Bea Cukai

Kemenkeu dan Neraca Modal Sosial, Sebuah Otokritik

Yustinus Prastowo
Staf Khusus Kemenkeu Bidang Komunikasi Strategis.
30 April 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyerahan barang hibah milik SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta, di Tangerang, Senin (29/4). Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Penyerahan barang hibah milik SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta, di Tangerang, Senin (29/4). Foto: Widya Islamiati/kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus sepatu Adidas yang harganya Rp10 juta dan kena denda Rp30 juta viral. Sebelumnya juga viral soal kiriman celana dalam seorang PMI yang salah input, lalu pembalut dan pampers sebagai barang bawaan yang dibatasi jumlahnya. Atau kebijakan TER PPh Pasal 21 yang tak menambah beban pajak tapi ramai-ramai dikritisi. Apa yang sesungguhnya terjadi?
ADVERTISEMENT
Sebagian besar publik mungkin cukup familiar dengan istilah modal sosial. Biasanya kita merujuk Pierre Bourdieu, James Coleman, atau Robert Putnam - atau Francis Fukuyama yang belakangan menulis soal ini. Modal sosial ibarat neraca perdagangan, bisa surplus atau defisit.
Saya akan menggunakan kerangka teoretik ini sebagai basis otokritik terhadap praktik kebijakan dan pengelolaan relasi sosial-politik dengan para pemangku kepentingan di Kemenkeu secara khusus, dan pemerintah pada umumnya. Harapan kami, ada pembelajaran dan perubahan yang baik.
Dengan maksud menyederhanakan, saya rangkum sekaligus pemikiran empat tokoh di atas dan sedikit mengabaikan perbedaan konseptual dan penekanan antarmereka. Modal sosial bisa dimaknai sebagai modal di samping modal yang selama ini dikenal yaitu modal ekonomi, budaya, atau simbolik.
ADVERTISEMENT
Modal sosial mencakup jejaring, trust, dan relasi sosial jangka panjang yang terjalin. Berbeda dari modal finansial, modal sosial jarang diukur secara kuantitatif karena termasuk empati, solidaritas, kepedulian, dan dalam hal tertentu juga inklusivitas. Orang ekonomi dan keuangan barangkali kurang terbiasa atau tidak melirik dimensi ini, yang hemat kami belakangan justru semakin relevan dan penting. Bourdieu menambahkan dua konsep penting: habitus (pembiasaan) dan field (ranah). Orang Jawa bilang “empan papan”, tahu cara dan tempat.
Bagaimana misalnya perumusan dan pengambilan kebijakan yang secara teknokratik memenuhi semua prasyarat tapi secara politik sulit diwujudkan? atau sebaliknya, kebijakan yang mestinya tidak lolos uji rasionalitas namun justru bisa diputuskan secara cepat? Atau contoh lain, berbagai kebijakan yang mudah dipengaruhi oleh pengaruh ormas, tokoh politik dan masyarakat, atau kebijakan yang sensitif tapi bisa diberlakukan karena pimpinan lembaga tersebut dipercaya publik.
ADVERTISEMENT
Sebagai ilustrasi. Penetapan tarif cukai atau objek cukai baru yang mestinya bagus bagi publik ternyata tak mudah diwujudkan menjadi kebijakan. Tak pernah ada demo berjilid-jilid, proses pengambilan keputusan dipengaruhi perang opini publik. Atau upaya DJP mendapatkan akses data yang mestinya secara legal mudah, ternyata dalam praktik banyak mengalami penolakan. Di kasus RAT, AP dan ED misalnya, proses panjang membangun reformasi kelembagaan dan tata kelola yang baik seakan runtuh dalam semalam. Namun di sisi lain, keterangan Menkeu di sidang MK mengenai APBN dan bansos dapat diterima sebagai penjelasan yg kredibel. Apa yg membedakan?
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan saat konferensi pers APBN KiTa edisi April 2024 di Jakarta, Jumat (26/4/2024). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
Kait kelindan berbagai dimensi disertai lapis-lapis persoalan yang menghinggapi kiranya perlu dicerna lebih holistik, saksama, dan segera direspons dengan baik. Dalam persamaan matematis sederhana, modal sosial idealnya berkorelasi dengan modal ekonomi, kultural, dan simbolik. Namun jika tak semuanya kita miliki, modal sosial tak boleh tergerus percuma dan membuat kita tak punya apapun. Bourdieu melihat modal sosial agak negatif dan eksklusif. Ia bisa dimaknai sebagai zero sum game karena lebih melekat pada individu. Putnam dan Coleman sebaliknya, meletakkan modal sosial pada konteks institusional sehingga lebih berprespektif positive/negative sum game. Jika dipupuk bisa menjadi kuat dan bermanfaat. Kalau dibiarkan, akan layu dan punah.
