Transformasi Demokrasi Era Digital

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
19 Mei 2019 13:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial. Foto: PhotoMIX-Company via Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial. Foto: PhotoMIX-Company via Pixabay
ADVERTISEMENT
Pada setiap fase perubahan politik, media memainkan peran pentingnya. Tidak hanya sebagai medium untuk menyampaikan informasi, tetapi sekaligus melakukan persuasi dan pertarungan opini. Sesuai McLuhan, media adalah perpanjangan tangan dari manusia dalam berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Maka kita tentu menempatkan media sebagai bagian penting dalam tonggak kehidupan bermasyarakat. Terdapat interaksi yang erat antara media, politik, dan publik. Bahkan, media kerap menjadi medan pertarungan kepentingan politik dalam upaya memperebutkan legitimasi publik.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, maka abad yang diidentifikasi sebagai era industri 4.0 yang ditandai dengan mulainya kemampuan kecerdasan buatan -Artificial Intelligence, bahkan Internet of Thing membuat seluruh format kehidupan kita mengalami pergeseran dan perubahan yang tidak terelakkan.
Digitalisasi Komunikasi
Pun demikian di ranah politik dan demokrasi, internet mengubah hampir keseluruhan model komunikasi kita hari-hari ini, tiada waktu tunda, segalanya realtime dan update bahkan viral. Terdapat kemajuan di sana, melalui fasilitasi teknologi komunikasi sedemikian melimpah, horizontal, dan bersifat many to many, tetapi juga ada risiko yang terkandung di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Teknologi internet dan jejaring maya, serta komunitas virtual yang dibentuknya, menghadirkan dua sisi wajah secara bersamaan, layaknya dewa Janus yang berwajah ganda, ada sisi cerah dari kebermanfaatan atas kehadirannya, tetapi juga ada persoalan sisi kelam yang membayanginya.
Lebih jauh lagi, berdasarkan siklus interaksinya, manusia akan membentuk teknologi sebagai sebuah produk budaya, yang kemudian pada kelanjutannya teknologi pula yang akan memaksa manusia beradaptasi dengan perubahan, membentuk sebuah kebudayaan baru.
Termasuk dalam soal politik dan demokrasi. Kita kini lebih memahami bagaimana konsep pencitraan, penyebaran informasi palsu, dan kabar bohong alias hoaks, bekerja dalam dunia maya.
Keberadaan realitas pada jagad online, pun pada akhirnya menenggelamkan realitas sesungguhnya. Pada komunikasi digital, noise sebagai gangguan komunikasi terjadi karena proses dialog tidak terjeda, keberlimpahan informasi yang terus-menerus, membuat proses konfirmasi dan verifikasi lamban berjalan, akhirnya menjadi sebuah pengakuan akan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Demokrasi vs Klikokrasi
Democracy Foto: Pixabay
Menyoal politik dan demokrasi, dalam kajian mengenai Indonesia (Hill, Sen, 2005), kehadiran internet membuat ruang publik terbuka, terutama pada periode rezim otoriter, sepanjang kuasa Orde Baru. Sempitnya ruang interaksi fisik para aktivis dan pengkritik kekuasaan, terkonsolidasi melalui internet.
Tidak hanya itu, internet membawa serta arus komunikasi global, termasuk pada akses pengetahuan, dan berbagai literatur baru. Situasi tersebut mematangkan proses demokratisasi, yang menemukan momentum letupan pada krisis ekonomi 1998. Kondisi sosial-ekonomi yang berubah, direspon oleh elemen demokrasi yang telah bersiap.
Para aktor yang terlibat, diisi oleh kelompok akademisi, aktivis, wartawan, dan mahasiswa yang menjadi motor perubahan. Dengan demikian, internet memiliki daya dorong demokrasi, mematangkan situasi demokratik dalam tekanan represif.
ADVERTISEMENT
Beda dulu, lain sekarang, demokrasi via internet menjadi sebatas klik di ujung mouse, menjadikannya sebagai klikokrasi yang rendah dalam intensitas emansipasi. Ketiadaan perbincangan atas diskursus secara mendalam, terutama pada situasi kebebasan pasca-reformasi. Transisi demokrasi kehilangan daya progresifnya.
Sosial Media, Ruang Tak Berujung
Ilustrasi pertukaran informasi di media sosial harus disikapi secara bijak. Foto: Dok. Freepik
Transformasi teknologi melahirkan sosial media sebagai bentuk dari upaya membangun komunitas online yang selalu terhubung -always update. Setiap individu memiliki ruang untuk menyampaikan ekspresi privat di lini masa milik publik. Maka riuh-rendah serta hiruk-pikuk terjadi di sosial media.
Bermunculan aktivis sosial media, minim dalam kemampuan menjawab persoalan publik, tetapi tersohor karena viralitas yang sensasional, lalu menjadi penentu sebagai opinion leader berbekal sejumlah besar followers.
Lantas muncul post truth yang mencoba melihat efek ruang gema -echo chamber. Like and share menjadi kemampuan untuk mengamplifikasi pesan yang terkonstruksi, bahkan bisa jadi tanpa seleksi. Algoritma komputasi sebagai bahasa pemrograman terjadi dengan menggunakan filter bubble, sebagai sarana sortir berdasarkan ketertarikan -interest.
ADVERTISEMENT
Partisipasi yang terlibat di permukaan, mudah mengalami pendangkalan. Kungkungan informasi tidak terfilter, dikonsumsi secara berlebihan. Hiperrealitas terbentuk, realitas semu ditampilkan, dan kita berkubang di dalamnya.
Adopsi teknologi menuju adaptasi sosial, sekurangnya membutuhkan waktu 20-30 tahun, dengan melewati periode chaos di tahap awal menuju titik keseimbangan, tetapi tentu kita tidak berharap fase yang penuh kekacauan berlangsung terlalu lama, perlu ada kesepakatan dan kesadaran bersama.
Pada ruang tidak berujung sosial media, maka kebenaran realitas terdapat pada persepsi publik. Upaya mengatasi disinformasi, tidak bisa dituntaskan dalam perspektif tunggal dengan penegakan aturan legal secara struktural, tetapi juga memperbaiki aspek kultural. Model literasi menjadi penting, pusat-pusat ilmu harus tampil mendigitalkan dirinya agar memudahkan akses publik akan literatur kredibel yang terpercaya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja agar demokrasi tidak keluar dari jalurnya. Perlu dikhawatirkan, keterbelahan politik publik sebagaimana saat ini malah memundurkan demokrasi, terlebih bila kemudian narasi regulasi diperkuat dengan model represi, melebihi kebutuhan edukasi dan diskusi publik sebagai sarana pencerdasan sekaligus pencerahan.
Sekali lagi, it's about a man behind the gun! Bukan senjata yang salah, aspek manusianya yang harus dibenahi agar senjata hanya akan sekadar menjadi alat pelindung, bukan sebagai sarana mematikan nalar publik.