Burung-burung Itu Berkalung Plastik

Konten dari Pengguna
9 Mei 2019 16:46 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster perayaan Hari Burung Bermigrasi Sedunia 2019
zoom-in-whitePerbesar
Poster perayaan Hari Burung Bermigrasi Sedunia 2019
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, ketika berjalan keluar dari Kota Nairobi, Kenya; menuju kota provinsi yang berbatasan dengan Ethiopia di utara, saya menyempatkan diri untuk berbelanja makanan bekal di sebuah pasar swalayan yang cukup besar di pinggiran kota. Semua berjalan seperti biasa, layaknya berbelanja di pasar swalayan yang bertebaran di negara kita.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang membedakan adalah ketika melakukan pembayaran di kasir. Ternyata, mereka sama sekali tidak menyediakan kantong plastik untuk membawa belanjaan. Jadi, pilihannya adalah memasukkan belanjaan ke kantong yang dibawa pembeli, menenteng semua belanjaan tanpa kantung, atau membeli kantong nonplastik yang disediakan kasir. Saya sendiri mengambil pilihan untuk membeli kantong yang mereka sediakan.
Selain karena barang belanjaannya cukup banyak untuk ditenteng tangan, ternyata kantong yang mereka jual sangatlah menarik untuk dilihat dan dipamerkan, karena memuat berbagai gambar jenis satwa kebanggaan yang menjadi tujuan safari. Jadilah, kantong tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat membawa belanjaan, tetapi juga layak untuk dijadikan oleh-oleh.
Ya, sejak tahun 2017, Kenya secara nasional membuat peraturan yang melarang penggunaan kantong plastik. Peraturan yang dibuat melalui proses panjang dan tidak ujug-ujug tersebut, akhirnya diputuskan setelah menuai penolakan dari industri plastik yang khawatir akan terjadinya kehilangan pekerjaan dari para karyawan di sektor tersebut.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Kenya memutuskan peraturan pelarangan penggunaan plastik untuk berbelanja karena melihat dan mewaspadai ancaman kerusakan lingkungan akibat penggunaan plastik secara berlebih. Dilaporkan, 3 dari 10 hewan peliharaan yang disembelih, ternyata perutnya mengandung plastik dalam berbagai bentuk.
Aturan yang dibuat oleh Pemerintah Kenya tersebut oleh berbagai pihak dianggap sebagai yang paling progresif dan paling keras di dunia. Disebutkan bahwa ancaman kurungan hingga 4 tahun atau denda setara dengan AS$ 4.000 menanti siapa saja yang melanggar peraturan tersebut.
Hasilnya, terlihat tidak sampai satu tahun kemudian. Pemerintah setempat mengklaim bahwa ancaman sampah plastik jauh menurun dan fasilitas umum menjadi lebih bersih. Hukum pun ditegakkan, tidak kurang dari 50 orang ditangkap dan diberikan denda karena melanggar peraturan.
ADVERTISEMENT
Seorang pedagang kecil mengeluh karena tertangkap basah menjual dagangan menggunakan kantong plastik. Ia pun dikenakan denda setara dengan AS$ 150, masih lebih rendah dibandingkan dengan denda maksimum sesuai aturan, tetapi jumlah tersebut bisa setara dengan keuntungannya selama 6 minggu.
Di negara kita pun peraturan pembatasan (belum pelarangan secara penuh) penggunaan plastik pernah diterapkan melalui peraturan setingkat menteri. Plastik di pasar swalayan tidak lagi gratis, tetapi harus dibeli dengan harga yang cukup murah. Peraturan tersebut terbukti kurang mangkus (efektif) dan sangkil (efisien) dalam membatasi penggunaan plastik, karena konsumen cenderung memilih untuk membayar plastik yang harganya tidak seberapa itu.
Hingga kemudian, beberapa pemerintah daerah (pemda) memutuskan untuk mengeluarkan perda pembatasan penggunaan plastik. Pemda Kota Bogor misalnya, yang melarang penggunaan kantong plastik di pasar swalayan. Saya amati, seminggu pertama masih ada kebingungan di kalangan konsumen yang tidak atau lupa membawa kantong sendiri.
ADVERTISEMENT
Untunglah, aturan ditegakkan secara konsisten. Sekarang, sudah jamak rasanya melihat konsumen yang menenteng kantung belanjaan sendiri ketika memasuki swalayan. Tinggal sekarang, menunggu penerapannya secara nasional.
Permasalahan sampah plastik memang akhir-akhir ini telah menjadi keprihatinan global karena dirasakan telah mengganggu dan menurunkan kualitas hidup manusia. Kalau melihat sejarahnya, penggunaan plastik untuk memudahkan kehidupan sehari-hari manusia dimulai pada tahun 1907, ketika plastik sintetis pertama kali diproduksi dengan nama Bakelite.
Sampai tahun 1950, semua berlangsung baik-baik saja. Hingga saat tersebut, produksi plastik hanya sekitar 2 juta ton, dan kemudian setelah itu barulah meningkat sangat drastis mencapai 381 juta ton pada tahun 2015 atau hampir 200 kali lipat dari kondisi 65 tahun yang lalu. Ada yang menghitung bahwa jumlah tersebut secara kasar setara dengan 2/3 masa populasi penduduk secara global saat ini.
ADVERTISEMENT
Masalah terbesar yang ditimbulkan oleh sampah plastik adalah sulitnya untuk terurai secara alami. Dibutuhkan waktu 10-1.000 tahun agar plastik dapat terurai secara sempurna di alam, termasuk rata-rata 450 tahun untuk botol plastik yang kita gunakan sehari-hari.
