Tantangan Eksistensi Manusia dalam Ekosistem

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
24 Maret 2020 16:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Ditakdirkan memimpin. Tugas manusia di muka bumi adalah menjadi memimpin. Pengistilahan ini, sekurangnya mengadaptasi fungsi pemimpin dalam kehidupan, baik pada level mikro-individu, hingga makro-tatanan ekologis alam.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, tentu terdapat kemampuan yang dibutuhkan seorang pemimpin. Hal ini dikarenakan aspek bidang kehidupan manusia sangatlah luas. Termasuk, meliputi kepentingan bagi dirinya, lingkup sosialnya, dan alam lingkungan di sekitarnya.
Interaksi manusia, sosial dan alam ini membentuk sebuah ekosistem. Keseimbangan relasional terjadi. Satu dan lainnya saling terkait. Manusia mengelola dan memanfaatkan alam, bagi kehidupan.
Gerak maju perubahan, dari interaksi manusia dan alam bagi pemenuhan hajatnya, dengan melakukan eksploitasi, jelas berpotensi menurunkan fungsi alam sebagai tempat berlindung serta bernaung.
Bagi sebagian kalangan, kemajuan peradaban manusia, ditandai dengan pendekatan konflik. Sehingga, benturan manusia, sosial dan alam, adalah hal yang tidak terhindarkan.
Pada sisi lain, terdapat pula aliran naturalis, yang mencoba mendorong harmonisasi terhadap alam, untuk bisa mengambil manfaat, tanpa menimbulkan persoalan lebih jauh. Mungkinkah?
ADVERTISEMENT

Kapitalisme Nir-Kebijakan

Bila kemudian menyimpulkan kajian Fred Madgoff & John Bellamy Foster, dalam buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme, 2018, maka manusia tidak hanya menjadi aktor utama bagi upaya mempergunakan alam dalam kerangka kemakmuran serta kesejahteraan.
Tidak hanya itu, manusia juga sekaligus bertindak sebagai pihak yang berperan paling penting, dalam menciptakan kerusakan alam. Buku ini menarik, serta memiliki relevansi situasional dengan apa yang terjadi saat ini.
Alam mempunyai mekanismenya sendiri. Relasi ekologis atas nama pembangunan ekonomi, dalam corak kapitalisme, mengakibatkan upaya dominasi manusia terhadap lingkungan sekitarnya terjadi.
Dalam kapitalisme, akumulasi modal adalah tujuan utamanya. Keuntungan dikejar, berhadapan dengan berbagai risiko yang semakin terbuka. Kemudahan hidup, dibayar mahal dengan dampak yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Kilang-kilang minyak serta bahan bakar fosil, secara langsung menciptakan polusi dan memperburuk kualitas udara. Berkonsekuensi pada dampak kesehatan publik. Sementara itu, upaya transfer alih menuju pemanfaatan teknologi hijau, justru terganjal oleh tangan-tangan korporasi mapan.
Upaya keras manusia dalam menciptakan laba, menghadirkan realitas baru, yakni hilangnya sisi kemanusiaan. Selain itu, menghancurkan sisi kepemimpinan manusia di atas muka bumi yang menjadi tugas utamanya.
Kepemimpinan tentu dibekali dengan pengetahuan, rasionalitas, termasuk kearifan serta kebijaksanaan. Dengan begitu, maka sebuah keputusan yang diambil, akan mengikat berbagai pertimbangan lain secara terkait.
Dalam kapitalisme, tidak terdapat ruang kebijakan yang holistik. Semua hal, dilandaskan pada kepentingan kapital, sebagai fokus yang utama. Tidak ada jawaban integral yang berkelanjutan. Konsentrasinya hanya pada situasi saat ini, tidak terlalu mempedulikan masa depan.
ADVERTISEMENT

Mungkinkah Revolusi Hijau?

Pada bagian akhir, dalam proses perjalanan kehidupan serta peradaban manusia, secara silih berganti kita berhadapan dengan berbagai krisis yang timbul, dalam upaya demi dan untuk pembangunan. Krisis ekologis menjadi puncaknya.
Revolusi hijau ditawarkan sebagai alternatif. Menjadi counter hegemoni atas kapitalisme. Gagasan kapitalisme berwawasan lingkungan, menjadi sebuah titik kompromi, meski bukan solusi jangka panjang. Pilihan bentuknya social entrepreneurship atau melalui program Corporate Social Responsibility.
Kini, modernitas telah berubah, menjadi ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri. Konklusi yang ditawarkan dengan membangun dimensi manusia berkelanjutan. Ditujukan bagi pembangunan kesadaran akan hakikat keberadaan dirinya, dalam keseimbangan ekosistem.
Manusia menjadi pemimpin bagi dirinya, menentukan secara bebas arah gerak kehidupan. Pilihan yang diambil harus mampu memastikan keberlanjutan spesies manusia di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut di atas, menjadi lebih penting dari sekedar ornamen tampilan fisik pembangunan. Apa gunanya kemakmuran, yang dibangun dengan menggadaikan masa depan. Sebuah pertaruhan yang teramat mahal.
Situasi ini sama halnya, dengan refleksi mendasar, apa kontribusi yang bisa kita hadirkan bagi kehidupan bersama? Corona telah menampar wajah ketakutan kita, akan mekanisme defensif alam. Menjadi pelajaran pahit.
Merujuk kutipan Mahatma Gandhi,