Terowongan, Simbol Infrastruktur Toleransi?

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
14 Februari 2020 9:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Terowongan! Ide menarik itu, meluncur dengan cepat. Menjadi penghubung, yang menyambungkan kedua tempat Ibadah. Disebut terowongan silaturahmi. Mewakili ide toleransi, antar umat beragama. Sebuah pendekatan simbolik, berbingkai infrastruktur fisik.
ADVERTISEMENT
Bukan kali ini saja, gagasan sejenis disampaikan. Sekurangnya, ide tentang penanganan persoalan gejolak di tanah Papua, juga nyaris serupa. Pengembangan wilayah, dan pembangunan Istana di Bumi Cendrawasih jadi solusi.
Formulasi pemerataan pembangunan, misalnya, justru kurang terbentuk dalam format keberpihakan kebijakan. Melainkan, hendak direalisasikan melalui wacana pemindahan Ibukota. Keberhasilan pembangunan fisik, seolah menjadi resep mujarab untuk semua persoalan.
Sejatinya, perlu pemahaman yang mendalam, bahwa manusia, tindakan, dan interaksi pada lingkup sosialnya, adalah puncak kompleksitas persoalan. Jadi sangat sulit untuk melihat adanya solusi tunggal, dari setiap permasalahan.
Sehingga, logika, apa pun pertanyaannya, maka jawabannya infrastruktur, tentu tidaklah tepat. Problematika pelik dari kehidupan berbangsa, dimulai dari perumusan tujuan kehidupan bersama sebagai sebuah konsensus, yang dikodifikasi menjadi konstitusi.
ADVERTISEMENT
Penjabaran bentuknya, disesuaikan dengan laku zamannya. Perlu dipahami pembangunan adalah sebuah proses yang tidak pernah usai. Lebih jauh lagi, pembangunan tidak pula selalu diartikan sebagai monumen fisik yang terlihat.
Keberpihakan dalam kebijakan publik, adalah landasan utama pembangunan. Infrastruktur jangan sampai justru melampaui yang kultur. Aspek teknis, harus terkait dengan nilai etis.
Jadi, bila hal tersebut mampu dipahami, maka pembangunan dapat memiliki substansi tujuan. Karena orientasi dari tujuan pembangunan, adalah manusianya sebagai subjek dan objek. Bukan hanya menempatkan manusia, sebagai pelengkap dari kehendak pembangunan fisik.
Pesan Simbolik
Para petinggi negeri gemar memainkan komunikasi simbolik. Dalam format interaksi simbolik. Sebagai sebuah bentuk komunikasi, yang diperantarai dengan menggunakan simbol-simbol, serta menggunakan kemampuan menginterpretasi makna dari pesan yang dikomunikasikan.
ADVERTISEMENT
Sesuai rujukan, George Herbert Mead dalam buku Mind, Self, and Society (1934), maka ketiga komponen tersebut, harus mendapatkan perhatian khusus, sebelum mekanisme komunikasi simbolik dilancarkan. Agar terjadi proses kesinambungan komunikasi antara para pihak.
Perlu diperhatikan, bagaimana individu dalam relasi sosial terhadap lingkup masyarakat di sekitarnya. Konstruksi manusia adalah sebuah model sirkuler, yang terjadi secara terus menerus. Manusia dibentuk oleh pengalaman dan kemampuan dirinya. Terutama dalam memahami keberadaan serta interaksinya, terhadap lingkungan sosial di sekitarnya.
Tidak semua pihak mampu untuk memberikan interpretasi yang sama. Dan atas hal tersebut, pada sebuah komunikasi simbolik, seolah mensyaratkan kemampuan untuk dapat mencerna pesan secara lebih mendalam, guna mengurai makna.
Hal ini pula yang membuat model komunikasi simbolik, bersifat tidak langsung. Kelemahannya, substansi konten, berada dalam selubung bentuk konteks. Lebih sulit lagi, ketika konten dan konteksnya justru tidak bersambungan. Maka terjadi diskonten, alias minim substansi, atau kekeliruan dalam memahami sebuah makna pesan.
ADVERTISEMENT
Memahami Toleransi
Terowongan itu diajukan sebagai simbol toleransi. Secara fisik terhubung, bisa berlalu lalang, tetapi belum menjawab apa yang menjadi wacana besar dari kerja kabinet. Perang melawan intoleransi dan radikalisme, adalah gagasan yang sedari awal didengungkan oleh pusat kekuasaan dan jajaran pembantunya.
Bahkan tampak seragam dan seirama, di semua sektor berbicara tentang hal serupa. Problematika bangsa ini, hendak dicari muara permasalahannya, dengan menyodorkan akar masalah, pada persoalan yang disebut sebagai intoleransi dan radikalisme.
Hal itu kemudian dijawab secara pragmatis kembali, dengan menawarkan solusi penyelesaian masalah menggunakan pendekatan infrastruktur fisik. Persoalannya menjadi tunggal, dengan jawaban yang monolitik. Klop, seolah terjawab meski masih menyisakan persoalan.
Mengacu pada Jamie S. Davidson, Menaja Jalan: Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia, 2019, maka persoalan pembangunan infrastruktur kerap menjadi sumber bancakan penyelewengan. Ruang kongkalikong dalam perburuan rente, yang dipergunakan juga bagi kepentingan politik, yakni merebut serta mempertahankan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Bila begitu, pembangunan sesungguhnya diperuntukan bagi siapa? Cui bono, sebut filsuf Cicero, untuk bertanya siapa yang memperoleh keuntungan dari suatu situasi.
Ruang publik, selama ini dicekoki dengan kata intoleransi dan radikalisme, sebagai sebuah istilah dalam satu tarikan napas penyebutan. Perlu dipahami, toleransi sebagai basis utamanya, justru memberikan kelegaan dalam perbedaan. Sehingga, upaya penyeragaman justru menghilangkan keberagaman.
Periode Orde Baru, yang ketat dengan asas tunggal Pancasila, kemudian berhadapan dengan gelora kebebasan melalui reformasi. Kini seolah hendak membalik diri pada konsepsi seragam, sesuai tafsir kuasa. Ada kekhawatiran, akan tergelincir pada sifat kekuasaan yang cenderung otoritarian.
Toleransi juga bermakna merawat perbedaan, bukan sekedar membentuk persetujuan. Termasuk, menyebut pernyataan intoleran, menciptakan batas pemisah, yang ditujukan bagi suatu kelompok, seolah menutup ruang berbeda.
ADVERTISEMENT
Arah menunjuk, sangat bergantung tangan aparatur kekuasaan. Karena itu yang perlu disambung adalah tali rasa, untuk menyatukan hati dan kepala. Membangun dialog terbuka, menghargai yang berbeda, bukan sekadar membuat terowongan antar bidang.
Perlu secara perlahan, kembali kita merajutnya. Terlebih, di masa keterbelahan publik, pasca menguatnya politik identitas yang dimainkan para elite, lagi-lagi untuk berebut kuasa.
Kekacauan berpikir itu, lantas ditutup pernyataan pejabat publik, yang membidangi pembinaan ideologi Pancasila, dengan menyampaikan tesisnya, tentang agama yang berjarak secara diametral atas Pancasila. Tak pelak, hal ini kembali menyibak persoalan baru!