Sebelum tahun 1980, hampir semua plastik bekas pakai dibuang dan menjadi sampah. Barulah pada periode 1980-1990, sebagian plastik sisa dibakar melalui proses insinerasi atau dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang.
Proporsi penanganan sampah tersebut kemudian semakin berubah. Pada tahun 2015, jumlah yang dibakar menjadi 25 persen, sebanyak 20 persen didaur ulang, dan 55 persen dibuang menjadi sampah. Pada tahun 2050, diperkirakan proporsinya berubah kembali menjadi hanya 6 persen saja yang dibuang, 50 persen dibakar, dan 44 persen didaur ulang. Tentu harus juga dihitung berapa sumbangan emisi dari proses pembakaran tersebut.
ADVERTISEMENT
Lalu, ke mana sampah plastik tersebut melakukan perjalanan? Sebagian sampah plastik berakhir di lautan, yang kemudian terpecah-pecah menjadi partikel lebih kecil karena terpapar air, matahari, dan angin.
Para ahli memberikan penjelasan bahwa sampah plastik yang berada di lautan, sebenarnya, sebagian besar berasal dari daratan dan sebagian sisanya berasal dari lautan sendiri, khususnya dari sektor terkait perikanan. Proporsinya masih diperdebatkan, umumnya 70-80 persen berasal dari daratan dan 20-30 persen dari lautan sendiri.
Plastik dari daratan menuju ke lautan umumnya melalui sungai, di samping faktor lain, seperti pasang surut ataupun pembuangan langsung sampah di pesisir. Penelitian para ahli menunjukkan ada 20 sungai yang menjadi penyumbang sampah terbesar di dunia, sebagian besar berada di Asia.
ADVERTISEMENT
Urutan pertama ditempati oleh Sungai Yangtze di China yang mengalirkan 333.000 ton sampah plastik ke lautan, disusul oleh Sungai Gangga di India dan Bangladesh sebanyak 115.000 ton. Dari Indonesia, ada empat sungai yang masuk dengan jumlah kumulatif mencapai 101.300 ton, yaitu Sungai Brantas, Bengawan Solo, Sungai Serayu, dan Sungai Progo. Ini adalah data untuk tahun 2015, diambil dari Libreton et.al. (2017).
Masuknya sampah plastik ke lautan dan perairan lainnya itu kemudian mendatangkan keprihatinan lain. Selain mengancam kehidupan manusia, juga mengancam kehidupan berbagai satwa liar, khususnya yang hidup di perairan.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi, khususnya media sosial, dengan mudah kita kerap disuguhi gambar-gambar miris berbagai satwa yang kehidupannya dipengaruhi oleh sampah plastik.
ADVERTISEMENT
Kita melihat foto paus mati yang isi perutnya dipenuhi oleh sampah plastik. Ada juga foto burung bangau berselimut plastik kresek, atau emak-emak (atau bapak-bapak) burung yang membawa tali plastik untuk bahan pembuatan sarang.
Poster Burung dan Plastik oleh National Geographic Indonesia
Plastik yang telah terpecah menjadi partikel kecil kemudian menjadi bahan berbahaya bagi burung laut dan burung air karena bisa dianggap sebagai makanan, yang kemudian masuk ke dalam organ pencernaan, dan bisa saja melukai organ mereka. Induk burung bisa juga kemudian menyuapi plastik-plastik tersebut kepada anaknya.
Tak heran, jika kemudian banyak dilaporkan anak-anak burung mati dan perutnya terisi bahan-bahan plastik. Mereka akan terus merasa kelaparan karena perutnya tidak terisi makanan yang dibutuhkan untuk perkembangan hidupnya.
Plastik berupa tali, yang biasanya dihasilkan dari bekas peralatan penangkapan ikan, juga menjadi ancaman yang cukup berbahaya karena dapat mengikat dan membatasi pergerakan burung. Hal itu dapat menyebabkan burung kesulitan untuk mencari makan, atau dalam kasus yang lebih buruk, kemudian bisa menjadi santapan mudah hewan pemangsa.
ADVERTISEMENT
Berbagai angka, data, fakta, dan informasi di atas kemudian mendorong Konvensi Species Bermigrasi (CMS), Perjanjian Burung Air Afrika-Eurasia (AEWA), dan Environment for the Americas (EFTA) untuk mengadakan hajatan “Hari Burung Bermigrasi Sedunia – World Migratory Bird Day” tahun 2019 dengan tema “Lindungi Burung: Jadilah Solusi untuk Polusi Plastik - Protect Birds: Be the Solution to Plastic Pollution!”.
Perayaan yang diadakan setiap sabtu kedua bulan Mei dan Oktober tersebut telah berjalan sejak tahun 2006 dan mengusung tema yang berbeda setiap tahunnya. Hari tersebut dirayakan oleh berbagai kalangan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Siapapun dapat berpartisipasi, dan mendaftarkan kegiatannya di https://www.worldmigratorybirdday.org/register-your-event.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari perayaan, setiap kita juga dapat berpartisipasi untuk menyelamatkan satu-satunya bumi kita dari ancaman sampah plastik. Yang bisa kita lakukan adalah tentu saja kurangi penggunaan bahan plastik dalam berbagai kegiatan kita, karena plastik yang hanya digunakan beberapa menit pun kemudian akan membutuhkan ratusan tahun untuk mengurainya.
Ajak keluarga, sahabat dan kerabat untuk bergerak bersama mengurangi plastik, beri mereka pengertian, tentu saja sebaiknya dengan contoh.
Selamat merayakan Hari Burung Bermigrasi Sedunia!
Bogor, 9 Mei 2019
Yus Rusila Noor