Siapa yang Untung dari Rapid Test?

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
10 Juli 2020 20:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Batas atas. Nilai biaya untuk pemeriksaan tes cepat Covid-19, dikenal sebagai rapid test dipatok menjadi 150 ribu. Sebelumnya mekanisme pasar berlaku. Melalui surat edaran dari Kementerian Kesehatan, nilai tertinggi diatur. Diberbagai media massa, termuat informasi tentang ancaman sanksi bila terjadi pelanggaran atas aturan yang telah ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Kita perlu cermat melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Penulis pernah mengunggah artikel Pledoi Rapid Test (Kumparan, 26/6), yang kala itu ditujukan lebih banyak untuk membongkar masalah penolakan publik atas perlakukan rapid test. Problemnya terletak pada aspek komunikasi dan edukasi publik yang tidak utuh mengenai manfaat dan kegunaan tes tersebut.
Dalam tulisan tersebut, sempat disinggung tentang persoalan potensi problematik atas biaya rapid test yang seolah dipersepsikan publik sebagai upaya ambil untung tenaga dan institusi kesehatan dalam situasi pandemi. Padahal, para tenaga medis hanya menjadi end user di bagian akhir yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien, bukan pemegang lisensi dari distribusi produk.
Pemberlakukan surat edaran Kementerian Kesehatan yang sifatnya instruksional ini, sesungguhnya hanya menyebut tentang pembatasan biaya layanan rapid test, tidak menyoal pula tentang sanksi. Sehingga, bila kemudian dinyatakan akan diterapkan sanksi atas pelanggaran, mungkin perlu dievaluasi bentuk dan mekanismenya. Jangan sampai, tenaga medis justru dikriminalisasi hanya karena rapid test.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, ketentuan dalam surat edaran tersebut, semakin menguatkan tudingan publik tentang konspirasi bisnis dan Covid-19. Sebuah narasi kontraproduktif terhadap upaya melawan penularan, serta tidak mampu menyangkal realitas akan keberadaan virus.
Konstruksi dari persepsi teori konspirasi ini, terlihat dari bagaimana sikap penyangkalan, dan konflik yang terjadi antara publik berhadapan dengan tenaga medis. Setidaknya, kecurigaan atas bisnis berbasis Covid-19, terwakili pada berita investigasi Majalah Tempo (11-17 Mei) bertajuk Teperdaya Tes Corona.
Pada laporan tersebut, berbagai nama individu, perusahaan, termasuk BUMN yang bertindak sebagai importir rapid test disusun dalam bingkai jejaring. Hasil investigasi itu sekali lagi menjadi penegas, bahwa tenaga medis dan institusi kesehatan tidak ubahnya berkedudukan sebagai konsumen dari produk yang diperjualbelikan di pasar.
ADVERTISEMENT
Selama ini, institusi medis mengadakan sendiri bahan rapid test melalui mekanisme pasar, jelas juga tidak mendapatkan secara gratis, bahkan tanpa subsidi. Jadi menimpakan label tenaga medis sebagai pengutip untung, adalah sebuah kekeliruan.
Para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan, tentu lebih memiliki informasi utuh mengenai hal tersebut. Tata kelola rantai pasok harus dikendalikan, tetapi bersikap curiga dan menuding pihak lain, juga tidak selaras dengan kehendak untuk bekerjasama menyelesaikan masalah.
Menelusur Pangkal Soal
Keberadaan rapid test sendiri telah menjadi polemik, seiring dengan kegunaan alat itu untuk melakukan skrining massal. Sensitivitas dari perangkat tersebut, ditengarai lebih rendah dibanding uji swab RT-PCR. Hal tersebut diakibatkan karena adanya false indicator dari rapid test yang tidak mencerminkan kondisi riil.
ADVERTISEMENT
Meski begitu rapid test tetap menjadi standar minimal skrining massal. Pakar epidemiologi menyebut penggunaan testing publik dengan menggunakan rapid test dianggap sebagai hal mubazir, menyarankan perluasan tes swab RT PCR yang lebih akurat.
Kondisi tersebut merupakan gambaran ideal, menempatkan tes swab RT PCR sebagai gold standard. Bila hal itu mampu dilakukan, selesai sudah perkara upaya tes massif publik. Jelas bukan tanpa masalah, menurut dr Reisa Broto Asmoro (Kumparan, 20/6) rapid test tetap diperlukan karena tiga perkara.
