Terjangkit Virus Politik Kekuasaan

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
3 Maret 2020 8:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Positif. Corona terkonfirmasi di Indonesia. Pernyataan itu muncul, sekaligus menjawab keraguan berbagai pihak, terutama tentang kemampuan deteksi Indonesia, dari merebaknya pandemi global.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, persoalan Corona tidak hanya terkait aspek medis semata. Hal tersebut, juga berhubungan dengan berbagai aspek kebijakan penanganan dampak. Faktor sosial, politik dan bahkan ekonomi.
Sesaat, setelah diumumkan, harga masker semakin melejit. Gelombang keresahan, bila tidak bisa disebut kepanikan, mulai terasa. Perilaku panic buying terjadi. Skema normal dalam supply and demand, berubah karena aspek non fundamental. Bahkan sebagian publik terlihat berlomba memborong bahan makanan.
Padahal sebelumnya, pemerintah merumuskan inisiatif bagi stimulus ekonomi domestik. Memberikan diskon hotel dan restoran, guna meningkatkan pariwisata lokal. Sebagai langkah mengatasi perlambatan ekonomi dunia.
Konsekuensi psikologis publik, harus diantisipasi melalui berbagai upaya komunikasi serta edukasi publik secara masif. Sepanjang sejarah manusia, perang, bencana dan berbagai wabah silih berganti menghampiri mengancam.
ADVERTISEMENT
Publik bahkan mulai mencari tali persamaan wabah Corona dengan film Contagion, 2011 besutan Steven Soderbergh yang memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi saat ini. Wabah lokal menjadi pandemi global, berhadapan dengan ilmu pengetahuan.
Kita berada dalam fase, dimana terdapat kehadiran suatu penyakit baru yang belum bisa dijinakkan. Siklus fase krisis akan memuncak, hingga akhirnya menemui titik balik resolusi. Dunia tengah menanti, kemampuan bersama dalam menangani Corona.
Viralitas dan Rivalitas
Di linimasa sosial media, perang narasi terus terjadi. Bukan dalam upaya membangun kekuatan terpadu. Momentum ini, justru menjadi ladang baru untuk saling bersilat kata. Sisa virus dari kontestasi politik tidak terobati.
Fenomena ini menarik. Periode politik menyisakan noda yang tidak kunjung bisa dibersihkan. Polarisasi sungguh terjadi. Barisan antar pendukung, melakukan pembelaan tidak kunjung henti.
ADVERTISEMENT
Para petinggi negeri juga sibuk berbantah. Kewaspadaan justru terabaikan. Interaksi sosial antar kelompok berbeda pilihan politik semakin merenggang. Corona hanya menjadi alat pertarungan kepentingan.
Rivalitas terus dihidupkan. Konflik dilanggengkan untuk memanaskan gelanggang politik. Virus politik menjangkiti, dan seluruh tubuh kita dalam kondisi "demam" tiada berkesudahan. Ironi terjadi, karena kita justru membutuhkan untuk saling menguatkan.
Tantangan terbesar penanganan Corona, di abad digital ini sekurangnya termuat dalam beberapa hal: Pertama: penguatan kerjasama global, guna menemukan cara untuk menundukkan virus tersebut. Kedua: mengatasi misinformasi yang berseliweran, melalui viralitas sosial media.
Jika merujuk buku Jonah Berger, Contagious: Why Things Catch On, 2014 yang mencoba menjawab mengapa popularitas termasuk viralitas menjadi mata uang penting di era digitalisasi. Prinsip ini nampaknya dipergunakan oleh cyber army politik alias buzzer.
ADVERTISEMENT
Sekurangnya terdapat beberapa hal yang dipergunakan para buzzer untuk melakukan manipulasi informasi di sosial media, termasuk menggunakan medan perang dalam berbagai isu, diantaranya soal Corona.
Narasi pelintiran, dibuat dengan (i) menciptakan dramatisasi emosi, aspek perasaan nir rasionalitas, (ii) melibatkan ketertarikan publik, isu yang kuat ada dalam benak umum, (iii) dibangun korelasi antar narasi menjadi sebuah cerita yang nampak seolah kebenaran, hingga (iv) keseluruhan bangunan narasi, akan disusun menjadi benteng serang dan pertahanan, bagi kepentingan kelompok dalam mempengaruhi populasi keseluruhan.
Silahkan di cek di timeline sosial media. Kerap kali argumentasi dari perdebatan yang terjadi, hanya mendasarkan pada kebenaran sepihak. Lagi-lagi virus politik memang sudah bersenyawa, tanpa ada obat mujarab penawarnya. Sengaja dipertahankan, dalam upaya memperebutkan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Patologi dan Imunitas Sosial
Salah satu yang dihadapi di dunia modern, termasuk tantangan kita hari ini adalah bentuk patologi sosial. Penyakit dalam kehidupan bermasyarakat, yang merupakan wujud dari penyimpangan nilai sosial.
Tawuran opini dalam konteks kepentingan politik, sudah bisa dikategorikan menjadi bagian tersebut. Kita kehilangan kesadaran bersama, tentang kerangka kehidupan sosial, homo socius.
Kemunculan penyakit sosial ini, jelas lebih mengkhawatirkan, dibanding sekedar Corona yang bisa dilawan dengan penguatan kondisi tubuh melalui antibodi. Imunitas sosial kita terganggu.
Kekebalan tubuh sosial kita, dalam kehidupan bermasyarakat, nampak oleng menjurus ambruk. Perilaku kedengkian dan permusuhan lebih mengemuka. Pilihan politik adalah segalanya, seolah harga mati tidak bisa dinegosiasikan.
Padahal, publik yang terbelah hanya menjadi figuran dari proksi kepentingan politik oligarki. Kemunduran dari kekuatan sosial sebagai antibodi atas patologi sosial adalah hilangnya keteladanan.
ADVERTISEMENT
Semua pemimpin berada dalam bingkai kepentingan masing-masing. Tidak ada figur yang mampu merepresentasikan kepentingan bersama. Pun termasuk, soal perwalian Pancasila. Karena tafsir Pancasila juga menjadi sangat bergantung, pada kepentingan kekuasaan secara sesaat.
Upaya untuk menyudahi kedengkian dan sifat permusuhan atas dasar kepentingan politik, harus segera dimulai. Virus Corona mungkin akan menjadi babak baru, tetapi kehidupan sosial kita jauh lebih panjang dibandingkan merebaknya Corona. Persoalannya, maukah kita?