Wacana Digital, Ruang Sempit Komunikasi

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2019 1:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yudhi Hertanto Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Degradasi! Makna percakapan di ruang digital memang sempit terbatasi. Pembatas tersebut, ada dalam bentuk format tampilan atau space karakternya.
ADVERTISEMENT
Tidak heran, mekanisme interaksi tekstual yang difasilitasi melalui medium digital kerap gagal memediasi pembicaraan yang demokratis. Padahal sebagaimana Habermas, dunia maya dapat menjadi sebuah public sphere baru.
Di media sosial, kebisingan (noise) memang kerap menutup aspirasi publik (voice). Tapi keriuhan itu, nampak semakin menjadi persoalan akhir-akhir ini. Dinamikanya cenderung sangat fluktuatif. Terlihat jelas bahwa kita mengalami kondisi gegar budaya dalam penggunaan teknologi.
Merujuk McLuhan, diktum dasarnya, kita mempertajam penggunaan perangkat peralatan melalui teknologi, dan pada giliran akhirnya kehidupan serta kebudayaan kita dipertajam oleh hal tersebut. Interaksi yang timbul bersifat dialektis.
Disini letak masalahnya. Tanpa disertai pemahaman, pengetahuan dan kapasitas yang cukup, kondisi gegar teknologi bisa berlangsung panjang dengan berbagai konsekuensi yang dihadapi secara paralel.
ADVERTISEMENT
Fase adopsi teknologi digital, hingga kemudian kita mampu secara utuh beradaptasi dengan hal tersebut, sekurangnya membutuhkan waktu puluhan tahun. Termasuk karena perbedaan antar generasi terjadi.
Penghuni yang aktif berinternet sejak lahir (digital native), akan berbenturan dengan mereka yang pernah mengalami era pra internet (digital immigrant). Imajinasi ruang setara sebagaimana konsep Habermas terjadi dalam konteks yang anarkis.
Pada media mainstream, atau percakapan fisik model komunikasi masih mengandaikan bahwa para pihak yang berkomunikasi menggunakan norma sosial yang berlaku. Di jagat digital, sekat-sekat itu runtuh dan menghilang. Semua berkedudukan sama, tanpa bingkai nilai dan norma.
Dengan begitu tesis Tom Nichols tentang Death of Expertise menjadi semakin jelas. Penulis karya ilmiah bisa kalah populer dari penulis partikelir yang lihai menjual sensasi dan kontroversi, bukan tidak mungkin melakukan propaganda hingga agitasi.
ADVERTISEMENT
Khalayak media digital, juga berada dalam situasi menyampingkan embel-embel akademik sebagai kredibilitas kedua setelah emosionalitasnya tersentuh. Rasionalitas menjadi sekedar soal persetujuan rasa.
Dalam teori komunikasi ada yang disebut sebagai konvergensi simbolik. Satu situasi dimana, rujukan percakapan menjadi homogen, dan makna dalam simbol-simbol yang diperbincangkan menjadi sama. Lantas, atas kesepahaman tersebut, dibangun kohesi sebagai kelompok.
Ruang maya menghadirkan hal itu. Skema filter bubble dan echo chamber terjadi. Kita terperangkap dalam gelembung sabun akibat banjirnya informasi. Gagal melakukan sortir dan seleksi. Lalu, menganggap kelompoknya sebagai kebenaran absolut yang tunggal.
Sejatinya, kedudukan yang setara adalah prasyarat demokrasi dialogis. Sayangnya, dunia digital bak rimba raya. Memang tumpang tindih. Pengaturan ranah online bukan jawaban mutlak. Butuh kemampuan sebagaimana Stuart Hall berbicara tentang active audience dalam reception theory. Diperlukan kemampuan literasi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, dibutuhkan etika. Distorsi dan manipulasi informasi berseliweran di alam digital. Hoax hingga hate speech bertebaran. Bisa merupakan agenda sistematik terencana, atau sekedar luapan emosi sesaat. Peran kontrol diri dan kedewasaan bersifat penting.
Kadrun & Bani Togog, Sekuel Cebong Kampret
Pilihan kata, mencerminkan kondisi kita. Setelah kontestasi politik, yang menghadirkan diksi cebong dan kampret sebagai representasi antagonistik, ajakan membangun persatuan belum juga bisa memulihkan situasi akibat polarisasi.
Kita memahami bila persatuan bukan persatean! Bersama bukan berarti tidak bisa berbeda. Terlebih keberagaman adalah sebuah kekayaan. Tetapi mempertentangkan perbedaan mengakibatkan semakin lebar dan dalam jurang pemisah.
Disisi lain, menutup ruang berbeda juga menumpulkan nalar koreksi. Keseimbangan harus berayun di antara kedua perspektif tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana model penerimaan pesan dalam teori active audience, kita perlu melihat makna pesan sebuah informasi dengan skema (i) dominasi -menerima secara hegemonik, (ii) oposisi -menolak keseluruhan, maupun (iii) negosiasi -merujuk kondisi adaptif.
Kutub dominasi dan oposisi, ada di kedua sisi ekstrem yang sulit membangun kesepakatan. Dengan demikian, prinsip yang semestinya dibangun di dunia digital adalah sikap negosiasi berdasarkan substansi.
Gangguan pascakontestasi tidak mereda. Ketika cebong-kampret mulai ditinggalkan, seiring dengan rekonsiliasi elite, akar rumput masih membara. Istilah kadrun alias kadal gurun dan bani togog menjadi pilihan kata ganti yang sama buruknya.
Berdasarkan Crispin Thurlow, Kristine Mroczek, dalam Wacana Digital: Bahasa Media Baru, 2019, aspek sosiolinguistik di era internet memang menghadirkan paradoks. Keberlimpahan percakapan ditimpali dengan penggunaan bahasa berkualitas rendah. Padahal bahasa adalah produk budaya.
ADVERTISEMENT
Kita memang tengah berhadapan dengan situasi riil sedemikian. Budaya adiluhung memang menjadi budaya massa. Dalam pandangan Edward T Hall, memang terdapat pilihan untuk menggunakan high context culture -komunikasi budaya tinggi yang implisit berpangkal pada aspek kolektivitas, maupun low context culture -komunikasi budaya rendah yang eksplisit dan individual.
Dengan begitu, kita perlu melihat bingkai suasana dalam komunikasi. Sayangnya, wacana yang dibangun di dunia digital seringkali tidak melihat proporsi hal tersebut. Kemampuan melewati rintangan baru adalah refleksi peradaban serta budaya kita sebagai sebuah bangsa dan negara.
Maka butuh peran serta dan partisipasi aktif publik untuk bisa menempatkan diri sebagaimana citizen yang bertanggung jawab di dunia riil, pun ketika menjadi netizen pada dunia digital. Padahal kita membutuhkan kolaborasi bukan polarisasi.
ADVERTISEMENT
Sementara para pencipta kebingungan, bias informasi dan pihak-pihak yang mengangguk untung dari kisruh komunikasi dunia digital akan lenyap selaras dengan kesadaran dan kewarasan kita bersosial media. Mampukah kita?