Pertama: disebabkan keterbatasan unit laboratorium dengan standar pemeriksaan RT PCR, belum lagi menyoal jangkauan daerah, dan sumber daya manusia yang dibutuhkan. Kedua: rapid test menjadi sarana diagnosa awal dan penelusuran penularan. Ketiga: menekan biaya sistem kesehatan, waktu pekerjaannya lebih singkat dengan biaya terjangkau.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui, biaya tes swab dengan RT PCR dengan memperhitungkan nilai investasi peralatan, termasuk kit yang dibutuhkan, harus diperoleh dengan biaya lebih tinggi daripada rapid test. Meski yang tampak efisien dalam biaya, belum tentu efektif mencapai tujuan bagi upaya pengujian massal publik.
Secara keseluruhan, narasi soal kepentingan penggunaan rapid test dikonfirmasi oleh Gugus Tugas Covid-19 yang menjadi leading sector dalam upaya mengatasi pandemi, sekaligus mewakili regulator dalam hal ini pemerintah sebagai unit pelaksana. Belum lagi aturan ketika new normal diberlakukan, dengan menyertakan rapid test sebagai standar administrasi transportasi publik antar daerah.
Sementara bagi institusi pelayanan kesehatan, kebutuhan rapid test ditujukan bagi kepentingan internal, untuk melakukan skrining dalam melayani pasien rawat inap, maupun saat pasien membutuhkan tindakan operasi. Mengapa? Tentu sebagai upaya melindungi kepentingan stakeholder, termasuk tenaga medis sekaligus seluruh pasien. Kenapa rapid test bukan tes swab? Lagi-lagi soal waktu dan harga, rapid test hasil seketika dan murah.
ADVERTISEMENT
Menimbang penggunaan rapid test, maka sesungguhnya melakukan skrining dengan tes minimal menggunakan rapid test masih jauh lebih baik, dibanding tanpa upaya penapisan dan uji massal. Berharap tes swab RT-PCR? Kalau memang bisa diupayakan, tentu lebih baik lagi hasilnya.
Jalan Tengah
Hal pertama yang perlu dilakukan, tentu membenahi orientasi atas persepsi publik pada tenaga dan institusi medis, terkait dengan konstruksi bisnis Covid-19. Keliru besar, Covid-19 pun berdampak pada industri rumah sakit. Tingkat kunjungan pasien non Covid-19 terjun bebas lebih dari 50 persen. Disaat pendapatan menurun, biaya tambahan muncul karena keharusan pemenuhan biaya alat pelindung diri.
Belum lagi ditambah dengan prosedur klaim layanan Covid-19, yang masih membutuhkan waktu dan proses dokumentasi administrasi. Bukankah ada insentif bagi tenaga kesehatan? Realisasinya masih minimal, justru kalau terlalu diharapkan malah membebani pikiran.
ADVERTISEMENT
Jadi bagaimana menyelesaikan masalah ini? Sebaiknya dikembalikan kepada konsep dasar, pada bagaimana membaca situasi pandemi saat ini. Sebagai persoalan bencana non-alam, persoalan kesehatan publik yang terancam wabah harus menjadi hal utama -salus populi suprema lex esto.
Bila mengacu hal itu, mengharuskan pemahaman kita ada dalam frekuensi, bahwa kesehatan saat pandemi tidak bisa dipandang sebagai barang privat, melainkan menjadi barang publik yang harus mampu diakses secara luas oleh publik itu sendiri dalam memastikan kondisi kehidupannya. Di sini, terletak peran penting kekuasaan, untuk hadir dan menjawab kepentingan publik.
Penulis kembali mengajukan beberapa langkah yang perlu dilakukan pemangku kebijakan, diantaranya: (i) mendorong percepatan dari inisiatif produk lokal untuk mereduksi biaya, (ii) mengambil alih proses distribusi maupun pengadaan produk alat kesehatan, dan (iii) menjamin pembiayaan datang dari kas negara, atau bisa menjadi kombinasi gabungan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Jadi dibandingkan dengan membangun kebijakan yang justru menghadirkan ruang konflik horizontal serta penuh dengan prasangka negatif kepada para tenaga dan institusi pelayanan medis, sebaiknya pemangku kebijakan segera merumuskan strategi yang tepat untuk menurunkan laju penularan yang laju hariannya masih konsisten tinggi. Sekaligus sigap merumuskan formula kebijakan dalam bersatu melawan pandemi.
Disitu jalan tengah dijalankan, meniti keseimbangan baru. Lebih produktif dibanding menebak siapa yang untung dibalik rapid test. Satu hal yang pasti, bila proses penapisan dapat dilakukan dengan baik, maka harapan untuk segera bisa keluar dari kemelut pandemi, serta secepatnya melihat grafik laju penularan yang turun, merupakan keuntungan bagi kita semua.