Cerita Relawan Indonesia yang Kirim Bantuan ke Rakhine State

11 September 2017 22:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bantuan ACT untuk Rohingya. (Foto: Aksi Cepat Tanggap (ACT))
zoom-in-whitePerbesar
Bantuan ACT untuk Rohingya. (Foto: Aksi Cepat Tanggap (ACT))
ADVERTISEMENT
Dua orang relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang bernama Faisol dan Suryadi berhasil masuk ke Rakhine State, Myanmar. Mereka menyalurkan bantuan makanan sebanyak 12 ton dari Indonesia yang disebar di 12 titik.
ADVERTISEMENT
Selain itu ada pula bantuan berupa terigu, kentang, cabai, minyak, sayur, dan kacang-kacangan. Menurut penuturan Faisol, ketika melihat kondisi pengungsian etnis Rohingya sangat menyedihkan.
"Berdasarkan tadi yang sudah saya update adalah 300 ribu yang​ sudah menyeberang di Bangladesh dan 100 ribu di perbatasan Myanmar, dan 100 ribu masih stuck on the way," kata Faisol di kantor ACT, Menara 165, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (11/9).
"Mereka tinggal di tenda, tenda-tenda plastik, terpal dan alasnya juga seadanya dan kalau nggak ada terpal ya diatas tanah gitu, ketika di pengungsian yang di perbatasan seperti itu seadanya, plastik ketemu plastik, baju mereka kalau bisa disampirkan ke atas itu bisanya, dengan seadanya," lanjut dia.
Bantuan ACT untuk Rohingya. (Foto: Aksi Cepat Tanggap (ACT))
zoom-in-whitePerbesar
Bantuan ACT untuk Rohingya. (Foto: Aksi Cepat Tanggap (ACT))
Faisol juga menambahkan selama di Myanmar, ia melihat penjagaan super ketar yang diberlakukan oleh aparat setempat. Aparat keamanan Myanmar itu bertugas untuk memeriksa siapa pun yang masuk ke wilayah itu.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, para etnis Rohingya terus mengalami tindakan kekerasan. Hal itu membuat sangat menyedihkan.
"Jadi kondisinya sangat memprihatinkan, sangat menyedihkan dan membuat tears down ketika melihat itu. jadi betul-betul sad gitu," ucap Faisol.
"Iya betul, ada tindakan-tindakan kekerasan yang jelas dibunuh, innocent people ya, anak-anak wanita, bapak-bapak, lansia, tidak pandang bulu, bahkan naudzubillah min zalik, they can depressed gitu untuk woman ya. itu yang terjadi," imbuhnya.
Bantuan ACT untuk Rohingya. (Foto: Aksi Cepat Tanggap (ACT))
zoom-in-whitePerbesar
Bantuan ACT untuk Rohingya. (Foto: Aksi Cepat Tanggap (ACT))
Etnis Rohingnya itu, dijelaskan Faisol juga harus mencari tempat yang aman. Bila tidak, nyawa yang jadi taruhannya.
"Mereka harus cari safe place, tempat yang aman karena kalau tidak cari yang aman, nyawa taruhannya. Bahwa tindakan-tindakan​ kekerasan ini betul sudah masuk kategori human rights ya," papar Faisol.
ADVERTISEMENT
Faisol yang berada di Myanmar mulai tanggal 3 hingga 9 September 2017 bersama Suryadi ini juga menjelaskan bahwa di Rakhine State ada tiga tempat.
"Rakhine state itu kalau untuk line square nya saya kurang begitu hafal, tapi ibarat kita seperti Surabaya gitu, Rakhine state yang mana ada tiga tempat selama empat jam dari ibukota," terangnya.
Pengungsi Rohingya di Kyaukpyu Rakhine. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya di Kyaukpyu Rakhine. (Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun)
Petani adalah mayoritas pekerjaan etnis Rohingnya. Faisol juga menjelaskan kalau para petani itu tidak mendapatkan pendidikan serta kesehatan dari Pemerintah Myanmar.
"Untuk Rohingya mayoritas pekerjaannya adalah petani dan mereka tidak mendapat pendidikan. Mereka tidak diakui warga negara, dan aktivitas mereka dibatasi, everything limited. Jadi no school, no healthy condition," ungkap Faisol.
Faisol menerangkan sejak tahun 2012 sampai sekarang populasi Rohingnya terus menurun. Penurunan itu karena adanya kekerasan terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
"Kemarin 1,1 juta yang dirilis yang eksis sampai sekarang dari 7 juta, terus mengalami penurunan dan betul-betul terjadi kekerasan ya, penghilangan nyawa dan sebagainya," tegas Faisol.
Sementara itu, aparat keamanan Myanmar juga sangat kuat dan sering sekali mondar-mandir untuk memantau pergerakan para etnis Rohingya. Sehingga penyaluran bantuan dari luar untuk diberikan kepada etnis Rohingya sangat sulit. Berbagai macam strategi dibutuhkan agar dapat memberikan bantuan.
"Kalau kondisi saat ini sangat sulit mas, karena belum ada Internasional Aid yang dibuka dari government. Artinya kita harus hide and seek, dengan baju lembaga kemanusiaan juga harus hide and seek. Ketika Internasional Aid belum dibuka ya sulit, mereka nggak bisa menerima gitu. Jadi akan ketemu aparat dan lain sebagainya di bandara imigrasi terutama di Sittwenya yang kita alami betul," bebernya.
Bantuan ACT untuk Rohingya. (Foto: Aksi Cepat Tanggap (ACT))
zoom-in-whitePerbesar
Bantuan ACT untuk Rohingya. (Foto: Aksi Cepat Tanggap (ACT))
Untuk itu, Faisol menjelaskan, ada strategi yang dibuat oleh para relawan dalam menyalurkan bantuan. Mereka lebih banyak memanfaatkan relawan lokal sebagai tim kemanusiaan dari Indonesia dan ACT.
ADVERTISEMENT
"Kami ada strategi dengan​ memanfaatkan relawan lokal dengan bahasa lokal mereka, kami sebagai tim kemanusiaan dari Indonesia dan ACT kita sudah cari tempat yang aman dulu sebelum bantuan pokok itu datang dari pasar-pasar. Kemudian setelah aman kita distribusikan. Karena kalau tidak dengan strategi itu, akan bahaya buat kita sendiri. Karena memang kita belum dibuka Internasional aid itu," tutur Faisol.