Ahok, Popularitas, dan Ruang Privat

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
9 Januari 2018 19:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ahok dan Veronica Tan (Foto: Goh Chai Hin/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Ahok dan Veronica Tan (Foto: Goh Chai Hin/AFP)
ADVERTISEMENT
Popularitas, terlepas dari cara mendapatkannya, selalu sebuah pisau bermata ganda. Ia bisa membantu seseorang meraih apa yang diinginkan. Ia bisa sangat mengganggu ketika tidak diinginkan. Dua-duanya tidak bisa diabaikan.
ADVERTISEMENT
Seperti sebuah komoditas, ia bisa menguntungkan, pun bisa merugikan. Mahal murah harga relatif pada situasi yang sedang dihadapi.
Popularitas itu buta nilai. Tidak mengerti apa yang disebut ranah pribadi dan ranah publik. Tidak membedakan yang namanya aurat dan pakaian.
Popularitas bukan hanya berkonsekuensi kepada seseorang yang menjadi artis, pesohor, tokoh masyarakat, pejabat publik, tetapi kepada siapa pun yang bersedia mengaitkan kehidupan dirinya dengan publik.
Sekali popularitas didapat, seperti sebuah kutuk, ia melekat dan sangat sulit untuk dilepas.
Pertimbangan layak berita mensyaratkan setidaknya salah satu atau beberapa unsur: penting, proximity (kedekatan emosional atau geografis), kekinian, ketokohan, dampak, ketertarikan publik, konflik, human interest, di luar kelaziman – persoalan popularitas bisa masuk dengan mudah.
ADVERTISEMENT
Karenanya, kalau saja bukan Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, tapi Fulan Entah Siapa, kasus gugatan cerai ke istrinya tidak akan menjadi perbincangan publik. Media juga akan masa bodoh.
Seperti juga tidak akan berbincangnya publik dan masa bodohnya media terhadap kemesraan keluarga Fulan Entah Siapa, tetapi tidak dengan kemesraan keluarga Ahok.
Unjuk kemesraan dan gugat cerai (yang karenanya pasti tidak mesra) derajatnya jelas berbeda tetapi sama-sama aurat rumah tangga yang semestinya tak perlu diperbincangkan orang lain.
Tetapi ketika unjuk kemesraan diperbolehkan --bahkan dirayakan-- untuk sebuah tujuan tertentu atau mungkin pula tanpa tujuan, lalu tidak dipertanyakan apakah ia ranah pribadi atau bukan, harus ada sikap adil untuk sebaliknya. Begitulah logika dan hukum popularitas berbicara.
ADVERTISEMENT
Karenanya mereka yang memiliki popularitas dan menempuh jalan populer harus bijak dan mengerti konsekuensinya sejak awal.
Ahok mungkin malah sudah mengerti akan semua konsekuensi ini. Karenanya ia (mungkin) santai saja menjalani. Tak berkeberatan ketika media menjadi ramai. Seperti juga ia tak berkeberatan saat masih menjadi pejabat publik sering menjadi pusat kontroversi.
Jangan-jangan malah justru kita-kita yang tidak populer, belum pernah populer, dan tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi populer kikuk menghadapi kenyataan yang menimpa Ahok. Bingung bagaimana harus bersikap.
Ahok bukanlah yang pertama dan tidak akan pula yang menjadi terakhir dipaksa untuk mengikuti hukum popularitas ini. Baik di negeri ini maupun di luar sana. Biasa-biasa saja.