Thomas Jefferson dan Catatan Kelam Paradoks Perbudakan

Dubes Yuri O Thamrin
Diplomat senior yang telah memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun mewakili Indonesia baik dalam diplomasi bilateral maupun multilateral.
Konten dari Pengguna
11 Juli 2020 1:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dubes Yuri O Thamrin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada saat Amerika Serikat (AS) merayakan 244 tahun kemerdekaannya pada 4 Juli 2020 ini, teringat kita akan Thomas Jefferson (1743-1826), seorang tokoh legendaris di negeri Paman Sam itu. Jefferson adalah perumus rancangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika (Declaration of Independence) yang diajukan ke Kongres AS pada 4 Juli 1776 dan menandai upaya 13 koloni di Amerika untuk lepas dari eksploitasi dan penjajahan Inggris.
Thomas Jefferson. Foto kredit: www.laphamsquarterly.org
Begitu masyhurnya Thomas Jefferson dan ketokohannya sebagai "bapak kebebasan", Pemerintah AS pun telah membangunkan baginya sebuah pantheon megah di tepian sungai Potomac di Washington DC bernama "Jefferson Memorial" yang sering dijuluki "Candi Kebebasan" (a Shrine of Freedom).
ADVERTISEMENT
Shrine of Freedom, Thomas Jefferson Memorial di Washingdon DC. Foto kredit: Wikipedia
Bagaimanakah rekam jejak Jefferson? Adakah paradoks dalam kehidupan "bapak bangsa" (founding father) Amerika ini?
Declaration of Independence
Deklarasi Kemerdekaan Amerika sejatinya memuat nilai-nilai dasar pembentukan AS sebagai negara bangsa (nation state). Bangsa AS menganggapnya sebagai cermin dari "American exceptionalism" di kalangan bangsa-bangsa di dunia ini.
Di samping memuat nilai-nilai dasar yang hakiki, deklarasi pun memuat komplain terhadap penindasan Inggris terhadap AS serta argumen hukum dan filsafat yang menjadi dasar bagi hak kemerdekaan AS dari Inggris.
Dari keseluruhan teks dokumen deklarasi kemerdekaan itu, bagian pembukanya sangat terkenal di dunia dan gemanya terus terasa hingga saat ini sebagai berikut: "We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain inalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness".
ADVERTISEMENT
Guratan paragraf penting itu dalam terjemahan bebasnya: "Kami memandang bahwa kebenaran-kebenaran ini nyata adanya bahwa seluruh manusia terlahir setara dan bahwa Tuhan Maha Pencipta menganugrahi manusia hak-hak dasar yang tidak dapat dikurangi dan bahwa di antara hak-hak dasar itu adalah hak utk hidup, hak untuk menikmati kebebasan dan hak untuk mencari kebahagiaan".
Deklarasi kemerdekaan Amerika itu jelas merupakan dokumen politik produk "Abad Pencerahan" (Enlightenment) yang telah melahirkan ideologi demokrasi dan juga menghapuskan sistim pemerintahan monarki absolut.
Dokumen itu telah pula menginspirasi banyak gerakan kemerdekaan di berbagai penjuru dunia termasuk menjadi rujukan "founding fathers" bangsa Indonesia.
Legenda VS Realitas
Sejatinya, Thomas Jefferson adalah seorang tokoh yang melegenda. Dia adalah sosok cerdas yang sukses sebagai filosof, politisi, negarawan, arsitek dan pendidik. Jefferson adalah presiden ke-3 AS yang memerintah selama dua periode (1801-1809). Sebelum itu pun, dia pernah menduduki berbagai jabatan penting seperti wakil presiden, menteri luar negeri, menteri keuangan Amerika serta sebagai gubernur Virginia. Rekam jejaknya sebagai arsitek piawai antara lain tercermin dari berbagai karyanya di perkebunan Monticello termasuk mansion indah miliknya. Dia pun memotori perumusan Undang-undang Kebebasan Beragama di negara bagian Virginia dan mendirikan Universitas Virginia di AS.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, gambaran Jefferson "sang legenda" perlu pula disandingkan dengan catatan historis tentang realitas kesehariannya. Dengan cara ini kita bisa memahami siapa sesungguhnya tokoh penting ini. Dari sudut ini, sayangnya memang ada beberapa catatan kelam dan kontradiktif tentang tokoh ini.
Paradoks Perbudakan
Walaupun menyatakan "semua manusia terlahir setara", Thomas Jefferson ternyata adalah salah satu pemilik budak terbesar di negara bagian Virginia. Dengan lebih dari 600 budak miliknya, Jefferson mengelola perkebunan Monticello, seluas 20 kilometer persegi, penghasil tembakau.
