Menyoal Pernikahan dengan Teman Sekantor: Kalau Saya, Pilih Resign

Yufienda Novitasari
Jurnalis kumparan
Konten dari Pengguna
14 Desember 2017 15:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yufienda Novitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan. (Foto: thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan. (Foto: thinkstock)
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi baru saja mencabut peraturan yang melarang pernikahan dengan teman sekantor. Putusan tersebut pastinya jadi angin segar bagi muda-mudi sejoli yang terlibat cinta lokasi di dunia kerja. Mereka kini tak perlu lagi bingung, soal siapa yang harus resign, jika nantinya hubungan tersebut berlanjut serius ke pelaminan.
ADVERTISEMENT
Menyoal pernikahan dengan teman sekantor, membuat ingatan saya terbang kembali ke bulan Desember tepat satu tahun silam. Saat itu, saya sedang getol-getolnya mencari pekerjaan baru. CV yang sudah lama tak disentuh pun saya update, segala lowongan di jobstreet pasti saya sambangi.
Alasan utamanya bukan karena saya bosan. Boleh dibilang, pekerjaan saya waktu itu sangat berwarna. Sebagai wartawan TV swasta yang kala itu ditempatkan di program jalan-jalan, saya paling tidak sebulan sekali dinas ke luar kota. Berkenalan dengan banyak warga di pelosok negeri, serta mengenal beragam kearifan lokal dari tradisi bumi pertiwi. Ah, menyenangkan rasanya mengingat masa-masa itu.
Nikah dengan teman sekantor? (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Nikah dengan teman sekantor? (Foto: Unsplash)
Tapi seperti yang dikatakan semua orang, hidup ternyata memang benar sebuah pilihan. Walau berat, saya memutuskan resign dari pekerjaan saya, karena akan menikah dengan teman sekantor yang juga satu divisi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya kantor tempat saya bekerja saat itu tidak memberikan peraturan yang tegas soal pernikahan dengan teman satu kantor. Dari buku peraturan perusahaan yang saya dapatkan di akhir tahun 2014, memang tertulis bahwa pernikahan dengan teman satu perusahaan diperbolehkan selama tidak satu divisi. Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa teman saya menikah dengan teman satu divisi, dan nyatanya tak ada tindak lanjut dari pihak HRD.
Saya yang kala itu bertekad harus resign sebelum menikah, akhirnya mendapat pekerjaan baru. Surat resign pun saya berikan ke atasan pada bulan Januari 2017.
Satu bulan kemudian, saya menyandang status sebagai karyawan baru, sebelum akhirnya menikah pada bulan Maret 2017.
Teman Kantor (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Teman Kantor (Foto: Thinkstock)
Bagi saya, ada atau tidaknya peraturan menikah dengan teman sekantor sebenarnya tak berpengaruh apa-apa. Saya dengan pasti memilih untuk resign (tentunya setelah mendapat pekerjaan baru), dibanding harus bekerja satu kantor dengan suami. Kenapa? Karena menjaga profesionalisme di dunia kerja itu tak semudah membalik telapak tangan.
ADVERTISEMENT
Hubungan suami-istri tak mungkin selamanya semanis madu. Wajar jika sesekali timbul masalah dan pertengkaran. Saya khawatir, jika suatu saat hal itu terjadi dalam rumah tangga saya, saya tak dapat menyelesaikan masalah itu dengan bijak. Bukannya saling introspeksi diri, tapi bisa jadi malah makin jengkel dengan pasangan karena intensitas bertemu yang sering di dalam kantor.
Alasan lainnya kenapa saya memutuskan lebih baik resign ketimbang satu kantor dengan suami adalah untuk menghindari unsur konflik kepentingan. Suami saya waktu itu kebetulan baru dipromosikan naik satu jenjang jabatannya di atas saya. Nah, untuk menghindari isu-isu yang mengarah ke praktik KKN itulah, saya rasa tak ada salahnya lebih baik cari pekerjaan baru.
Teman kantor (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Teman kantor (Foto: Thinkstock)
Rumah dan kantor adalah tempat yang berbeda, dinamika di dalamnya pun tak mungkin sama. Buat saya pribadi, saya ingin menciptakan garis batas yang nyata tentang “What happens in office, stays in office. What happens at home, stays at home.”
ADVERTISEMENT