Banjir

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
6 Januari 2020 10:09 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "banjir" oleh Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "banjir" oleh Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejarah hidup manusia sejauh ini terkait dengan alam (semesta) pada dasarnya terbagi hanya dalam tiga periode: Tidak mengerti, mengerti tetapi tidak punya kuasa, mengerti dan relatif punya kuasa. Pada suatu saat nanti mungkin akan ada periode mengerti dan punya kuasa.
ADVERTISEMENT
Periode tidak mengerti adalah periode celaka. Apa pun fenomena alamnya, manusia hanya bisa tunjuk-tunjuk, loncat-loncat tidak karuan, lari, bersembunyi, melakukan sesuatu yang tidak masuk akal, atau memandang ketakutan. Reaksi puncaknya adalah terbengong dungu.
Ada meteor di langit, nunjuk-nunjuk. Ada gerhana bulan, loncat-loncat tidak karuan. Ada puting beliung, lari. Ada hujan deras, bersembunyi. Ada gunung meletus, teriak-teriak. Ada tsunami, bengong.
Pada periode ini manusia dan alam adalah dua entitas yang saling berhadapan. Manusia sama sekali tidak mempunyai kuasa atas titah alam. Bagaimana mau mempunyai kuasa, mengerti saja tidak. Manusia kalah sekalah-kalahnya.
Periode mengerti tetapi tidak mempunya kuasa sedikit berbeda. Manusia mulai mengerti/menyadari bahwa alam mempunyai pola dan hukum yang mengatur perilakunya. Mereka belum bisa merumuskan hukumnya tetapi mulai bisa membaca pola/tanda-tandanya.
ADVERTISEMENT
Mitos yang pada dasarnya adalah sebuah mekanisme bertahan hidup—diturun-temurunkan lewat kemasan cerita—berdasar pada kearifan membaca isyarat alam, banyak lahir di periode ini.
Orang Jepang memperhatikan bagaimana ikan lele bertingkah tidak karuan dari yang biasanya tenang setiap kali akan terjadi gempa. Sehingga mereka kemudian memelihara ikan lele untuk menjadi semacam alat peringatan dini gempa.
Untuk meyakinkan banyak orang, orang bijak Jepang kemudian mengarang cerita tentang Namazu atau ikan lele raksasa yang dikatakan hidup di lumpur di bawah gugusan kepulauan Jepang dan dijaga dewa Kashima. Sesekali Namazu lepas dari kendali Kashima dan bergerak semaunya sehingga menyebabkan gempa. Ikan lele akan tahu kalau Namazu sedang lepas kendali dus mereka ikut bertingkah seperti lepas kendali.
ADVERTISEMENT
Hutan yang melingkupi sekeliling Gunung Merapi di Yogyakarta dipercaya menjadi kerajaan jin, mahluk halus, penunggu gunung itu. Karenanya keberadaan hutan itu mutlak harus lestari dan tidak boleh diganggu agar tidak membuat marah penghuninya.
Tentu saja itu juga sebuah mitos. Hutan itu disamping benteng alami—selemah apapun—untuk menahan laju letusan gunung juga menjadi tempat tinggal satwa liar. Tetapi yang lebih penting lagi satwa liar itu menjadi alat peringatan dini bila gunung akan meletus. Karena setiap kali Gunung Merapi akan meletus, satwa-satwa liar itu dengan instingnya akan merasa terlebih dahulu dan turun gunung untuk menyelamatkan diri.
Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi sultan pertama yogyakarta bergelar Hamengkubuwono paham akan hal ini. Menciptakan mitos, membuat narasi, dan menyempurnakannya dalam sebuah adat istiadat yang rumit, elegan, dan meyakinkan.
ADVERTISEMENT
Mitos muncul di manapun juga. Di padang rumput para Indian Amerika. Di negara-negara kota para filsuf Yunani. Di kering padang pasir nomaden Timur Tengah. Di serakan permukiman Viking Skandinavia. Di tanah lengang Aborigin Australia.
Satu cetak biru dari semua mitos adalah pengakuan bahwa walau manusia bisa membaca pola yang diisyaratkan oleh alam, mereka tidak mampu melawan kehendak alam. Mereka hanya mengantisipasi tanpa mampu merecoki.
Mitos hanya mampu membawa manusia pada posisi agar manusia menyesuaikan diri dengan kehendak alam. Berharmoni dengan alam. Manusia tidak lagi pada posisi berhadap-hadapan dengan alam tapi satu kesatuan.
Hingga kemudian muncul periode mengerti dan relatif mempunyai kuasa. Antroposentrisme. Pada posisi ini manusia berubah perangai dari berharmoni dengan alam menjadi berusaha "menaklukkan" alam. Manusia merasa bisa menyiasati semua tantangan alam dan menjadi penentu dari nasibnya sendiri. Dengan ilmu pengetahuan bukan mitos sebagai senjata.
ADVERTISEMENT
Manusia mulai bisa memahami dan merumuskan hukum alam yang yang berlaku, dan karenanya kemudian bisa menyiasati atau bahkan memanfaatkannya.
Gelap malam diterangi dengan listrik, gravitasi dilawan dengan roket, udara panas didinginkan lewat AC adalah beberapa permisalan sederhana.
Energi sinar matahari, arus air, panas bumi, kencang angin, ombak laut dikonversi menjadi energi tepat guna.
Beranak pinak adalah proses alami. Tetapi pertambahan manusia mengharuskan adanya penyediaan tempat tinggal, penggunaan sumber daya alam, dan sekian macam fasilitas pendukung lainnya. Ilmu pengetahuan membantu mengorganisasinya.
Potensi bencana dipahami sesuai wilayah natural dan posisi geografisnya sehingga pemukiman dan segala infrastrukturnya—termasuk perilaku manusianya—bisa ditata agar aman, antisipatif, atau setidaknya meminimalisir dampaknya.
Demikianlah. Sesederhana itu periodisasi hidup manusia menurut saya.
ADVERTISEMENT
Karenanya dalam konteks banjir yang berulang kali terjadi di Indonesia—lebih tepatnya mungkin Jakarta dan sekitarnya—, kita lalu bisa mengerti manusia Indonesia ini—saya, anda, kita, pemerintah—berada dalam periode yang mana. Dungu, mitos-harmoni, atau ilmu pengetahuan-antroposentris?
Saya punya kesimpulan tapi lebih baik saya simpan sendiri.