Itikad Restorasi Lingkungan Membutuhkan Contoh, Pemahaman, Pengalaman

Konten dari Pengguna
13 Mei 2019 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dengan tubuhnya yang sudah mulai terlihat termakan usia, Babah Akong berdiri tegap memandangi hamparan tanaman mangrove yang sudah mulai menutupi sebagian garis pantai di dekat rumahnya. Pada hamparan yang menapak sedikit ke daratan, ribuan bibit mangrove sudah mulai ditanam kembali, bersambung dengan tegakan mangrove yang telah lebih dulu ditanam sekitar 15 – 20 tahun yang lalu.
Pikirannya kembali menerawang ke tahun 1992 ketika ombak besar tsunami menerjang wilayah pesisir pulau Flores. Kabupaten Sikka, tempat beliau tinggal, adalah salah satu wilayah yang paling parah terkena hantaman tsunami tersebut. Secara keseluruhan, hampir 2.000 orang menjadi korban. Tak terhitung lagi berapa jumlah rumah, fasilitas umum, hingga infrastruktur pemerintahan yang terletak di pinggir pantai terbuka, hancur diterpa terjangan gelombang besar tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak ingin kembali mengalami kerusakan dan berbagai kerugian akibat kejadian yang sama, maka Babah Akong, yang memiliki nama lengkap Victor Emmanuel Rayon, bertekad untuk melakukan kegiatan nyata yang dapat menolong kehidupan keluarga dan para tetangganya.
Sadar bahwa terjangan ombak besar atau tsunami adalah merupakan kejadian alam yang tidak bisa dicegah oleh manusia, maka Babah Akong memutuskan untuk melakukan kegiatan yang dapat mengurangi dampak buruk dari kejadian alam tersebut, yaitu menanam tanaman mangrove di sepanjang garis pesisir di Desa Reroroja, Kabupaten Sikka.
Sedikit demi sedikit, dengan dukungan dari keluarga, akhirnya tidak kurang dari 60 hektare lahan berhasil ditanami mangrove, yang kini terlihat subur dan tumbuh dengan baik. Pada saat yang bersamaan, Babah Akong juga giat memberikan penyuluhan mengenai kepentingan mangrove bagi kehidupan manusia.
Babah Akong menerima Hadiah Kalpataru dari Presiden SBY (Foto Keluarga Babah Akong)
Kerja keras dan pengorbanan waktu, harta (sampai harus menjual perhiasan istrinya), serta tidak jarang cibiran dari mereka yang belum mengerti tujuan dari upaya yang dilakukannya, akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan. Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2009 memutuskan memberikan Penghargaan Presiden berupa Piala Kalpataru untuk Babah Akong sebagai Pengabdi Lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sejak itu, beliau kemudian menjelma menjadi pahlawan lokal yang upayanya mulai dikenal dan dihargai, baik oleh masyarakat maupun pemerintah daerah.
Nun jauh di tanah Jawa, tepatnya di Desa Sawah Luhur, Kota Serang, Banten, yang terpisahkan dengan jarak sekitar 2.000 kilometer, seorang pahlawan lain juga telah mengabdikan dirinya untuk kelestarian lingkungan pesisir. Haji Madsahi, demikian beliau biasa dipanggil, adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang bekerja sebagai Jagawana (penjaga hutan) di kawasan Cagar Alam Pulau Dua, Banten.
Pada akhir tahun 1970-an, ketika usianya masih di awal 20an, Haji Madsahi muda memulai pengabdiannya sebagai sukarelawan untuk menjaga kawasan Pulau Dua, yang sejak tahun 1930-an sudah dikenal sebagai surga sekaligus rumah bersalin bagi ribuan pasang burung air dari berbagai jenis.
Mangrove di Cagar Alam Pulau Dua, Banten
Saat itu, Pulau Dua benar-benar masih berupa pulau yang terpisah dari pulau Jawa. Kecintaannya terhadap burung air serta keinginan besarnya untuk melestarikan tempat hidup burung air yang berupa kawasan mangrove, telah memotivasi Haji Madsahi untuk tidak hanya bekerja business as usual. Di luar tugas utamanya untuk menjaga kawasan, pria yang tidak memiliki penghasilan tetap tersebut juga mulai melakukan penanaman mangrove di sekitar kawasan yang dijaganya.
ADVERTISEMENT
Sama seperti Babah Akong, apa yang dilakukan oleh Haji Madsahi tersebut awalnya sama sekali tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat, yang bahkan menganggapnya sebagai orang yang kurang kerjaan. Dengan ketekunan, rasa tanggung jawab serta keinginannya untuk berbuat yang terbaik bagi alam dan lingkungan.
Tidak sampai 10 tahun, hasil karyanya sudah terlihat berupa kawasan hijau yang ditumbuhi Avicenia marina, sehingga Pulau Dua-pun kemudian terhubung dengan Pulau Jawa, dan tak lagi menjadi pulau yang terpisah.
Tegakan mangrove yang baru pun kemudian seakan menyediakan tambahan habitat yang sangat mendukung bagi burung-burung air untuk berbiak di pulau tersebut. Berkah pun kemudian menghampirinya. Pemerintah memutuskan untuk mengangkatnya sebagai PNS, dan bahkan Presiden Suharto memberinya hadiah Kalpataru sebagai pengabdi lingkungan.
ADVERTISEMENT
Beliau pun kemudian diberikan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji atas biaya pemerintah. Sejak itu, sejalan dengan makin banyaknya burung-burung air yang beranak pinak di Pulau Dua, semakin banyak pula perhatian untuk Haji Madsahi. Tak jarang beliau harus melayani wawancara dari berbagai media di dalam maupun luar negeri, memberikan ceramah untuk pengunjung ataupun memberikan pelatihan mengenai cara membibitkan dan menanam mangrove.