Lukisan diri dengan cat minyak Martha Wayles Skelton Jefferson yang dibuat tahun 1965 oleh artist George Geygan, berdasarkan gambaran mengenai Martha. Lukisan dibuat 183 tahun setelah kematiannya. Sumber: firstladies.org
Jefferson menikahi Martha Wayles, putri cantik seorang saudagar kaya. Darinya Jefferson dikarunia 6 orang anak. Namun demikian, sejarah juga mencatat adanya pemaksaan oleh Jefferson terhadap Sally Hemings, salah satu budak wanita yang dimilikinya, yang kemudian melahirkan 6 orang anaknya hasil dari hubungan yang asimetris itu.
ADVERTISEMENT
Sally Hemings. Foto kredit: Thomas Jefferson Foundation diambil dari www.dailymail.co.uk
Jefferson tidak pernah memerdekakan budak-budaknya, kecuali saat menjelang kematiannya. Itu pun terbatas hanya pada keluarga Hemings, termasuk anak-anaknya sendiri dari Sally Hemings. Akan halnya budak-budak yang lain, telah dijual untuk menutup hutang-hutangnya.
Sejarah juga mencatat bahwa keturunan Jefferson pun, seperti halnya Thomas Jefferson Randolph, telah berperang di pihak Selatan yang mempertahankan sistim perbudakan dalam Perang Saudara Amerika (1861-1865).
Dengan alasan ini, Lucian K. Truscot IV (seorang novelis Amerika dan cucu generasi ke-6 dari Thomas Jefferson) menulis artikel di International New York Times (8 Juli 2020) yang meminta agar patung kakek buyutnya di "Jefferson Memorial" sebaiknya diganti saja dengan patung tokoh Amerika lain yang lebih layak. Bagi Truscot, kakeknya itu telah mendapat terlalu banyak kredit dari prinsip yang tidak pernah diterapkannya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Necessary Evil
Marquis de Lafayette adalah seorang jenderal Perancis yang membantu AS dalam perang kemerdekaan Amerika (1775-1783). Sebagai sahabat George Washington, Lafayette pernah meminta Washington untuk memerdekakan para budak tapi Washington menolaknya. Lafayette sangat kecewa dan menulis: "seandainya aku tahu bahwa Amerika pada akhirnya akan menjadi 'tanah perbudakan', tidak mungkin aku mau membelanya" (Henry Wiencek, 2003).
Memang satu catatan kelam bahwa "founding fathers" Amerika umumnya adalah pemilik budak. Tidak hanya Jefferson tapi juga George Washington, Benjamin Franklin, James Madison dan banyak lainnya.
Berbagai teori mencoba menjelaskan paradoks ini. Ada yang melihat bahwa sistim perbudakan adalah "ongkos yang harus dibayar" (necessary evil) agar sistim demokrasi dapat tegak di Amerika. Dalam perspektif ini, prinsip "all men are created equal" lebih diprioritaskan untuk orang kulit putih saja. Selain itu, ada pula yang berpandangan bahwa menghapuskan sistim perbudakan sulit dilakukan pada saat itu karena pasti ditolak oleh para elit politik dan elit ekonomi Amerika yang sangat membutuhkan tenaga budak untuk mengelola berbagai perkebunan luas yang mereka miliki. Dengan demikian, sistim perbudakan dimaklumi keberadaannya demi mempertahankan harmoni sosial, pertumbuhan ekonomi dan kesatuan politik bangsa Amerika yang baru keluar dari penjajahan Inggris. Sistim perbudakan kemudian dapat dihapuskan setelah terjadinya Revolusi Industri, ketika manusia keluar dari sistim ekonomi subsisten-agrikuktural dan ketika mekanisasi pertanian telah mampu menggantikan tenaga budak (Kevin Drum, Foreign Affairs, 2018).
ADVERTISEMENT
Kemajuan dan Tantangan
Dalam perkembangannya, terdapat kemajuan nyata dalam perjalanan AS memastikan "equal rights" bagi seluruh warganya. Perbudakan telah dihapuskan pada 1865 melalui Amandemen ke-XIII Konstitusi Amerika. Segragasi rasial di sekolah sudah dilarang sejak 1954. Pada saat ini, hak-hak sipil warga AS keturunan Afrika sudah secara penuh diakui. Bahkan, Barack Obama telah terpilih sebagai "the first black President" untuk 2 periode (2008-2016).
Namun demikian, AS sejatinya masih menghadapi problema "Racial Divide" (keterbelahan rasial) yang tetap berlangsung hingga saat ini Kebrutalan polisi terhadap warga kulit hitam George Floyd baru-baru ini telah memunculkan gelombang protes "Black Lives Matter" baik di AS maupun di beberapa negara lainnya. Ke depan, politik identitas yang menguat pada masa pemerintahan Presiden Trump tampaknya akan lebih memperumit tantangan ini.
ADVERTISEMENT
***