Arsene Wenger dan Batas Angan-angan

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
26 April 2018 8:23 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Arsene Wenger mengucap selamat tinggal. (Foto: Reuters/Darren Staples)
zoom-in-whitePerbesar
Arsene Wenger mengucap selamat tinggal. (Foto: Reuters/Darren Staples)
ADVERTISEMENT
‘’Ooohhhh…... angan saya melayang: di sinilah sepak bola diciptakan. Beginilah seharusnya. Intensitas rasa cinta akan permainan ini menggetarkan. Menggairahkan.’’
ADVERTISEMENT
Arsene Wenger tak pernah bisa melupakan jantung yang berdegup kencang menonton pertandingan Manchester United lawan Liverpool.
Ia baru memulai karir kepelatihannya saat itu. Masih hijau. Haus akan tuak sepak bola. Di satu waktu luang, ia menenggaknya di Inggris Barat Daya. Lalu dimabuk angan-angan.
‘’Suatu saat, ya suatu saat nanti, kalau ada kesempatan berpihak, saya tak akan menampik melatih di negeri ini.’’
Pulang ke Prancis ia bukan lagi orang yang sama. Terhuyung-huyung mabuk angan-angan yang tak pernah bisa pudar.
Melatih Nancy ia dipecat. Gagal total. Mabuk angan-angan itu bertahan.
Di AS Monaco ia mencicipi sukses. Juara Liga Prancis (1988) dan juara Piala Prancis (1991). Namun itu dianggap tak cukup. Ia kembali dipecat. Mabuk angan-angan itu tak berkurang.
ADVERTISEMENT
Nasib membawanya menjauh dari benua Eropa. Jepang. Semestinya ladang sepak bola yang kerontang. Tempat raksasa bola mulai mengendurkan nafasnya. Tempat raksasa bola mulai mengendus masa pensiunnya.
Tapi Arsene Wenger bukan raksasa bola. Ia juga masih terlalu muda. Jepang malah menjadi ladang persemaian.
Ia tak pernah membawa Nagoya Grampus Eight menjadi juara liga Jepang. Tapi Piala Raja dan Piala Super Jepang cukup untuk membuat mabuk angan-angan itu bertahan.
Kata orang, kalau kau mengangankan sesuatu sedemikian kuatnya, menjaga angan itu apapun yang terjadi, pada akhirnya alam semesta akan mengiyakan.
Alam semesta itu bagi Arsene Wenger mewujud dalam sosok David Dein, CEO Arsenal saat itu. Tahunnya 1996.
Keyakinan Dein bahwa Wenger dengan prestasi yang tidak luar biasa akan bisa mengangkat Arsenal ke puncak persepakbolaan Inggris biarlah menjadi misteri. Katakan saja alam semesta menghendakinya. Seberapapun upaya Dein menjelaskan, ia tak akan bisa bisa menjelaskan logikanya.
ADVERTISEMENT
Wenger mewarisi mewarisi Tembok China yang terkenal itu: David Seaman, Lee Dixon, Nigel Winterburn, Tony Adams, Steve Bould, ditambah Martin Keown. Di depan ada Paul Merson, Ian Wright, dan tentu saja Denis Bergkamp. Ditambah pemain tengah yang biasa-biasa saja tetapi bertenaga kuda, Ray Parlour. Praktis satu tim inti yang sudah mapan.
Ia yakinkan kawanan Tembok China bahwa kaki mereka bukan hanya bisa dipakai untuk menendang lawan keluar dari kotak penalti, atau menendang lawan keluar lapangan bila diperlukan, tapi juga bisa untuk mengoper bola.
Ian Wright diajaknya berdiskusi tentang imajinasi ruang. Paul Merson diminta memahami bahwa mengoper ke belakang bukan selalu bertahan dan karena jalan buntu kedepan. Ray Parlour diajak bicara tentang arti tenaga kuda dan efisiensi. Denis Bergkamp ia minta untuk jadi Denis Bergkamp saja (apalagi yang perlu diajarkan ke pemain semacam ini).
ADVERTISEMENT
Lalu ia datangkan Patrick Vieira dan Nicholas Anelka. Semua orang tahu apa yang terjadi kepada keduanya.
Ia hirup nafas hanya sejenak. Tak boleh ada waktu yang terbuang. Ia potong ketebalan rumput Highbury dengan ukuran tertentu. Agar bola bisa bergerak menyusur sempurna sesuai dengan kekuatan tendangan dan sesuai pula dengan pola permainan yang diinginkan.
Ia terapkan pola makanan yang ketat, jenisnya, hingga jumlah yang harus dikonsumsi. Kultur minum-minum ia larang sama sekali.
Ia mengubah pola latihan, jam istirahat, dan ritual menjelang pertandingan. Semua agar secara fisik dan mental semua pemain berada kondisi puncak tanpa kecuali.