Haji Madsahi di depan kawasan yang telah lebih dari 30 tahun dijaganya
Bagi Babah Akong dan Haji Madsahi, tentu bukan berbagai penghargaan itu yang kemudian membesarkan hati mereka berdua. Mereka merasa lebih terpacu untuk berbuat lebih baik setelah mengetahui bahwa segala upayanya selama ini kemudian diikuti oleh masyarakat sekitar yang mulai menyadari bahwa menanam mangrove bukan hanya merupakan upaya untuk menolong alam, tetapi lebih jauh adalah justru untuk menolong diri mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Masyarakat mulai mengerti bahwa melakukan rehabilitasi kawasan pesisir yang telah mengalami kerusakan pada dasarnya adalah mengembalikan peran dari ekosistem pesisir, khususnya mangrove, untuk menyediakan kembali jasa lingkungan – jasa ekosistem (Environment service – ecosystem service), yang pada akhirnya akan dinikmati oleh masyarakat untuk kesejahteraan mereka sendiri.
Pada saat berbicara mengenai jasa ekosistem, atau lebih luas lagi sebagai jasa lingkungan, maka kita akan berbicara lebih dari sekedar nilai ekonomi. Jasa lingkungan menyediakan berbagai “bonus” yang dapat dinikmati, meskipun itikad awal dari kegiatan yang dilaksanakan adalah untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi.
Misalnya saja terkait dengan kegiatan rehabilitasi kawasan pesisir, dengan cara penanaman mangrove. Meskipun keuntungan ekonomi fisik yang dapat dibayangkan adalah berupa batang kayu mangrove yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan, namun banyak “bonus” jasa lingkungan lain yang bisa didapatkan, mengiringi keuntungan ekonomi fisik tersebut.
Ilustrasi hutan magrove. Foto: ANTARA FOTO/Budi Candra Setya
Salah satu yang paling dapat dirasakan adalah kembali berfungsinya kawasan pesisir ber-mangrove sebagai tempat berpijak dari berbagai jenis ikan dan terutama udang-udangan. Dari perspektif lain, mangrove dapat memberikan jasa lingkungan untuk mengurangi risiko bencana sekaligus ruang untuk adaptasi perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Mangrove diketahui tidak hanya dapat mengurangi dampak dari ombak besar tsunami, tetapi mangrove yang tumbuh baik juga secara ekologis berfungsi untuk menahan gempuran badai, mengurangi intrusi air laut ke daratan, mengurangi terjadinya abrasi di wilayah pesisir serta dapat menciptakan iklim mikro yang lebih menyenangkan bagi manusia untuk ditinggali.
Pekerjaan dan usaha Babah Akong dan Haji Madsahi saat ini telah terlihat hasilnya dengan nyata. Banyak pihak yang telah mengakui kegigihan maupun manfaat dari upaya yang dilakukannya. Namun demikian, tidak berarti bahwa usaha sudah selesai, yang terjadi justru itu adalah baru merupakan awal dari kegiatan yang jauh lebih besar.
Desa Reroroja di Flores adalah merupakan bagian kecil dari Kabupaten Sikka yang memiliki luas daratan lebih dari 1.700 km2 serta luas lautan lebih dari 5.800 km2. Belum lagi wilayah Flores yang terdiri dari beberapa kabupaten dengan luas daratan serta garis pesisir yang jauh lebih panjang.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, ekosistem pesisir yang panjang membentang tersebut merupakan potensi sumber daya alam produktif yang memiliki potensi ekonomi luar biasa besar serta menjaga kestabilan wilayah daratan di sekitarnya. Namun di sisi lainnya, wilayah pesisir Flores, khususnya Kabupaten Sikka dan Ende sangat rawan terhadap bencana alam. Kawasan tersebut merupakan wilayah yang telah berulang kali tertimpa bencana alam, seperti tsunami, banjir, tanah longsor, puting beliung maupun abrasi di wilayah pesisir.
Berbagai bencana tersebut telah menyebabkan hilangnya aset dan fasilitas yang membantu masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari, dan lebih dari itu juga menurunkan fungsi ekosistem dalam menyediakan jasa ekosistem.
Di Teluk Banten, usaha Haji Madsahi juga belum selesai. Bagian barat pulau terancam semakin menyempit akibat adanya abrasi, sementara pohon mangrove juga semakin jarang di lokasi pertambakan yang menjadi tempat burung air mencari makan. Lebih mengkhawatirkan lagi karena berbagai kegiatan pembangunan kemudian akan mengikis fungsi mangrove sebagai penyangga masuknya air asin lebih jauh ke daratan, yang menjadi tempat manusia tinggal.
ADVERTISEMENT
Mengandalkan kedua Pahlawan tersebut untuk merestorasi kawasan disekitar mereka tinggal, atau syukur-syukur di tempat yang lebih luas, tentulah tak lagi realistis. Tak diragukan lagi bahwa mereka masih memiliki semangat yang sama, namun usia tentulah merupakan sunatullah yang juga tak bisa diabaikan.
Dengan telah berpulangnya kedua Pahlawan Lingkungan tersebut, diperlukan adanya upaya lain untuk dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat meneruskan inisiatif yang telah mereka lakukan, dan menularkannya kepada masyarakat sekitar mereka.
Di sisi lain, diperlukan pula kegiatan untuk memberikan pengayaan informasi mengenai fungsi ekosistem yang akan direstorasi, serta berbagai manfaat jangka panjang berkelanjutan yang akan diperoleh. Bagi masyarakat, hal ini dapat dilaksanakan dibarengi dengan pemberian insentif yang dapat membantu peningkatan mata pencaharian keluarga mereka.
ADVERTISEMENT