Tenaga Kesehatan, Terpapar, Dibungkam, dan Diserang

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
19 Juli 2020 8:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Laporan lembaga Amnesty International, dengan objek penelitian tenaga kesehatan, berjudul Terpapar, Dibungkam, Diserang: Kegagalan Melindungi Pekerja Kesehatan dan Esensial selama Pandemi Covid-19, pada pekan lalu menjadi sebuah temuan yang menarik. Lebih dari 3.000 tenaga kesehatan di 79 negara, gugur dalam perang melawan wabah.
ADVERTISEMENT
Situasi tersebut, hampir berlaku sama, di berbagai belahan dunia. Para tenaga kesehatan dan juga pekerja esensial, menghadapi potensi tertular secara langsung, namun minim proteksi. Termasuk soal minimnya alat pelindung diri, sebagai sarana keamanan bekerja. Beban stigma, hingga kekerasan dihadapi mereka yang disebut menjadi garda terdepan pemberi layanan.
Di tanah air, setidaknya koran Tempo menempatkan seluruh nama-nama tenaga kesehatan, baik dokter maupun perawat yang tertular dan meninggal saat memberikan pelayanan bagi pasien Covid-19, menjadi cover muka (9/7), dalam rangkaian berita yang diturunkan jumlah kasus telah menjalar ke banyak daerah bahkan menyebabkan kewalahan. Dalam liputan tersebut, tercatat 48 dokter dan 41 perawat meregang nyawa berkalang Covid-19.
Belum lama berselang, rumah sakit rujukan di Papua, RS Provita Jayapura harus ditutup, lantaran 54 tenaga medisnya terpapar virus selama memberikan pelayanan bagi pasien Covid-19. Secara keseluruhan, ilustrasi tersebut menggambarkan tingkat keseriusan dampak dari pandemi, tidak bisa dianggap remeh.
ADVERTISEMENT
Pada tingkat nasional, laju pertambahan kasus konsisten lebih dari 1.000 per hari. Bahkan, jumlah kumulatifnya telah mencapai 84.882 orang, melebihi China di angka 83.664 orang. Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi semua pihak. Di dalam kondisi yang sedemikian, sepatutnya dibangun sikap untuk mampu berkolaborasi dan bekerjasama, dalam relasi mutual trust.
Logika Bengkok Diksi RS Nakal
Belum lurus. Konfirmasi di ruang rapat wakil rakyat bersama sejumlah kementerian itu, seolah menjadi penguat sinyalemen yang sudah santer beredar di publik tentang konspirasi bisnis Covid-19. Para peminat teori konspirasi seolah mendapatkan angin segar, untuk terus menghujat dan melakukan perundungan pada institusi dan tenaga medis. Sangat disesalkan.
Disebut pula data pasien dimanipulasi agar beroleh untung. Diksi rumah sakit nakal mencuat, dianggap mengakali status pasien menjadi Covid-19, demi nilai klaim. Prasangka sejenis ini jelas sesat dan sungguh mensesatkan.
ADVERTISEMENT
Nampak keruh wajah penanganan pandemi di tanah air. Jumlah kasus harian terlapor konsisten menanjak. Belum bisa dipastikan puncak penularan mencapai titik tertinggi. Pembukaan kembali interaksi sosial, melalui frasa new normal, kemudian diralat menjadi adaptasi kebiasaan baru, membuka pertambahan kasus.
Tuan dewan terhormat, membuka pertanyaan retoris, bermodal sebaran berita di media sosial. Padahal, viralitas di jagat digital membutuhkan ruang validasi. Tidak pelak, label buruk itu semakin melekat dicorengkan ke muka tenaga dan institusi medis. Simalakama, dilayani mendapatkan tuduhan, tidak melayani disebut tidak profesional, mengabaikan kode etik.
Logika mencari keuntungan di situasi sempit seperti pandemi, adalah bentuk kegagalan bernalar. Logika yang bengkok. Bahkan salah sejak premis awal itu diajukan. Lihat saja, anggaran kesehatan mengatasi pandemi, besarnya 87,55 triliun serapannya baru 5,12 persen, sekitar 4,48 triliun saja. Sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Apakah hal itu mampu dimaknai sebagai sebuah keuntungan? Tentu saja tidak. Seluruh institusi pelayanan kesehatan, justru tengah mengalami periode surut karena jasa layanan bagi pasien umum non Covid-19 secara drastis anjlok, lebih 50 persen di bawah kapasitas normal. Jelas rugi.
Sementara itu, biaya operasional malah meningkat, termasuk mengadakan berbagai sarana perlindungan, bagi keamanan tenaga medis dan seluruh pengunjung maupun pasien di rumah sakit. Melempar wacana tentang rumah sakit nakal tanpa basis bukti, amat menyakitkan.
Proses Klaim Berliku
Persepsi negatif publik harus diluruskan. Dimulai dari para pemangku kebijakannya. Ketika pandemi melanda, arah kebijakan mengalami dinamika. Peraturan terus berubah dalam merespon situasi yang berkembang. Hal wajar.
Begitu juga dengan proses penjaminan pembayaran klaim atas pemberian layanan bagi pasien Covid-19, sekaligus terkait janji stimulus insentif yang akan diberikan kepada tenaga medis. Adakah nilai nyawa, bisa dibarter dengan nilai klaim? Tengok jumlah pemberi layanan medis yang tertular dan meninggal. Aneh.