ADVERTISEMENT
Kemenkeu adalah institusi publik yang setidaknya memiliki empat modal di atas. Ekonomi berupa modal finansial di APBN yang membuat institusi ini penting dan berpengaruh. Modal kultural berupa sejarah panjang eksistensi Kemenkeu secara historis-politis. Modal simbolik tentu melekat pada reputasi pimpinan dan figur kunci yang otoritatif dan kredibel. Sedangkan modal sosial terbentuk dari proses relasi, jejaring, mutual trust, dan terawatnya relasi sosial dalam jangka panjang.
Di titik ini secara konvensional kita mungkin boleh merasa cukup puas dan nyaman. Menggenggam empat modal sekaligus. Hal yang amat jarang dimiliki figur atau institusi manapun. Barangkali hal yang kurang disadari atau tidak diantisipasi adalah adanya dinamika yang terjadi berupa perubahan mendasar akibat perkembangan teknologi yang mendorong perubahan sosial. Cara kita berelasi, berjejaring, membangun trust dan merawatnya sama sekali berubah.
ADVERTISEMENT
Pergeseran media konvensional ke media sosial yang mengubah lanskap hubungan antaraktor. Semua kini menjadi subjek dan pemilik informasi. Yang ada banjir informasi tapi miskin refleksi. Kecakapan bergeser bukan pada kemampuan memperoleh melainkan mengolah. Dari agregasi ke verifikasi. Lalu ada pergeseran subyek dan corak kuasa. Jika dulu sifat komunikasi top down, satu arah, dan tunggal: ada Departemen Penerangan , Kominfo, TVRI-RRI, koran arus utama - kini produksi dan reproduksi informasi dilakukan sangat efektif melalui jurnalisme warga. Relasi kuasa pun berubah dari kuasa tunggal menjadi multikutub dan multiaktor.
Meminjam Roland Barthes, kita masuk era “the death of the author”, matinya pengarang dan semua bisa menjadi penafsir. Lebih parah, kita juga masuk ke era yang disebut Tom Nichols sebagai “the death of expertise”, matinya kepakaran. Lulusan SD dan PhD tak bisa dibedakan lagi validitasnya di media sosial. Yang galak berpotensi menang melawan yang pinter tapi santun dan penakut. Influencer dan buzzer menjadi otoritas baru, menggantikan pakar dan praktisi.
ADVERTISEMENT
Model advokasi pun berubah. Sebagai akibat pergeseran validitas kebenaran faktual ke persepsi, kini berlaku hukum “No viral no justice”. Peristiwa ketidakadilan atau hal-hal yang dianggap tidak masuk akal diviralkan sebagai tekanan publik. Sebagian berhasil mengubah kebijakan atau sikap atau persepsi. Namun ada risiko besar: berkembangnya mobokrasi. Sistem yang bertumpu pada tekanan publik dan massa - tak peduli kualitas dan kebenaran objektifnya.
Di era medsos dan perubahan sosial kontemporer, Kemenkeu terlibat nyata, baik sebagai subjek maupun objek. Sebagai pelaku atau korban. Tak jarang kita tergopoh-gopoh, gamang dan galau - jika tak boleh menyebut gagap. Sejak kasus RAT dan turunannya, isu TPPU, lalu berbagai kasus kecil yang merepotkan: celana dalam PMI dikenai bea masuk, pembalut dan pampers kena lartas, terakhir sepatu harga Rp10 juta didenda Rp30 juta. Ada juga isu soal TER (tarif efektif rata2), PPN 12% dll. Kita menyaksikan institusi-institusi tradisional yang gagah perkasa tetiba lunglai tanpa menyisakan wibawa. Pertanyaannya: kenapa publik atau netizen gampang nyolot lalu mengeluarkan sumpah serapah dan menyerang? Dan kita belum mampu mengelola ini dengan efektif?
ADVERTISEMENT
Kita boleh berasumsi mereka belum paham regulasi. Institusi lain yang keliru. Kita telah menjalankan tugas sesuai ketentuan, dan lain-lain. Tanpa berpikir dalam dikotomi “benar/salah”, rasanya ada beberapa hal yang perlu dibedah dan dibenahi bersama. Pertama, kesadaran baru bahwa dunia telah berubah dan membutuhkan respons berbeda. Kita pun harus berubah secara paradigmatik. Perubahan seperti apa? Ada falsafah “ngeli nanging ora keli”, ikut tapi tak hanyut. Logika perubahan teknologi tak bisa dilawan, tapi mesti diikuti dengan kehati-hatian. Tak perlu ada pertentangan antara yang prinsip vs kelenturan respons. Kita mesti bisa menggembalakan (akar kata government adalah kubernos, bahasa Yunani, artinya menggembalakan) . Jika arus opini publik berkembang seperti virus (maka disebut viral) dan respons kita konvensional (siaran pers dengan reviu berjenjang), kita akan kalah di pembentukan opini dan persepsi.
