menjadi representasi kekuasaan yang sedang berlangsung, sekaligus sebagai aktor politik yang secara bersamaan sedang bertanding, harus bisa memperlihatkan wajah lembutnya. Disisi lain, oposisi dituntut pula untuk dapat berlaku konstitusional, mengarahkan aspirasi melalui kanal-kanal legal yang tersedia.
Pada kenyataannya, pasca pemilu kita tidak juga berhenti, justru selalu berada dalam lingkup perang propaganda, dimana masing-masing pihak memainkan upaya untuk mempengaruhi opini publik sekaligus melakukan dominasi dan kontrol terhadapnya. Termasuk mempergunakan berbagai teknik propaganda, seperti; memberi julukan -name calling, tebang pilih -card stacking, penyamarataan dengan keberpihakan -glittering generalities.
Dengan keseluruhan situasi yang ada, nampak celah rekonsiliasi menjadi semakin sempit. Imajinasi kita sedemikian liar pada upaya pengekangan dan pemberangusan suara-suara yang berbeda. Dan hal itu menjadi sinyal ancaman berbahaya bagi kehidupan demokrasi!.
ADVERTISEMENT