Konten dari Pengguna

Killing Fields, dan sehari penuh kengerian di penjara S-21

28 Juni 2020 17:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerita horor bagian 2
Memasuki ruangan pertama di lantai pertama, bulu kuduk langsung berdiri dan kengerian langsung menyeruak. Di ruangan berjendela dua bilah di bagian depan dan belakang, berlantai tegel 20 x 20 berwarna putih kekuningan berseling coklat muda teronggok sebuah ranjang besi beralas lempengan besi tipis selang-seling, dengan sebuah batang besi berukuran sekitar satu meter dengan tempat di tengah untuk memasung kaki tahanan. Ada juga kotak amunisi kosong. Di dinding tergantung foto kusam tua yang secara samar menggambarkan orang berlumuran darah terpasung dan telentang diatas ranjang besi tanpa alas serta lantai yang juga dipenuhi dengan genangan darah. Demikan pula di ruangan-ruangan berikutnya, hanya saja di beberapa ruangan lainnya dilengkapi dengan meja dan kursi untuk penginterogasi. Di lantai 2 dan 3 yang berukuran lebih besar, satu ruangan diisi dengan 3 buah ranjang besi dan jendelanya dipasangi dengan teralis besi.
ADVERTISEMENT
Di gedung B yang juga berlantai 3 umumnya diisi oleh barang-barang kenangan dari para korban, termasuk tumpukan baju yang dipakai saat itu. Disini juga disajikan ratusan pas photo korban dengan nomor tergantung di dada. Dari foto-foto tersebut terlihat bahwa yang menjadi korban tidak hanya orang dewasa laki-laki dan perempuan, tetapi juga pemuda dan remaja, dan bahkan anak-anak bau kencur serta bayi yang masih digendong ibunya. Berbagai tulisan yang saya baca menunjukan bagaimana rezim Pol Pot membuat catatan yang sangat rinci mengenai data dan profil setiap korban serta foto masing-masing, termasuk tuduhan apa yang diajukan. Setiap tahanan yang masuk terlebih dahulu difoto dan kemudian mengisi daftar riwayat hidup mulai dari masa kecil hingga waktu penangkapannya. Disitulah kemudian siksaan demi siksaan diberikan kepada para tahanan, hingga akhirnya ditamatkan riwayat hidupnya. Siksaan akan semakin mendera jika jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan kehendak pemeriksa, hingga beberapa tahanan terpaksa mengarang cerita yang tidak pernah dilakukannya, hanya karena ingin mengakhiri siksaan kejam yang menimpanya.
ADVERTISEMENT
Di salah satu ruangan malah dipamerkan buku yang berisi catatan selama interogasi berlangsung, termasuk catatan untuk orang asing, seperti Rovin Bernard (diduga sebagai Wartawan Perancis) dan David Llyod Scott dari Australia. Memang, selain orang Kamboja, terdapat beberapa orang asing yang terdampar di penjara ini, termasuk dari Vietnam (488 orang), Thailand (31 orang), Inggris, New Zealand, Amerika Perancis, dan bahkan termasuk satu orang korban dari Indonesia. Beberapa diantara para korban tersebut ditangkap di laut oleh para penjaga pantai. Sangat ngeri melihat bagaimana tubuh-tubuh cekung tinggal tulang berbalut kulit terkampar di lantai berlimang darah. Ada berbagai sumber yang menyebutkan jumlah yang berbeda mengenai total korban tahanan di gedung-gedung tersebut. Ada yang menyebut 12.000, 14.000 atau sampai 17.000, sementara jumlah korban secara keseluruhan di seluruh negeri juga berbeda-beda, konon kabarnya hingga 1,7 sampai 2,5 juta orang.
ADVERTISEMENT
Gedung berlantai tiga berikutnya yang disebut bangunan “C” merupakan ruangan yang kemudian dibagi-bagi menjadi ruangan-ruangan kecil untuk mengurung para tahanan. Di tingkat pertama bangunan-bangunan sempit tersebut terbuat dari bata berlubang berukuran sekitar 1,2 x 1 meter saja tanpa penutup di bagian atas. Pada lantai kedua juga dibagi-bagi menjadi ruangan dengan ukuran kurang-lebih sama dengan di tingkat pertama, tetapi dindingnya terbuat dari kayu dengan jendela kecil di bagian pintu. Lantai ketiga merupakan tempat untuk menahan para tahanan secara massal. Sangat tidak terbayangkan bagaimana manusia kemudian dapat merampas kebebasan hidup manusia lainnya dengan demikian kejam, dimana mereka ditanyai sambil disiksa, dan kematian selalu menjadi ujung akhir dari penderitaan selama 4 tahun pemanfaatan gedung-gedung tersebut. Bahkan untuk sekedar mendapatkan air, terdapat gambar bagaimana para tahanan duduk di ruangan dan kemudian disemprot dengan air, dan itu didapatkan hanya sekali dalam 2 minggu atau paling untung sekali seminggu.