ADVERTISEMENT
Bukankah para tenaga medis, mulai dari perawat, bahkan tenaga dokter maupun para spesialis yang telah gugur itu, juga memiliki kehidupan dan keluarga yang menanti mereka kembali di rumah?
Sekedar memberi sudut pandang yang berbeda, kalau dipandang memperoleh untung dari klaim layanan Covid-19, maka sesungguhnya medan penagihan klaim pun bukan hal yang mudah.
Proses klaim melewati tahap verifikasi, melibatkan sejumlah kelengkapan dokumen, dengan perangkat diagnosa yang solid. Bukan barang sepele, dan mustahil kongkalikong.
Beberapa diantara nilai klaim yang diajukan, bahkan berselisih -dispute, ditunda pembayarannya -pending, belum lagi bila berhitung dengan kemungkinan perlakuan audit telusur, yang bisa dilakukan di kemudian hari. Klaim Covid-19 tidaklah menjanjikan nilai keuntungan seperti yang dibayangkan.
ADVERTISEMENT
Pusat kekuasaan justru sempat naik darah, memarahi para pembantu kabinet yang masih kesulitan mempercepat serapan anggaran pandemi, disinggung pula soal insentif tenaga kesehatan. Realisasinya hari ini? Masih perlu waktu tunggu, dan lihat bagaimana nanti. Jalur birokrasi masih berliku di era pandemi.
Bias Informasi Publik
Sang anggota dewan terhormat, dengan lancar melontarkan rumor tentang rumah sakit nakal. Pengubahan status pasien Covid-19, dikaitkan dengan persoalan penanganan yang menggunakan protokol kesehatan, ketika menangani pasien meninggal. Fakir nalar.
Harus bisa dilihat dengan jelas, terdapat kekurangan fasilitas serta jumlah alat pemeriksaan skala laboratorium RT-PCR, yang dibutuhkan pada tingkat nasional guna melakukan pendeteksian Covid-19. Kondisi tersebut ditambah pula dengan mulai meningkatnya kapasitas testing massal. Apa konsekuensinya? Antrian pemeriksaan.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, terjadi penumpukan pemeriksaan, yang berakibat pada lamanya waktu tunggu hasil. Bila dalam durasi masa tunggu tersebut, pasien terindikasi terjangkit Covid-19 meninggal dunia, maka sudah barang tentu protokol kesehatan dalam melakukan pemulasaran jenazah dilakukan. Prinsipnya minimalisasi risiko.
Kenapa tidak menunggu saja sampai hasil keluar? Ketetapan prosedur standar tersebut dikeluarkan oleh pihak otoritas terkait. Bahkan diberi batas waktu hitungan jam, untuk segera memakamkan jasad pasien dengan indikasi Covid-19.
Kenapa tidak diserahkan ke keluarga saja? Ini kasus khusus pandemi, sehingga harus diberikan kepada petugas yang telah mendapatkan pelatihan, serta dibekali dengan sarana pelindung diri yang memadai.
Kalau ternyata di kemudian hari, hasilnya negatif Covid-19, bukankah itu menjadi upaya menaikan klaim tagihan pelayanan? Ngawur bin ngaco.
ADVERTISEMENT
Ingat prinsip utama yang sudah disebut di atas, minimalisasi risiko. Prinsip ini pula termuat dalam etik medis, yakni, primum non nocere, atau first, do no harm -jangan merugikan. Dalam upaya mitigasi risiko, harus dipersiapkan skenario dan strategi menghadapi yang terburuk, untuk mencegah hal buruk lain terjadi.
Termasuk upaya mengantisipasi potensi penularan wabah, serta mengambil keputusan terbaik, bahkan sebelum tegak diagnosis, karena terbentuk aspek teknis waktu tunggu dan antrian pemeriksaan. Maknanya mencegah, melalui tindakan pencegahan.
Sebagai penutup, prinsip etik medis juga mencakup aspek profesionalisme, officium nobile -menjaga martabat dan kehormatan diri, dalam menjalankan tugas serta tanggung jawab atas profesi yang diemban, sebagai amanah. Jadi sulit, bila hanya melihat dalam ruang sempit atas tudingan rumah sakit nakal dengan angka klaim.
ADVERTISEMENT
Bahkan Direktur Jenderal WHO, dr Tedros Adhanom, dalam posting di akun sosial medianya mengambil kutipan menarik, there is no health without health workers -tidak ada kesehatan tanpa peran serta pekerja kesehatan.
Mengutip perawat di Madrid -Spanyol, Aroa Lopez, dalam lansiran dr Tedros Adhanom, bahwa terdapat kesadaran baginya sebagai profesi tenaga kesehatan, meski menempatkan diri pada posisi yang berbahaya, bahkan berisiko, bukan hanya kelelahan fisik tetapi juga aspek mental. Namun begitu, satu yang terbersit dibenaknya adalah, to care for people and to save lives.
Dalam pandemi ini, kita sedang berhitung atas nilai berharga sebuah nyawa demi nama kemanusiaan, bukan sekedar mengkalkulasi angka-angka tanpa makna, apalagi hanya sekedar menyorot soal klaim tagihan biaya. Sungguh kebebalan berpikir yang hakiki.
ADVERTISEMENT