Pelan-pelan ia datangkan pemain mapan yang hebat semacam Robert Pires, Emmanuel Petit, atau Marc Overmars yang dirasa sesuai dengan permainannya.
ADVERTISEMENT
Ia bangun akademi sepakbola Arsenal menjadi salah satu yang terbaik di Inggris. Ia tak henti memoles pemain muda atau setengah matang untuk menjadi bintang semacam Thierry Henry atau Ashley Cole. Sesudahnya ada Cesc Fabregas.
Permainan yang dipertontonkan anak asuhnya memukau hingga hampir-hampir ke batas arogan karena bagusnya. Menyerang, mematikan, dengan operan-operan yang mengalir cepat dan cantik.
Entah bagaimana, dari pelatih yang sepertinya biasa-biasa saja –kalau mengukur dari catatan prestasi-- ia bertransformasi menjadi pelatih yang super. Brilian, visionary, dan revolusioner, puji banyak orang.
Ia cetak double double (1997/8 dan 2001/2). Ia ciptakan the invincibles –tim tak terkalahkan sepanjang musim kompetisi liga—di tahun 2003/4. Ia juga menjadi pelatih yang paling banyak memenangkan Piala FA.
ADVERTISEMENT
Ia jadikan pula Arsenal sebagai salah satu klub Inggris paling makmur. Cash flow mereka positif. Bahkan cukup untuk membangun stadion Emirates yang anggun dan mewah menggantikan Highbury.
Sepuluh tahun pertama memegang Arsenal ia mengalami ekstase seperti yang ia alami ketika menonton pertandingan Manchester United dan Liverpool. Itu masa emasnya.
Satu saja kesialan Wenger: Alex Ferguson. Kalau saja ia tidak melatih bersamaan dengan pelatih satu ini, Wenger dan anak asuhnya pasti sudah mendominasi persepakbolaan Inggris. Wenger mungkin juga akan dinobatkan sebagai pelatih terhebat pada masanya.
Dari segi prestasi ia kalah segalanya dari Ferguson. Di tingkat domestik maupun Eropa. Bahkan di tingkat Eropa, prestasi tertinggi Wenger hanyalah membawa Arsenal ke final Liga Champions tahun 2006 kalah dari Barcelona. Sementara Ferguson menang dua kali Piala Champions dan sekali Cup Winner’s Cup.
ADVERTISEMENT
Orang menilai permainan tim asuhan Wenger pada puncaknya lebih cantik ketimbang tim asuhan Ferguson. Tetapi orang juga mengakui tim asuhan Ferguson lebih efektif untuk meraih kemenangan dengan tetap mempunyai daya hibur yang menyenangkan.
Banyak yang menilai karena Wengerlah Arsenal berhasil menjadi dinasti sepak bola dan juga mesin penghasil uang yang sangat menguntungkan.
Tetapi Ferguson melangkah satu tingkat lagi. Ia bukan hanya membangun Manchester United menjadi dinasti sepak bola dan mesin uang, tetapi juga menjadi narasi utama –cerita besar—yang dijual oleh Liga Primer ke seluruh dunia.
Liga Primer –hingga kemudian Alex Ferguson mengundurkan diri—adalah cerita tentang Manchester United yang bangkit dari keterpurukan dan kemudian mendominasi persepakbolaan Inggris. Manchester United dan Alex Ferguson aktor utamanya.
ADVERTISEMENT
Arsene Wenger –dan juga Jose Mourinho hingga ke Rafa Benitez beserta klub masing-masing-- sehebat apapun adalah apa boleh buat figuran yang meramaikan. Sesekali tampil penting dengan menjadi juara di sana sini untuk menjadikan drama Liga Primer lebih menarik untuk dijual.
Lebih celaka lagi, tanpa disadari oleh Wenger, jangan-jangan Ferguson dan bukan sepak bola yang kemudian menjadi energi bagi dirinya. Nafsu untuk mengalahkan Ferguson sedemikian membara. Bahkan ketika Arsenal tak memenangkan piala apapun selama periode 2004-2013, Wenger ngotot untuk tetap bertahan.
Sejak Ferguson mengundurkan diri ditahun 2013, Wenger memenangi Piala FA tiga kali. Lumayan. Tetapi orang bisa melihat bagaimana kualitas permainan Arsenal sedemikian menurun dibandingkan masa emasnya. Stagnan, lelah, dan mudah ditebak.
ADVERTISEMENT
Mungkin ia kehilangan lawan sepadan. Mungkin ia sudah tua. Mungkin zaman telah meninggalkannya. Mungkin ia telah kehabisan ide. Mungkin ia tak lagi mampu. Mungkin angan-angan telah sampai batas akhirnya.
Sepekan lalu ia didepak turun oleh mereka yang dulu begitu memujanya.