Bentang Alam 'Satoyama' Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Ekosistem

Konten dari Pengguna
18 Oktober 2019 15:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jepang adalah satu di antara tidak banyak negara di Asia yang didaulat sebagai dedengkot teknologi. Negeri ini diidentikan dengan teknologi tinggi, modern dan masyarakatnya memiliki disiplin dan etos kerja tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun itu hanyalah satu sisi dari negeri matahari terbit ini, karena ada sisi lain yang mengingatkan saya ke masa-masa kecil dulu. Ketika saya hidup di kampung yang kental dengan kedekatan bersama alam dan banyak aturan komunitas yang bernuansa dekat dengan alam.
Itulah bagian Jepang yang saya kunjungi dan saksikan selama seminggu ini bersama beberapa ahli lahan basah dari Indonesia, Thailand, Filippina, Bangladesh, India dan Nepal yang diundang oleh Wetlands International Jepang dan Universitas Kyushu untuk mengevaluasi dan memberikan masukan pelaksanaan kegiatan Eco-DRR (pengurangan risiko bencana berbasis ekosistem) lahan basah di Jepang.
"Kehidupan masa lalu" itu saya lihat di bentang alam Satoyama bagian barat Danau Biwa--danau terbesar di Jepang--sekitar 45 menit naik kereta antar kota dari Kyoto.
ADVERTISEMENT
Satoyama adalah terminologi dalam Bahasa Jepang, yang menjelaskan wilayah antara perbukitan dengan kawasan pedesaan di bawahnya. "Sato" secara literal berarti desa, sedangkan "Yama" berati perbukitan atau pegunungan.
Konsep Satoyama pada intinya merujuk pada kehidupan bersama alam, yang telah dikembangkan ratusan tahun lalu sejak zaman Edo. Dalam kunjungan kami, konsep Satoyama dilihat dari perspektif pengurangan risiko bencana, atau dengan kata lain, bagaimana pengurangan risiko bencana dilakukan melalui pendekatan bekerja bersama alam dan bukan melawan alam. Inilah yang dalam konsep kekinian disebut sebagai Eco-DRR atau Eco (system)-Disaster Risk Reduction.
Desa Adogawa di kota Takashima, perfektur Shiga adalah contoh pertama bagaimana masyarakat bekerja bersama alam. Sebagian besar masyarakat di desa tersebut menggantungkan hidupnya dari pertanian sawah dan perikanan air tawar di sungai dan danau. Banjir adalah bencana utama yang mengancam pemukiman maupun persawahan penduduk, sehingga mereka harus mengambil langkah bersama untuk mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Sejak zaman Edo, sekitar tahun 1690-an, jalan yang dipilih adalah dengan melakukan penanaman bambu di sepanjang gundukan tanah yang dibangun untuk melindungi pemukiman dan pesawahan. Pada saat terjadi banjir, tegakan bambu dapat menahan sedimen dan berbagai sampah kayu yang menyertainya, serta juga berfungsi untuk meredam energi arus air banjir. Dengan demikian, bambu dapat mengurangi kerusakan gundukan dan meredam kerusakan di wilayah yang dilindungi di seberangnya.
Sejak tahun 1800-an, ketika industri kipas berkembang pesat, bambu kemudian juga menjadi bahan baku utama kipas, dan saat ini memasok hampir 90 persen kebutuhan bahan baku kipas di seluruh negeri. Upaya untuk mengurangi risiko bencana dengan penanaman bambu (dan kemudian tumbuh sendiri), kemudian juga mendatangkan keuntungan tambahan mata pencaharian.
ADVERTISEMENT
Bentuk lain dari upaya pengurangan risiko bencana banjir melalui konsep membangun bersama alam adalah "Hyakkendutsumi". Ini adalah semacam dinding-bendung di pinggir sungai wilayah pegunungan, berupa tumpukan batu setinggi hingga 9 meter, lebar 18 dan panjang 200 meter, memanjang hingga 1 kilometer ke kaki bukit. Pembangunannya konon dilaksanakan selama 5 tahun dan 8 bulan pada zaman Edo, dengan melibatkan tidak kurang dari 10.000 orang.
Ketika terjadi banjir, bangunan batu tersebut mampu menahan terjangan sampah kayu yang menyertai banjir yang berasal dari pegunungan Hira dan mengalir melalui sungai Yotsuko, melewati pedesaan sebelum akhirnya berakhir di danau Biwa. Dengan demikian, bangunan tersebut dapat melindungi pedesaan yang berada di baliknya. Dalam perkembangan berikutnya, Hyakkendutsumi tidak hanya berfungsi sebagai penahan banjir, tetapi juga sebagai irigasi untuk mengairi persawahan.
ADVERTISEMENT
Karena banyak desa yang berbatasan langsung dengan hutan pegunungan, salah satu ancaman terhadap wilayah pertanian masyarakat adalah serangan babi liar dan rusa. Untuk mempertahankan wilayah pertanian dari serangan hama tersebut, masyarakat melakukannya dengan membangun pagar dari batu yang ditumpuk di batas terluar pemukiman. Di lokasi tertentu dibuat gerbang dari kayu yang bisa dibuka dan ditutup dengan mudah sesuai keperluan. Di desa-desa tertentu yang menjadi langganan banjir, seperti Desa Arakawa, pagar batu tersebut juga berfungsi dalam pengurangan risiko banjir.
Ketiga informasi di atas memperlihatkan contoh pengurangan risiko bencana melalui pendekatan bentang alam (landscape approach), sering kita kenal sebagai pendekatan Daerah Aliran Sungai atau pendekatan hulu-hilir. Dalam kasus di Jepang, pendekatan "Satoyama" adalah contoh penerapan Eco-DRR yang masih berjalan dan dipelihara hingga saat ini, ratusan tahun sejak konsep tersebut diinisiasi di zaman Edo.
ADVERTISEMENT
Memang mulai muncul suara-suara dari masyarakat yang mempertanyakan efektifitas dari gundukan dan pagar batu dalam mengatasi bencana pada saat ini, apalagi dengan kemajuan teknologi sat ini yang demikian pesat. Namun bagaimanapun, kenyataan bahwa selama 300 tahun bangunan-bangunan tersebut dapat membantu mengurangi dampak banjir (dan masih kokoh berfungsi hingga saat ini-setidaknya sebagai irigasi-dan juga berjalannya fungsi ekologis dari tumbuhan bambu, menunjukan bahwa kearifan lokal untuk hidup berdampingan dengan alam adalah merupakan pilihan yang tidak perlu disesalkan (no regret decision).
Ada banyak pekerjaan rumah untuk menginventarisasi kearifan masyarakat lokal dalam hidup dan membangun bersama alam serta menjalankan solusi berbasis alam di Indonesia, serta tantangan untuk melestarikannya diantara terjangan kebutuhan untuk pertumbuhan ekonomi, kapitalisme global serta degradasi alam-pikir dan pikir-alam yang tumbuh diantara kita saat ini.
ADVERTISEMENT
Kyoto, September 24, 2019
Yus Rusila Noor