Penanganan Kekerasan Bersenjata di Papua: Belajar dari Timor Timur

Yudo Rahmadiyansyah
Peneliti di Cakra Wikara Indonesia - Peminat Studi Nasionalisme, Politik Identitas, Geografi Politik, dan Resolusi Konflik.
Konten dari Pengguna
4 Mei 2021 11:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudo Rahmadiyansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendera bintang kejora yang seringkali dikaitkan dengan gerakan pro kemerdekaan di Papua. (flickr.com/photos/lussqueittt/)
zoom-in-whitePerbesar
Bendera bintang kejora yang seringkali dikaitkan dengan gerakan pro kemerdekaan di Papua. (flickr.com/photos/lussqueittt/)
ADVERTISEMENT
Selama beberapa waktu ke belakang, masyarakat dihebohkan dengan serangkaian peristiwa yang berkaitan dengan kelompok gerakan pro kemerdekaan di Papua.
ADVERTISEMENT
Pertama adalah penembakan guru di Beoga, kemudian kasus membelotnya Pratu Lusius dan yang terbaru adalah baku tembak yang terjadi di Kabupaten Puncak dan menyebabkan gugurnya Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha. Serangkaian tindakan tersebut, diduga dilakukan untuk menunjukkan eksistensi gerakan ini di masyarakat luas.
Rangkaian peristiwa yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) maupun Organisasi Papua Merdeka (OPM) tersebut, sebenarnya bisa menimbulkan kerugian bagi gerakan ini, apalagi yang dilakukan dengan cara kekerasan bersenjata.
Karena kejadian semacam itu, akan menimbulkan persepsi bahwa gerakan ini menggunakan kekerasan baik kepada sipil maupun aparat Indonesia, sehingga mengurangi simpati dari masyarakat. Mereka pun akan dicap sebagai pelanggar HAM juga.
ADVERTISEMENT

Melihat Strategi Gerakan Pro kemerdekaan dalam Kekerasan Bersenjata

Di samping kerugian. Gerakan ini juga dapat memanfaatkan situasi, apabila respons dari pemerintah dan aparat adalah melakukan melakukan operasi ofensif untuk menumpas gerakan ini. Pemerintah maupun aparat Indonesia, sudah selayaknya lebih berhati-hati untuk melakukan kebijakan. Terutama kebijakan yang bersifat ofensif dalam menanggapi kekerasan yang dilakukan gerakan pro kemerdekaan di Papua.
Apalagi, belakangan ini pemerintah merespons rangkaian peristiwa kekerasan bersenjata yang dilakukan gerakan pro kemerdekaan Papua, dengan melabeli kelompok tersebut sebagai 'Kelompok Separatis dan Teroris' (KST). Keputusan ini, menyebabkan Densus 88 akan turun juga ke Papua untuk melakukan 'operasi penumpasan'.
Kemungkinan jatuhnya korban kekerasan kepada masyarakat sipil oleh oknum aparat, tentunya akan sangat besar terjadi. Apalagi jaringan klandestin dari gerakan semacam ini, memiliki batas yang sangat kabur dengan penduduk sipil biasa.
ADVERTISEMENT
Penetapan status 'teroris' maupun 'separatis', dibanding penggunaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang digunakan sebelumnya. Tentu berpotensi mengubah persepsi masyarakat terhadap gerakan ini.
Istilah KKB cenderung akan memudahkan pemerintah untuk membentuk perspektif, bahwa kelompok tersebut adalah 'hanya sekumpulan kriminal yang melakukan kejahatan demi keuntungan segelintir pihak'.
Sedangkan istilah 'teroris' maupun 'separatis', akan memberikan kesan bahwa kelompok tersebut bergerak atas dasar ideologi, yaitu perjuangan kemerdekaan Papua Barat dari "cengkeraman" Indonesia.

Belajar dari Timor Timur

Pemerintah dan aparat harus sangat berhati-hati, dalam merespons provokasi berupa kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok pro kemerdekaan Papua. Jangan sampai kebijakan yang terlalu terburu-buru, memancing peristiwa seperti 'Insiden Liquisa' di Timor Timur pada 13 Januari 1995 terjadi di Papua.
ADVERTISEMENT
Pada insiden tersebut terjadi perbedaan versi antara penduduk sekitar, KOMNAS HAM dengan ABRI. ABRI yang melakukan operasi, mengatakan bahwa enam penduduk yang terbunuh merupakan anggota dan bagian dari jaringan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Fretilin.
Sedangkan keterangan penduduk dan temuan KOMNAS HAM menyatakan bahwa keenam penduduk sipil yang 'statusnya tidak dapat dipastikan', mengalami intimidasi dan penyiksaan dari aparat agar mengaku sebagai bagian dari Fretilin (Singh, 1998:206-208).
Insiden tersebut berhasil dimanfaatkan oleh aktor intelektual pro kemerdekaan Timor Timur, untuk "mengadu" kepada dunia internasional, dan kemudian menimbulkan solidaritas dari masyarakat internasional (sebagaimana Tragedi Santa Cruz yang terjadi sebelumnya).
Apabila hal tersebut terjadi, tentu aktor intelektual dari gerakan pro kemerdekaan di Papua, juga dapat memanfaatkan strategi yang sama, yaitu membawa isu pelanggaran HAM berat di politik internasional. Simpati masyarakat internasional, dapat berujung kepada penekanan pemerintah mereka masing-masing, dan berpotensi memojokkan Indonesia di berbagai forum internasional.
ADVERTISEMENT

Operasi Teritorial dan Pembauran dengan Masyarakat

Alangkah bijaknya apabila pemerintah maupun aparat, tidak langsung melakukan operasi-operasi ofensif (apalagi yang bersifat agresif dan represif semacam penetapan DOM) untuk menumpas gerakan ini.
Operasi teritorial sebagaimana yang telah dilakukan selama ini, perlu semakin ditingkatkan dibarengi dengan pelibatan aparat-aparat asli Papua yang beberapa tahun kebelakang telah banyak di rekrut oleh TNI (maupun Polri).
Sebagaimana yang dikatakan oleh Basilio Araujo (mantan juru bicara prointegrasi Timor Timur), bahwa tindakan ofensif aparat tidak akan menarik simpati masyarakat. Sedangkan pelibatan dan pembauran antara aparat dengan penduduk sipil, akan memperkuat prinsip total defense yang dilakukan militer (Araujo, 2016:54-55).
Pelibatan masyarakat sipil maupun aparat asli Papua, tentunya akan semakin memudahkan penanaman nilai-nilai kebersamaan dan kebangsaan Indonesia bagi penduduk Papua. Kebijakan semacam ini, juga dapat menekan dan mempersempit keberadaan dari kelompok-kelompok bersenjata yang selama ini menjadi ancaman utama bagi keamanan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Singh, B. (1998). Timor-Timur, Indonesia dan dunia: mitos dan kenyataan. Institute for Policy Studies.
Araujo, B. (2016). Timor Timur, gagalnya sebuah diplomasi: Suatu analisa dan kritik dari seorang pelaku sejarah. Indie publishing.