Sawah Itu Menjadi Tumpahan Banjir

Konten dari Pengguna
17 Oktober 2019 16:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Seorang petani sawah rawa tengah mengecek tanamannya Foto: Deshana Ryan Prasastya
zoom-in-whitePerbesar
com-Seorang petani sawah rawa tengah mengecek tanamannya Foto: Deshana Ryan Prasastya
ADVERTISEMENT
"Kami telah mengadakan pertemuan dengan masyarakat tidak kurang dari 150 kali, untuk meyakinkan bahwa masyarakat di lokasi kegiatan menyadari arti penting kegiatan restorasi lingkungan bagi alam dan bagi kehidupan mereka sendiri". Demikian penegasan Prof. Yukihiro Shimatani dari Universitas Kyushu, Jepang.
ADVERTISEMENT
Setidaknya 10 tahun yang lalu, ketika sebuah inisiatif restorasi lingkungan digulirkan, Prof. Shimatani yang menjabat sebagai salah satu Direktur di Kementerian Infrastruktur.
Kegiatan restorasi yang disampaikan di atas dilaksanakan di suatu desa bernama Azame No Se, Kota Karatsu, Saga Perfecture. Aslinya, lokasi yang berada di pinggir Sungai Matsuura tersebut adalah berupa sawah seluas 6 ha. yang dikelola oleh petani setempat. Atas pertimbangan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh pemerintah, areal sawah tersebut kemudian diusulkan untuk diubah menjadi lahan basah buatan dengan fungsi sebagai wilayah lintasan banjir (floodplain), tidak hanya dari atas, tetapi juga arus air sungai dari muara ketika pasang naik tinggi. Letak sawah yang berada di tikungan tersebut memang diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol banjir.
ADVERTISEMENT
Awalnya tak mudah, karena pemilik sawah enggan untuk menjual tanahnya. Bahkan ketika para pemilik setuju untuk menjual tanahnya, masyarakat masih memiliki usulan yang berbeda tentang mau diapakan lahan tersebut, termasuk adanya usulan untuk menjadikannya sebagai lapang golf. Melalui serangkaian pertemuan seperti diungkapkan dimuka, akhirnya kesepakatan pun tercapai dengan baik, sehingga pemerintah dapat membeli tanah tersebut untuk kemudian direstorasi menjadi lahan basah buatan dengan fungsi pengurangan risiko bencana banjir.
Lebih dari 100 kali pertemuan dengan masyarakat untuk meyakinkan adanya kesepahaman bersama
Sepuluh tahun berlalu, kerja bersama tersebut mulai terlihat nyata, dimana lahan basah buatan tersebut mulai menjalankan fungsinya sebagai penampung air banjir. Tidak hanya itu, keanekaragaman hayati-pun mulai tampak benar-benar beragam, khususnya berbagai jenis ikan. Untuk pemeliharaan, kelompok masyarakat di desa tersebut menyepakati untuk melakukan pemeliharaan bersama, termasuk membersihkan dan menjaga agar lokasi tersebut bersih dan tidak mengalami kerusakan. Pak Taguchi, Ketua Kelompok Masyarakat, terlihat senang dengan perkembangan wilayahnya, apalagi karena sekarang lokasi bekas sawah milik masyarakat tersebut telah menjadi tujuan kunjungan pembelajaran lingkungan lahan basah untuk anak-anak sekolah. Demikian pula mahasiswa sarjana dan pasca-sarjana dari Universitas Kyushu, termasuk dari Indonesia, telah dan sedang melaksanakan penelitiannya di lahan basah buatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelum direstorasi, lahan basah tersebut berupa sawah
Lokasi lahan basah buatan
Proyek restorasi ekosistem di Azame No Se kemudian dianggap sebagai contoh terbaik keberhasilan penanganan resiko bencana berbasis ekosistem (biasa disebut sebagai Ecosystem-based Disaster Risk Reduction atau Eco-DRR) di Jepang, sehingga kemudian mendapat penghargaan dari berbagai pihak, termasuk mendapat kunjungan dari Kaisar Naruhito. Disisi lain, Pak Taguchi sebenarnya bersedih karena para petani seusianya sudah mulai memasuki usia senja dan kekuatannya untuk mengolah lahan pertanian sudah menurun, sementara anak-anak mereka sepertinya segan untuk meneruskan usaha pertanian dan lebih menyukai untuk bekerja di kota. Itulah sebabnya, teman-teman Pak Taguchi sangat senang ketika banyak pelajar dan mahasiswa berkunjung dan belajar di wilayahnya, sehingga diharapkan dapat tertarik untuk meneruskan usaha pertanian.
Keanekaragaman hayati di lokasi yang telah direstorasi
Prasasti Kunjungan Kaisar
Penulis bersama Ketua Kelompok Masyarakat
Gambaran diatas diperoleh dalam kunjungan beberapa ahli lahan basah dari Indonesia, Thailand, Filippina, Bangladesh, India dan Nepal yang diundang oleh Wetlands International Jepang dan Universitas Kyushu untuk mengevaluasi dan memberikan masukan pelaksanaan kegiatan Eco-DRR lahan basah di Jepang. Sebagai pihak yang diundang untuk memberikan masukan dari Yayasan Lahan Basah dan Partners for Resilience Indonesia, saya mengamati bahwa keberhasilan kegiatan tersebut terutama disebabkan karena adanya komunikasi yang terus menerus tanpa putus antara pemerintah dengan masyarakat. Selain itu, komitmen, konsistensi dan perencanaan jangka panjang pemerintah juga telah meyakinkan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam program yang akhirnya akan memberikan manfaat jangka panjang bagi mereka.
ADVERTISEMENT
Kalaulah boleh membandingkan, Indonesia sebenarnya telah memiliki dan menjalankan berbagai kegiatan penanggulangan risiko bencana berbasis ekosistem atau Eco-DRR tersebut dengan skala dan kompleksitas yang lebih besar dan rumit, seperti misalnya dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Berbagai keberhasilan pun telah tercatat dan dipresentasikan dalam tulisan ilmiah maupun pertemuan. Namun kemudian banyak diantaranya yang seperti kembali ke titik nol, karena banyak kegiatan yang didukung berbasis proyek, dalam jangka pendek, sehingga keberlanjutannya sangat kurang. Isu penegakan hukum dan peraturan juga kemudian sering ditengarai sebagai penghambat keberhasilan jangka panjang. Jika isu keberlanjutan komitmen, komunikasi, perencanaan jangka panjang dan penegakan hukum telah dapat diatasi, maka bukan tidak mungkin Indonesia yang besar dan kaya SDA ini akan menjadi kiblat pembelajaran pelaksanaan Eco-DRR, setidaknya di Asia.
ADVERTISEMENT
Hakata, Fukuoka, Jepang, 21 September 2019.
Yus Rusila Noor