ADVERTISEMENT
Agak berbeda dengan ruangan lainnya, pada bangunan C ini seluruh bagian luar depannya dililit dengan pagar kawat berduri yang dialiri listrik. hal ini untuk mencegah para tahanan melompat untuk bunuh diri. Sebagaimana pengakuan dari beberapa korban, mati saat itu akan lebih baik daripada menanggung derita berkepanjangan yang dialami setiap hari.
Di bangunan ini juga dipasang foto-foto pimpinan Khmer Merah, seperti Pol Pot sendiri. Ada juga Kieu Samphan, seorang Profesor lulusan Perancis pernah menjadi Menteri Perdagangan pada masa Norodom Sihanouk, kemudian menjadi Presiden selama pemerintahan Demokratik Kamboja dan akhirnya menjadi pimpinan Khmer Merah setelah Pol Pot pensiun. Ketika Pol Pot meninggal pada tahun 1998, Khieu Sampan akhirnya meninggalkan Khmer Merah. Dalam pengadilan internasional yang dilakukan kemudian oleh PBB dan Pemerintah Kamboja, dia dituduh dengan pasal kejahatan internasional serius, termasuk genosida/ pemusnahan etnis, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembunuhan, penyiksaan dan penghinaan agama. Pengadilan kemudian menangkap dan menahan dia pada tahun 2007.
ADVERTISEMENT
Ada juga Profesor Ieng Sary yang pernah menjadi petinggi Khmer Merah sebagai Deputi Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Dia dipercaya telah menyeret banyak anak buahnya di kementerian luar negeri untuk menjadi tahanan dan dihabisi di penjara S-21. Yang lainnya adalah Nuon Chea, seorang anggota senior partai komunis, dan diyakini sebagai orang kedua terkuat di rezim Demokratik Kamboja, setelah Pol Pot. Ada juga satu orang wanita yang masuk dalam daftar pimpinan, yaitu Ieng Thirith, seorang Profesor sastra Inggris yang adalah juga istri dari Ieng Sary dan saudara perempuannya menikah dengan Pol Pot. Dia pernah menduduki posisi sebagai Menteri Urusan Sosial, dan dituduh telah menangkap dan membunuh staf di kementeriannya. Seperti suaminya, dia juga ditangkap dan ditahan pada tahun 2007. Sangat terlihat bagaimana kegeraman pengunjung terhadap para bekas pemimpin tersebut, tergambar dari berbagai vandalisme pada foto-foto tersebut.
ADVERTISEMENT
Di gedung terakhir, atau gedung D, disajikan berbagai barang yang digunakan selama waktu itu, termasuk berbagai jenis alat penyiksaan dan lukisan mengenai penyiksaan yang dibuat oleh salah seorang tahanan. Alat penyiksaan tersebut sepertinya dibuat sedemikian rupa sehingga para tahanan kemudian akan mengakui apapun tuduhan yang dituduhkan kepadanya. Alat-alat yang diperlihatkan seperti cambuk, tempat perendaman, kandang binatang berbisa seperti kalajengking, bahkan alat siksa “water-boarding” yang konon kabarnya digunakan lagi di penjara Guantanamo.
Di ujung ruangan, merupakan puncak dari kengerian karena disini terpajang puluhan tengkorak dari mereka yang menjadi korban di tempat pembantaian (Killing Fields), serta gambar bagaimana seorang ibu dipisahkan dari bayinya dan bayi tersebut dibanting oleh seorang tentara, dan di gambar lain bayi dilempar ke udara untuk kemudian ditembak dengan senapan.
ADVERTISEMENT
Bertemu para survivor
Saya tak tahan lagi untuk tinggal lebih lama, dan memutuskan untuk segera keluar dari rangkaian gambar kekejaman manusia yang tersaji di ruangan museum. Berjalan dengan kaki agak gemetar, menyusuri jalan keluar dibawah pohon kamboja, saya mendapat kejutan karena tanpa disangka dan direncanakan kemudian sempat bertemu dengan 2 dari 7 orang tahanan (4 diantaranya telah meninggal) yang berhasil keluar hidup dari penjara karena takdir keahlian yang mereka miliki. Keduanya berada di dalam komplek museum untuk bercerita dan melayani berbagai pertanyaan dari para pengunjung. Saya sendiri, dengan mata agak berkaca-kaca dan lumayan merinding, beruntung bisa ngobrol langsung dengan mereka melalui penterjemah, bahkan sempat memperoleh tandatangan langsung dari buku mereka dengan membubuhkan nama saya. Mereka berdua adalah Chum Mey dan Bou Meng, keduanya saat ini berusia sekitar 80-an tahun.
