news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Survei Politik dan Demokrasi (II)

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
19 Februari 2020 12:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam enam persoalan, hasil survei Indo Barometer coba ditampilkan. Pertama: permasalahan terpenting demokrasi, Kedua: tingkat kepuasan pemerintahan Jokowi-Amin, Ketiga: amandemen UUD 1945, Keempat: isu permasalahan Jakarta. Kelima: pemindahan ibu kota. Keenam: isu Pilkada 2020.
ADVERTISEMENT
Bila kemudian dibentuk klaster dari persoalan yang diurai di atas, maka sekurangnya ada tiga kelompok persoalan. Pertama: isu politik kebangsaan terdiri dari permasalahan demokrasi dan amandemen UUD 1945, terkategori level makro. Kedua: isu politik aktual dan on going, yakni kepuasan 100 hari pemerintahan, pemindahan ibu kota, serta Pilkada 2020, masuk dalam wilayah meso. Ketiga: isu politik lokal terkait problematika Jakarta, merupakan area mikro.
Pada level makro: persoalan demokrasi dan amandemen UUD 1945 menjadi fokus point. Khususnya, terkait dengan demokrasi, maka publik mempercayai demokrasi (84%) sebagai formulasi kehidupan bersama yang terbaik. Sekaligus puas (68%) atas demokrasi yang berlangsung. Tetapi masih khawatir pada tantangan persoalan ekonomi (32,1%).
Dalam rilis Democracy Index 2019 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit -EIU, menempatkan Indonesia sebagai Flawed Democracy. Sebuah demokrasi yang cacat. Hal yang menjadi indikasinya, adalah dorongan perubahan proses pemilihan langsung, menjadi tidak langsung melalui amandemen UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut saling berkaitan. Ternyata, (53,2%) sampel tidak mendapatkan informasi tentang amandemen UUD 1945. Lebih jauh lagi, (62%) dari populasi survei merasa tidak perlu adanya perubahan. Publik ada dalam posisi ambigu.
Terlebih karena setting pertanyaan, diarahkan berbicara tentang GBHN dan kedudukan MPR. Di mana hasilnya, (55,1%) responden menyatakan perlunya arahan pembangunan melalui GBHN. Sementara itu, (36,1%) sampel perlu menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Meski, tetap perlu pembatasan masa kekuasaan (78,8%), dan pemilihan Pilpres langsung (89,4%) serta Pilkada langsung (88,2%).
Padahal, amandemen UUD 1945 akan menjadi kotak pandora, bagi berbagai turunan persoalan politik tanah air. Beberapa tendensi mengemuka, seiring dengan usulan perubahan konstitusi tersebut. Pertama: merubah kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi. Kedua: menetapkan GBHN menjadi arah acuan pembangunan. Ketiga: melaksanakan pemilihan presiden secara tidak langsung, melalui mekanisme musyawarah MPR. Keempat: potensi penambahan masa jabatan politik.
ADVERTISEMENT
Survei ini memperlihatkan, publik belum mendapatkan pemahaman utuh proses politik kenegaraan. Sehingga, publik menjadi rawan untuk diombang-ambingkan oleh kepentingan kekuasaan. Sekaligus, hasil survei ini, bisa pula dipergunakan untuk mendorong, proses percepatan pembahasan amandemen UUD 1945, berbekal angka-angka dukungan publik yang keliru tersebut.
Bila berkaca atas politik praktis yang terjadi akhir-akhir ini, catatan Index Democracy dari The EIU menjadi relevan. Terlebih, menimbang hilangnya minat beroposisi dalam konteks politik formal. Semua elemen politik, terkonsentrasi serta berpusat pada upaya berkoalisi.
Hal ini, memiliki relasi atas apa yang disampaikan Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati, 2019. Bahwa demokrasi tidak terancam melalui kudeta, melainkan justru dapat dimatikan oleh para aktor terpilih, dari hasil kontestasi dalam demokrasi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Terlebih ketika kekuasaan hadir tanpa kubu oposisi dan gerakan sipil yang menjadi penyeimbang. Sebuah masa di mana, media kemudian larut sebagai corong partisan, dan masyarakat sipil dibungkam!
Ilustrasi Politik Foto: Pixabay