Air: Tak Ada Seorang pun yang Boleh Tertinggal

Konten dari Pengguna
22 Maret 2019 10:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah anak bermain di Pintu Air Kalimalang, Jakarta Timur. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anak bermain di Pintu Air Kalimalang, Jakarta Timur. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik antar kelompok di salah satu negara Afrika tersebut berlangsung semakin meruncing sejak 2015. Pada awal tahun ini saja, setidaknya tercatat sebanyak 37 korban akibat konflik di salah satu wilayah negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Badan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut, setidaknya ratusan orang telah terbunuh dalam konflik antara kelompok penggembala dan kelompok petani. Salah satu penyebab dari konflik berkepanjangan tersebut adalah sumber daya air.
Bagi mereka yang hidup dengan sumber daya air yang terbatas, ketersediaan air adalah sangat berhubungan erat dengan kelangsungan hidup mereka dan keluarga, dan karenanya tak heran jika untuk memperoleh dan mempertahankannya memerlukan pengorbanan yang tidak kecil.
Awalnya saya tidak terlalu perhatian mengenai adanya konflik akibat ketersediaan air tersebut, mungkin karena sebagian besar hidup saya dihabiskan di wilayah yang tidak pernah kekurangan air, tapi juga bukan di tempat yang menjadi langganan banjir.
Keyakinan bahwa air merupakan masalah besar yang memerlukan perhatian masyarakat terpahami sendiri ketika mendapat kesempatan beberapa kali kunjungan ke negara-negara di wilayah Afrika. Kunjungan terakhir ke negara Kenya melalui jalan darat pada saat musim kemarau adalah saat yang semakin meyakinkan bahwa air memang menjadi bagian utama kehidupan masyarakat.
Gambaran salah satu pemukiman di Kenya yang kering kerontang ketika musim kemarau.
Di beberapa provinsi yang memiliki tingkat kekeringan yang cukup ekstrem, penduduk banyak menggantungkan mata pencahariannya pada sektor peternakan, dengan menggembalakan kambing, sapi, atau unta.
ADVERTISEMENT
Pada saat musim basah, tidak terlalu menjadi masalah besar untuk memberi makanan ternak gembalaan karena ladang rumput banyak terhampar luas. Lain halnya ketika musim kemarau yang panjang, air kemudian menjadi sumber daya yang paling dibutuhkan untuk memenuhi hajat hidup tidak hanya manusia tetapi juga hewan ternak, serta kehidupan liar di lingkungan tersebut.
Air kemudian menjadi komoditas penting dan menjadi rebutan. Lokasi di mana air ditemukan kemudian menjadi oasis di tengah gurun. Yang saya amati, kalaupun ada sumber air di suatu tempat, itu pun harus digali cukup dalam, dan kemudian secara estafet dinaikkan ke atas untuk kemudian ditampung pada tempat minum ternak.
Kafilah penggembala ternak kemudian secara bergiliran menggiring ternak mereka untuk melepas dahaga. Di sinilah kearifan mereka untuk berbagi air sangat dibutuhkan. Tentu itu tak mudah, sehingga berbagai konflik sebagaimana diceritakan di atas kemudian menjadi kerap terjadi.
Menggembala kambing.
Mengsi air minum ternak.
Kenangan saya kemudian menerawang ke masa kecil di kampung halaman. Rumah keluarga kami kebetulan berada di sisi kampung yang berbatasan dengan persawahan. Saya ingat betul bagaimana para petani berjuang keras untuk mendapatkan aliran air ketika dibutuhkan di sawah mereka dan kemudian membuang airnya ketika memasuki umur tanaman padi yang tidak memerlukan air.
ADVERTISEMENT
Masih terbayang juga dalam video memori saya, para petani memegang parang dan cangkul ketika bersitegang dengan petani lainnya ketika memperebutkan air supaya mengalir ke sawahnya. Konon kabarnya ada yang sampai baku bunuh akibat berselisih soal air, meskipun saya belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri.
Kondisi serba kekurangan air tersebut juga dialami oleh sebagian besar saudara-saudara kita di Timur Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Meskipun ada wilayah yang tidak kurang air, terutama di lokasi sumber mata air, namun secara umum dapat dikatakan bahwa NTT adalah wilayah yang sumber daya airnya terbatas.
Masyarakat melakukan berbagai upaya agar lahan pertanian mereka dapat terus terairi, termasuk melalui pendekatan teknologi dan panen air, yang membantu terjaganya pasokan air.
ADVERTISEMENT
Namun tak kurang juga cerita mengenai bagaimana air yang berlebih kemudian berubah menjadi sumber bencana mengerikan, yang dampaknya tidak kurang menyesakkan dibanding wilayah yang kekurangan. Tentu yang lebih memprihatinkan adalah kondisi di wilayah yang kering kerontang pada saat musim kering dan banjir melanda ketika musim hujan.
Kondisi terkini yang terjadi di wilayah Pantai Utara Jawa adalah merupakan gambaran bagaimana air yang melimpah kemudian malah menjadi sumber bencana, ketika komponen ekosistem lainnya sudah mulai kehilangan fungsi ekosistemnya. Banjir, rob, abrasi, erosi, dan penurunan muka tanah (subsiden) adalah beberapa masalah yang terkait dengan air.
Padahal, berbagai masalah yang disampaikan di muka hanyalah hal yang terkait dengan air sebagai wujud saja, sementara masih ada kebutuhan lain yang lebih esensial bagi manusia, yaitu kebutuhan akan air bersih.