ADVERTISEMENT
Chum Mey, yang terlahir dengan nama Chum Manh, terlahir dari keluarga kebanyakan seperti keluarga Kamboja umumnya. Masa remajanya boleh dikatakan berada dalam kondisi yang serba kekurangan setelah ditinggal kedua orang tuanya, dan kemudian menumpang di keluarga kakaknya. Sampai akhirnya Chum muda memutuskan untuk mengembara ke Phnom Penh. Keinginan kuatnya untuk menjadi mekanik/ahli mesin telah membawanya untuk menjadi pembantu supir dalam mengisi oli, memanaskan mobil dan membantu perbaikan kecil-kecilan. Nasib baik kemudian membawanya untuk menjalani pelatihan perbaikan mesin dan kemudian memperoleh kehidupan yang lebih layak dengan menjadi kepala mekanik pada kementerian pekerjaan umum. Adalah takdir pula yang kemudian membawa Chum Mey dari kehidupan menyenangkan menuju ruang tahanan dengan berbagai interogasi dan siksaan. Namun takdir pula dan keahliannya sebagai seorang mekanik yang membawanya untuk kemudian bisa keluar hidup-hidup dari penjara. Diceritakan bahwa suatu hari sang interogator mendapati mesin tiknya rusak dan tidak bisa dipakai. Dengan keahlian mekaniknya, Chum Mey kemudian dapat memperbaiki mesin tik tersebut, dan kemudian dipakai untuk memperbaiki peralatan yang rusak lainnya.
ADVERTISEMENT
Kejadian yang kurang lebih mirip itulah yang kemudian juga menimpa Bou Meng, hanya saja keahlian yang dimilikinya adalah sebagai artis gambar. Takdir telah membawanya ke penjara karena dituduh bersekongkol menjadi pengkhianat bersama CIA, nama yang dia sendiri tidak pernah tahu. Karena bicara jujur itulah kemudian selama seminggu penuh Bou Meng disiksa habis-habisan hingga kulit dan dagingnya melepuh, dan kemudian ditimpa dengan air garam. Takdir dan keahliannya menggambar yang kemudian juga membebaskannya, dimana suatu hari Bou Meng diminta untuk menggambar wajah Pol Pot, dengan satu syarat, jika tidak persis maka tubuhnya akan dijadikan sebagai pupuk tanaman, artinya akan dikubur di Sawah. Setelah pasukan Vietnam masuk pada tahun 1979, dan kengerian di penjara S-21 bisa diakhiri, keduanya, Chum Mey dan Bou Meng kemudian beberapa kali diajukan sebagai saksi dalam pengadilan kejahatan perang yang menyeret para penanggung jawab kejahatan kedalam penjara.
ADVERTISEMENT
Meskipun mereka berdua amat sangat tersakiti lahir dan bathin dengan peristiwa yang mereka alami di penjara serta bagaimana istri, anak-anak dan keluarga mereka disiksa dan dihabisi dihadapan mereka, tetapi keduanya berusaha untuk memaafkan para pelakunya. Saat bertemu dengan petugas yang menginterogasinya, Chum Mey memaafkan dia karena tahu bahwa orang tersebut hanya menjalankan perintah atasannya. Kalaulah tidak melakukan hal tersebut, maka nyawa dia yang kemudian akan melayang. Saling memaafkan itulah yang juga tergambar dalam akhir film “the Killing Field”, ketika lagu Imagine-nya John Lennon mengiringi keluarnya Sydney Schandberg dari mobilnya di depan tenda perwatan, dimana Dith Pran sedang membantu menangani para pasien. “Forgive me” ujar Sydney sambil memeluk kawan lamanya tersebut. “Nothing to Forgive” sahut Dith Pran ….
ADVERTISEMENT
Berakhirlah satu episode perjalanan hari ini, dengan berbagai pengalaman batin yang luar biasa. Benarlah, ketika Allah Subḥānahu Wa Ta’āla hendak menciptakan manusia, para Malaikat bahkan sempat mengajukan pertanyaan bernada “protes”. Benar pula ketika Allah Subḥānahu Wa Ta’āla berfirman, “Terangkanlah kepadaKu tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya. Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami, mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu.” (Al-Furqan, 25: 43-44).
Semoga ada pelajaran yang bisa diambil.
Siem Reap, Kamboja, 08 November 2014