ADVERTISEMENT
Kedua, dengan tak ada lagi partisi tegas antara ranah substansi dan teknis atau level kebijakan dan implementasi - reformulasi kelembagaan dan struktur perlu diikuti dengan pemahaman baru bahwa perkara ISI dan CARA itu sama pentingnya. Sebagus apapun kebijakan kalau tidak dikomunikasikan dengan baik tak ada artinya. Atau sebaliknya, tak ada strategi komunikasi yang baik untuk kebijakan yang buruk. Artinya substansi dan kemasan keduanya sama penting dan harus sama baiknya.
Ketiga, ini berimplikasi pada desain kelembagaan dan cara kerja baru. Apakah perlu unit kehumasan secara khusus atau semua adalah sekaligus humas? Jika masih diperlukan, apa levelnya dan perannya sebagai apa? Agregator, koordinator, orkestrator, atau juru bicara?
Kembali ke urusan modal sosial. Begitu mudahnya Kemenkeu dirisak di media sosial perlu menjadi bahan permenungan. Memang ada faktor karakter, tetapi juga ada faktor lain. Kita terlalu sering menggerus modal sosial sendiri. Banyak kejadian kecil tetapi dianggap remeh hingga menjadi bara besar dan menimbulkan kebakaran. Terkadang tampak padam meski sejatinya cuma menyimpan bom waktu yang siap meledak dengan skala lebih dahsyat. Wilayah persepsi diperlakukan sebagai wilayah logis. Dimensi emosi ditanggapi dengan teknokrasi.
ADVERTISEMENT
Menjadi sangat disayangkan jika institusi sebesar dan sepenting Kemenkeu kurang menyadari pentingnya merawat dan memupuk modal sosial ini. Jangan sampai capaian-capaian besar dan fenomenal tergerus oleh hal yang sebenarnya remeh temeh. Apa yang saat ini menguat di publik adalah sentimen berbasis kelas sosial yang berpotensi menciptakan distrust. Meminjam James Scott, itulah barangkali satu-satunya senjata kaum lemah yang tersisa (weapon of the weak).
Ilustrasi Bea Cukai. Foto: Fajar Irvandi/Shutterstock
Kelas menengah merasa terwakili dengan kasus-kasus yang viral. Mereka punya kegelisahan dan aspirasi yang sama. Jargon yang sekarang kerap dipakai “beraninya cuma sama kelas menengah”. Ibarat pedang yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Tentu ini tak sepenuhnya benar, bahkan banyak yang keliru. Namun begitulah persepsi bekerja. Mesti dilawan dengan upaya telaten mengedukasi, membangun relasi, membentuk jejaring, dan menciptakan mutual trust untuk jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Kemenkeu mesti mulai membayangkan, berani berimajinasi dan berpikir seolah sendirian tanpa Bu Sri Mulyani - yang memiliki modal sosial dan simbolik sangat besar. Bagaimana cara melembagakan tacit knowledge dan intangible asset Ibu Sri Mulyani ini menjadi kekayaan institusi dan menjadi investasi jangka panjang yang menguntungkan? Proses pelembagaan - yang menurut Robinson dan Acemoglu - ada pada ketegangan pilihan antara kelembagaan ekstraktif dan kelembagaan inklusif.
Saya tetap percaya pada adagium kuno “Jika kamu setia pada perkara-perkara kecil, maka kamu dapat dipercaya untuk perkara-perkara lebih besar”. Semoga kita tidak abai dan underestimate pada hal-hal yang tampaknya sederhana dan remeh.
Semoga modal sosial Kemenkeu dapat terus dijaga agar setidaknya tak tergerus dan mengalami defisit. Mungkin perlu diperbanyak upaya duduk bersama, berjejaring, mendorong para pegawai muda lebih dipercaya tampil. Saya sendiri tak tahu persis jawabannya. Tapi sejarah kerap membuktikan jawaban yang benar akan datang jika kita mampu mengajukan pertanyaan yang benar. Sekali lagi, Robinson dan Acemoglu mengingatkan tentang “narrow corridor”. Di celah waktu dan ruang yang sempit ini, kiranya kita yang terlahir sebagai pemenang.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten