news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kuliner, Keanekaragaman Hayati, dan 'Tragedy of the Commons'

Konten dari Pengguna
22 Mei 2019 10:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Refleksi Hari Internasional untuk Keanekaragaman Hayati (Kehati)
Selayaknya sebuah perayaan, seharusnya hari ini dipenuhi dengan rasa suka cita, merayakan usaha yang telah kita lakukan selama ini. Namun sepertinya, kita masih harus menunda kegembiraan tersebut sambil mengelus dada karena ternyata kondisinya tidak semakin membaik. Kita dituntut untuk dapat bekerja dan berusaha lebih keras, juga untuk menyadarkan diri dan saudara-saudara kita akan pentingnya berempati.
Bekantan Nasalis larvatus, sebarannya terbatas di hutan mangrove (Foto: Yus Rusila Noor)
Kalimat di atas tentu bukan paragraf pembuka yang nyaman untuk dibaca, karena itu hanyalah menambah kumpulan dosis pil pahit yang harus kita telan akhir-akhir ini. Dunia tidak semakin baik untuk keanekaragaman hayati, meskipun bukan berarti tidak ada harapan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Hal ini bahkan disampaikan langsung oleh Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Mengacu pada pada hasil kajian akhir dari Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem (IPBES), pak Antonio menegaskan bahwa alam sedang mengalami degradasi pada laju yang tidak pernah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia.
Tidak kurang dari 28,7 juta hektare hutan penyerap karbondioksida telah lenyap, 90 persen stok perikanan dunia menyusut akibat penangkapan berlebih, diiringi dengan status sekitar satu juta spesies hewan dan tumbuhan yang berada dalam antrean ancaman kepunahan.
Keanekaragaman hayati, disingkat jadi Kehati, atau kerap juga disebut Biodiversitas, sejatinya adalah sebuah terminologi yang seharusnya tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Kehati berarti alam, segala bentuk kehidupan di dunia ini, dari mulai individu hingga keseluruhan ekosistem.
ADVERTISEMENT
"Kehati adalah infrastruktur alami yang mendukung seluruh kehidupan di dunia, termasuk kehidupan manusia. Kehati juga apa yang tersaji dalam piring dan gelas di meja makan kita, air yang kita minum, dan udara yang kita hirup. Kehati adalah bagian dari hidup kita, tapi sebaliknya kita manusia adalah juga bagian dari kehati," urai Dr. Cristiana Paşca Palmer, Executive Secretary, UN Convention on Biological Diversity (UN CBD).
Kuntul kerbau Bubulcus ibis berbiak, sebaran luas secara global (Foto: Yus Rusila Noor)
Mungkin karena adanya uraian temali yang mengaitkan kehati dengan kualitas hidup manusia itulah, maka peringatan Hari Internasional Keanekaragaman Hayati pada 22 Mei tahun ini menekankan tema "Makanan Kita, Kesehatan Kita, dan Kehati Kita (Our Food, Our Health, and Our Biodiversity)".
Pesan umum yang ingin disampaikan sebenarnya sangat sederhana: tanpa alam dan kehati yang sehat, maka manusia tidak akan mendapatkan asupan gizi yang berkualitas, dan asupan gizi yang berkualitas, manusia tidak akan mampu mendapatkan kesehatan yang baik. Sangat anthroposentris karena semua berujung pada manusia.
ADVERTISEMENT
Meminjam kata-kata yang ditulis oleh Garret Hardin, "The Tragedy of the Commons", kita tampaknya sedang berada pada kondisi di mana alam dipaksa untuk memenuhi apa pun kebutuhan manusia, melebihi daya dukung alam itu sendiri. Manusia, secara sadar atau tidak, dibuat sedikit demi sedikit melunturkan rasa empati kepada sesama makhluk a.k.a keanekaragaman hayati.
Dari sekitar 7,8 miliar penduduk bumi, hampir 2 miliar di antaranya berada pada kondisi tidak terpenuhi gizi baiknya, termasuk anak-anak. Di sisi ekstrem lainnya, hampir dalam jumlah yang sama, banyak yang mengalami obesitas dan kegemukan karena pola makan yang tidak sehat. Celakanya, sekitar sepertiga makanan yang diproduksi manusia berakhir tersisa dan terbuang hingga menjadi sampah.
Hasrat berkuliner (Foto: Yus Rusila Noor)
Jika kita bermain dengan angka, maka akan tampak bagaimana alam telah “berkorban” untuk memenuhi, tidak hanya kampung tengah, tetapi juga kerakusan manusia. Pangan untuk manusia pada umumnya disediakan dari area pertanian. Dalam banyak kondisi, areal pertanian sering kali merupakan habitat hutan alami yang dibuka, dan kemudian menyingkirkan berbagai makhluk hidup di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Data satelit menunjukkan bahwa 28 persen permukaan bumi telah digunakan untuk keperluan produksi makanan. Perkembangan teknologi pertanian kemudian telah mengerucutkan pilihan pangan pada kondisi monukulturisasi.
Data FAO pada tahun 1998 menyebutkan bahwa 90 persen kalori yang dikonsumsi penduduk dunia hanya berasal dari 14 jenis hewan saja, sementara hanya 30 persen varietas tumbuhan yang saat ini mendominasi pertanian dunia. Angka lebih kini yang disampaikan oleh ibu Cristiana malah mungkin lebih mengejutkan karena 75 persen energi yang digunakan diproduksi hanya oleh 12 jenis tumbuhan dan 5 jenis binatang saja.
Di sisi lain, ketergantungan terhadap sumber daya alam boleh dibilang masih cukup tinggi. Meskipun datanya cukup lama, Fischlin et. al. (2007) menyebutkan bahwa 75 persen air tawar yang digunakan secara global masih dipasok oleh wilayah tangkapan air yang masih berhutan.
ADVERTISEMENT
Syahwat untuk terus melanjutkan tulisan sebenarnya masih menggelegak, tapi sepertinya harus diakhiri, karena khawatir akan meneruskan daftar kondisi paradoksial yang mendelegitimasi peran manusia untuk menyelamatkan sesama kehati. Dalam kondisi sedang menjalankan ibadah puasa, seharusnya ini dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki amanah manusia.
Ini adalah waktu yang baik untuk menata ulang sistem dan pola makan kita, sesuatu yang secara dogma agama telah ditekankan dan disampaikan berulang-ulang oleh para penyampai kebenaran. Bukankah kita dipandu untuk selalu mengedepankan keseimbangan, bahkan dalam alokasi ruang perut kita?
Tulisan ini sangat bisa jadi tidak memberikan kontribusi apa pun untuk menyelamatkan kehati, bahkan di sekitar tempat saya tanggal sekali pun. Tidak apa-apa. Semoga tahun depan saya bisa menulis dengan lebih riang dan penuh optimisme.
ADVERTISEMENT
22 Mei 2019,
Menulis di sela suasana yang menekan.