Bakau Tumbuh, Infrastruktur Tak Runtuh

Konten dari Pengguna
13 Oktober 2019 22:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jembatan terputus akibat gerusan air yang terus menerus  (Foto:Yus Rusila Noor)
zoom-in-whitePerbesar
Jembatan terputus akibat gerusan air yang terus menerus (Foto:Yus Rusila Noor)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Beliau menyampaikan hal tersebut sebagai sambutan untuk memperingati Hari Internasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) (The International Day for Disaster Risk Reduction, 2019).
Hari PRB diperingati setiap tanggal 13 Oktober sejak tahun 1989, tumbuh permintaan dari Majelis Umum PBB agar ada suatu hari yang dapat mempromosikan budaya global untuk penyadartahuan risiko dan pengurangan bencana. Pada hari tersebut masyarakat global secara bersama-sama mengurangi keterpaparan mereka terhadap bencana dan lebih sadar akan pentingnya untuk mengatasi ancaman yang dihadapi.
Setiap tahun, perayaan dititikberatkan pada tema-tema tertentu yang telah disepakati, dan pada tahun 2019 temanya dikaitkan dengan salah satu dari tujuh sasaran Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana. Sasaran, yang kemudian menjadi tema perayaan tahun ini, adalah mengurangi kerusakan bencana terhadap infrastuktur penting dan gangguan layanan dasar.
ADVERTISEMENT
Pesan penting yang ingin disampaikan dalam perayaan tahun ini adalah bahwa pembangunan berbagai infrastruktur vital serta fasilitas umum yang melayani kepentingan dasar masyarakat, yang dilakukan dengan mempertimbangkan ketangguhannya terhadap perubahan iklim, akan memberikan keamanan yang lebih baik dan mengurangi korban jiwa ketika terjadi bencana.
Ketika hal diatas dikaitkan dengan ekosistem lahan basah, maka sudut pandang yang bisa diambil adalah bahwa, sesuai dengan fungsinya, lahan basah dapat memberikan perlindungan lebih terhadap infrastruktur penting dan berbagai fasilitas umum lainnya, sehingga dapat lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim, termasuk dalam menghadapi bencana.
Ekosistem bakau misalnya, ketika tumbuh dalam kondisi ekologis yang ideal, maka akan membantu menyediakan fungsi pertahanan pesisir yang lebih baik ketika bencana hidrometeorologis, seperti topan dan tsunami, menimpa wilayah pesisir. Itu juga berarti bahwa ekosistem mangrove (terlebih jika dikombinasikan dengan ekosistem lahan basah lainnya, seperti padang lamun dan terumbu karang) yang baik, secara fisik dapat membantu meningkatkan resiliensi infrastruktur penting dan fasilitas umum lainnya dalam menghadapi bencana.
ADVERTISEMENT
Memang seringkali kita melupakan fungsi ekosistem lahan basah dalam meningkatkan resiliensi di suatu wilayah, ketika semuanya berjalan baik. Namun fungsi tersebut baru disadari dan dirasakan ketika ekosistem lahan basah tersebut rusak, terganggu berat atau bahkan hilang. Ketika tegakan mangrove dibabat habis untuk dialihfungsikan menjadi peruntukan lain yang menghilangkan fungsi alami mangrove, maka tidak berselang lama dapat terlihat bahwa fungsi perlindungan pesisirnya akan segera hilang pula.
Pesisir Pantai Utara Jawa adalah contoh di mana keterkaitan tersebut dapat terlihat dengan nyata. Setelah mangrove berubah menjadi lahan budidaya perikanan secara tidak berkelanjutan, maka perlindungan pesisir menjadi sangat berkurang, dan berbagai ancaman pun semakin mengakrabi lingkungan masyarakat pesisir.
Erosi yang mengikis lahan pesisir hingga sejauh hampir 2 km ke darat dapat teramati di wilayah tersebut. Diiringi dengan amblasan tanah (land subsidence), yang salah satunya disebabkan karena pengambilan berlebih air tanah, dan semakin meningkatnya permukaan air laut, maka ancaman pun semakin nyata dan menjadi-jadi.
ADVERTISEMENT
Banjir rob semakin sering dialami dengan frekuensi genangan air yang lebih tinggi dan tinggal lebih lama. Pemukiman masyarakat pun kemudian terancam. Tidak kurang dari 2 dusun di Demak harus menyerah dan penduduknya mengungsi ke tempat lain yang lebih tinggi. Tidak hanya itu, beberapa infrastruktur dan fasilitas umum penting, seperti jembatan, jalan dan sekolah, atau bahkan pemakaman umum, juga menjadi rusak atau bahkan hancur.
Tak heran melihat jembatan putus, jalan yang berada di bawah permukaan air atau tiang listrik yang masih berdiri di tengah perairan. Belum lagi kalau kita melihat tambak yang tak lagi memiliki pematang karena dihantam gerusan air.
Perspektif terbalik di atas seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa kepongahan manusia untuk melawan alam bagi kepentingan jangka pendek hanyalah akan mendatangkan ancaman nyata ketika bencana menerpa. Mungkin bisa saja dilakukan kegiatan restorasi ekosistem ketika kesadaran terlambat itu muncul, tetapi diperlukan upaya sungguh-sungguh dan berwawasan ekologis dengan dukungan dana, kemampuan teknis dan dukungan kebijakan yang luar biasa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana pun, akan lebih baik kalau kita bisa membangun bersama alam dengan mengembangkan kemitraan untuk ketangguhan.
Bogor, 13 Oktober 2019
Yus Rusila Noor
Jalan penghubung antar desa yang terputus akibat banjir rob (Foto:Yus Rusila Noor)
Jalan penghubung antar desa yang terputus akibat banjir rob (Foto:Yus Rusila Noor)
Puing seolang penanda bahwa disini pernah berdiri rumah (Foto:Yus Rusila Noor)
Banjir rob menggenangi jalan raya (Foto:Yus Rusila Noor)
Kecelakaan akibat jalan tertutup banjir rob (Foto:Yus Rusila Noor)
Puing rumah yang tergerus rob (Foto:Yus Rusila Noor)
Areal pemakaman tak luput dari terjangan banir rob (Foto:Yus Rusila Noor)
Masjid yang tak bisa lagi dipakai tempat ibadah (Foto:Yus Rusila Noor)
Rumah tergenang air rob (Foto:Yus Rusila Noor)
Rumah tergenang air rob (Foto:Yus Rusila Noor)