Wajah Kelam Demokrasi dalam Catatan Dirty Vote

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
Konten dari Pengguna
13 Februari 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Film Dirty Vote. Foto: Dirty Vote
zoom-in-whitePerbesar
Film Dirty Vote. Foto: Dirty Vote
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berani! Peluncuran film Dirty Vote (11/2), jelang tenggat periode pemilihan, adalah sebuah langkah yang perlu diapresiasi. Sebagian di antara kita boleh menyebutnya kontroversial, dengan berbagai kemungkinan motif dari kehadiran film tersebut.
ADVERTISEMENT
Tetapi, film sebagai sebuah karya pemikiran, membuat kita harus mau secara terbuka menerimanya sebagai model konstruksi realitas yang ditawarkan. Suka atau bahkan tidak suka sekalipun.
Dirilis melalui kanal Youtube, dan telah ditonton lebih dari 3 juta views, produk film dengan durasi sekitar 90 menit ini memperoleh momentum viralitas.
Bahkan sejak mulai sebaran teaser film itu, beberapa hari sebelumnya, banyak pihak yang menantikan penayangan film dengan genre dokumenter tersebut.
Bertindak sebagai narator dalam film adalah tiga ahli hukum tata negara, yang menyampaikan temuan dari berbagai hal terkait proses pemilihan umum 2024, Lengkap disertai dengan berbagai data dan fakta yang berkait, diurai dalam runtutan waktu yang bertalian antara satu kejadian dengan kejadian lain.
ADVERTISEMENT
Prinsip dasar dalam ranah ilmu politik: tidak ada yang merupakan suatu kebetulan tanpa perencanaan, bahkan untuk yang terlihat seakan-akan tampak sebagai ketidaksengajaan, sejatinya telah disengaja dan direncanakan sebelumnya.
Politik adalah ruang konspirasi kekuasaan, demikian hukum besinya.
Sesungguhnya tidak ada yang baru dalam apa yang diangkat melalui film tersebut. Majalah Tempo dalam berbagai edisi, sudah berulang kali melansir pemberitaan mengenai panggung belakang Pemilu 2024, beserta keremangan yang ada di dalamnya. Jelas bukan barang yang sama sekali baru.
Praduga dan opini publik, yang mungkin hadir bersamaan dengan tontonan Dirty Vote tentu sangat bergantung interpretasi dan tafsir masing-masing.
Satu hal penting, bahwa kebohongan dan berbagai tindakan manipulatif, merupakan kebiasaan yang telah menurun dari kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Hal itu dijelaskan dalam Truth, Tom Phillips, 2021, meski kita membabaki abad ini sebagai post-truth, sesungguhnya sejak zaman dahulu kala produksi kebohongan adalah sebuah hal yang terinternalisasi dalam relasi manusia.
Periode digital mengeskalasi perbuatan kebohongan itu secara masif.
Kebohongan, menurut Stephens-Davidowitz, Everybody Lies, 2018 sebenarnya dilakukan oleh semua dari kita, dalam berbagai skala. Termasuk para aktor politik yang sedang memoles diri berkampanye.
Hal itu, kini mudah terekam melalui jejak digital, keberadaan teknologi internet memudahkan distribusi informasi yang bohong serta keliru. Big data membantu kita untuk melihat pola relasi dan bagaimana kebohongan itu tercipta sekaligus diciptakan.

Polemik Film

Menyoal Dirty Vote, bila kemudian ada kalangan yang merasa keberadaan akan karya film tersebut seolah mendegradasi proses pemilu, di mana asumsi kecurangan yang ditampilkan, dinilai sebagai fitnah dengan nada kebencian.
ADVERTISEMENT
Jelas perlu dikaji ulang. Adagium penting dari kemampuan reflektif kita adalah, take the message not kill the messenger, mampu melihat makna serta mengambil hikmah.
Tumpukan peristiwa yang terjadi di ranah pentas politik nasional, tidak ada di ruang yang kosong. Ada konteks yang berkesinambungan. Publik bersikap skeptis, bukan dalam nada yang pesimis.
Skeptis didefinisikan sebagai upaya verifikasi sebuah kejadian dengan data dan fakta lain, diperbandingkan serta diberi kesimpulan.
Pemilu adalah keniscayaan dalam demokrasi dan kita dipenuhi optimisme, agar hasilnya sesuai harapan publik, mereka yang terpilih memiliki kompetensi dan mengurusi soal hidup rakyat-res publica.
Pada agenda pemilu kali ini, rasionalitas publik tidak bisa dianggap sebelah mata. Dari pemilu ke pemilu, khalayak ramai telah belajar tentang satu hal: tidak ada yang benar-benar mewakili kepentingan publik, kecuali publik itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Karena itu, pendekatan ilmiah dengan basis survei sekalipun, bukan tidak mungkin luput dalam memprediksi. Ada hal yang tersembunyi di hati dan benak publik yang tak terungkap.
Sebuah film yang kemudian menjadi polemik, sesungguhnya telah berhasil menarik perbincangan meluas. Membuka cakrawala berpikir dalam melihat peristiwa. Sebagaimana fungsi sebuah film, yang tidak hanya menjadi tontonan tetapi juga menjadi media tuntunan.
Pada bagian akhir, kita perlu membayangkan bagaimana hasil pemilu yang hanya berhitung hari ke depan, akan menghasilkan kualitas kepemimpinan bangsa ini.
Kita tidak hanya menilai aspek keterpilihan semata, tetapi juga bagaimana proses yang menyertainya, semua akan terbingkai dan menjadi catatan sejarah.
Problemnya sejarah kebangsaan seperti apa yang kita ingin torehkan? Jelas kita tidak berharap dicatat dalam lembar hitam sejarah, akan wajah kelam kehidupan demokrasi kita saat ini.
ADVERTISEMENT
Semuanya tentu bergantung di tangan para pemilih pada bilik suara nanti. Selamat memilih!