ADVERTISEMENT
Kadang air banyak tersedia dalam bentuk wujud, malah tersedia melimpah, seperti ketika kondisi banjir. Namun dalam kondisi air yang melimpah sekalipun, ketersediaan air bersih untuk kebutuhan minum, makan, mandi, dan sanitasi adalah merupakan persoalan lain yang kerap harus dihadapi.
Dengan memperhatikan berbagai persoalan yang rumit dan multi aspek tersebut, tak heran jika kemudian mulai bermunculan berbagai inisiatif untuk mengatasi persoalan yang terkait dengan air. Di Afrika, misalnya, muncul inisiatif untuk mengaitkan air dengan perdamaian dan keamanan kawasan.
Inisiatif yang resminya bernama Water, Peace, and Security tersebut bahkan pernah diusulkan oleh negara-negara Afrika sebagai draft resolution pada pertemuan CoP Konvensi Ramsar di Dubai tahun lalu, meskipun akhirnya tidak bisa diadopsi karena penolakan dari negara-negara yang belum menganggap air sebagai bagian dari persoalan perdamaian dan keamanan.
ADVERTISEMENT
Kepentingan air sebagai komponen kehidupan sebenarnya telah disepakati secara internasional sejak Desember 1992, ketika pada Sidang Umum PBB untuk urusan lingkungan dan pembangunan (UNCED- United Nation Conference on Environment and Development, sering disebut sebagai Earth Summit) merekomendasikan inisiatif perayaan Hari Lahan Basah Dunia.
Inisiatif ini kemudian disetujui oleh Majelis Umum PBB, yang kemudian mengeluarkan resolusi yang menetapkan tanggal 22 Maret 1993 sebagai Hari Air Dunia (World Water Day), yang kemudian dirayakan setiap tahun.
Perayaan Hari Air Dunia setiap tanggal 22 Maret dilaksanakan dengan mengusung suatu tema tertentu yang berbeda setiap tahunnya, sesuai dengan isu yang sedang berkembang pada tahun tersebut. Pada 2003, PBB bahkan meresmikan UN Water yang menjadi platform mekanisme koordinasi di antara Lembaga-lembaga PBB untuk menangani permasalahan air tawar.
ADVERTISEMENT
Untuk tahun 2019, tema yang diangkat adalah 'Leaving no-one behind' atau padanannya di Indonesia adalah 'Semua harus mendapatkan akses kepada air'. Tema ini diangkat didasarkan kepada salah satu butir dari sasaran Pembangunan Berkelanjutan, yaitu air untuk semua pada 2030.
Hal ini juga berdasarkan kenyataan bahwa miliaran penduduk bumi belum terlayani untuk memperoleh air bersih yang layak. Di antara mereka, kelompok marjinal, seperti perempuan, anak-anak, para pengungsi, penyandang cacat, dan lain-lain sering kali menjadi kelompok yang paling akhir memperoleh manfaat fasilitas air bersih, yang diartikan sebagai air yang aman untuk diminum, tersedia ketika dibutuhkan, terjangkau, dan bebas dari kontaminasi.
Padahal, ketika bencana bersumber dari air datang, kelompok marjinal itulah yang mengalami dampak paling parah.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks tersebut di atas, air kemudian dapat disamakan sebagai Hak Asasi Manusia, di mana pemenuhannya merupakan hak setiap individu, sama tanpa terkecuali. PBB pada tahun 2010 telah menegaskan, “Hak terhadap air minum yang aman dan bersih serta sanitasi adalah merupakan hak asasi manusia yang sangat mendasar untuk dapat menikmati hidup secara penuh”.
Hak asasi tersebut berlaku untuk semua orang, tanpa terkecuali, dan tanpa diskriminasi, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat ditinggalkan. Di Indonesia, penekanan 'semua pihak' tidak hanya terkait dengan hak, tetapi juga keterlibatannya.
“Peringatan Hari Air Dunia dimaksudkan untuk penegasan kembali bahwa pemecahan permasalahan air tidak hanya bisa dilakukan melalui pembangunan infrastruktur oleh pemerintah semata, melainkan juga dibutuhkan partisipasi langsung dari masyarakat untuk menjaga alam,” ujar Hari Suprayogi, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR.
ADVERTISEMENT
Tentu sudah lumayan banyak kegiatan yang ditujukan untuk membantu pemenuhan sasaran pembangunan berkelanjutan di atas maupun untuk mengurangi dampak bencana terkait air. Kementerian Koordinator Maritim bekerjasama dengan Yayasan Lahan Basah/Wetlands International saat ini sedang menyusun peta jalan untuk mitigasi dan adaptasi penurunan muka tanah, yang salah satunya diakibatkan oleh ekstraksi air tanah berlebih.
Selain itu, sebuah inisiatif yang melibatkan pemerintah daerah Kota Semarang dan kumpulan Tim Desain dari Indonesia, Belanda, dan AS sedang merancang saran-saran pengelolaan air di Kota Semarang dan sekitarnya, yang dinamakan 'Air sebagai Pengungkit' atau 'Water as Leverage'.
Hanya dengan sebuah perayaan tentu saja tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang nyata dan kian membesar. Namun, setidaknya perayaan Hari Air Dunia tersebut dapat menjadi pelengkap bagi berbagai aksi nyata yang sedang kita lakukan, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat tertinggal.
ADVERTISEMENT
Baik juga untuk merenungkan kembali firman Allah Azza Wa Jalla: “Agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak, dan manusia yang banyak. (QS Al Furqan : 49).
Bogor, 22 Maret 2019
Yus Rusila Noor