Bapak

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
10 Februari 2020 9:28 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "bapak" oleh Indra Fauzi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "bapak" oleh Indra Fauzi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Telepon pintar berdering saat saya sedang rapat. Bapak, nama yang muncul di layar. Saya pun meminta izin untuk menerima panggilan telepon itu.
ADVERTISEMENT
Semenjak ibu meninggal hampir tujuh tahun lalu, saya selalu berusaha menjawab telepon pada kesempatan pertama. Apa pun yang sedang saya lakukan. Dimana pun saya berada.
"Aku mau berangkat umrah," kata bapak setelah kami saling mengucapkan salam.
"Iya. Bapak sudah berulang kali mengatakan sejak dua minggu lalu," jawabku.
"Besok aku berangkatnya," kata bapak mengingatkan.
"Iya," aku meyakinkan bapak kalau tidak lupa.
"Sempat ketemu tidak, ya, nanti di Jakarta?" tanyanya.
"Kan umrah, Pak, bukan haji. Bapak hanya transit di Jakarta langsung ke Jeddah," kataku mengingatkan.
"Oh iya," kata bapak seperti baru tahu.
Bapak sudah beberapa kali berhaji dan umrah. Ia sudah hafal proses keberangkatannya. Tetapi di usianya yang mendekati 77 tahun, ia mulai lebih sering lupa bahkan untuk hal-hal yang sepele. Berulang kali terjadi ia menelpon dan tidak ingat untuk keperluan apa ia menelpon.
ADVERTISEMENT
Karena kondisinya pula, sebenarnya saya dan adik-adik meminta bapak untuk tidak lagi mengajar di sebuah universitas swasta di Yogya. Tetapi pihak universitas masih menahannya. Di samping masih diperlukan juga agar kondisi bapak tidak menurun terlalu cepat kalau masih ada kesibukan mengajar, alasan universitas itu. Setelah pensiun sebagai staf pengajar di sebuah universitas negeri di Yogya hampir tujuh tahun lalu, bapak memang tak ada kesibukan lagi.
"Aku akan doakan semua anak, mantu, dan khususnya cucu-cucuku. Untuk kamu, istrimu, dan anakmu. Tidak lupa untuk ibumu. Insyaallah dikabulkan," ucap bapak meyakinkan bahwa untuk yang satu ini ia tidak akan lupa.
"Amin," kataku.
***
ADVERTISEMENT
Ibu adalah mata air kasih sayang yang tak pernah kering. Cinta pertama saya. Ketika ibu meninggal, saya mengalami patah hati yang tidak pernah pulih.
Tetapi bapak adalah idola. Meski saya kesulitan untuk mengungkapkan, bapak menjadi kompas hidup saya. Permata kebijaksanaan hidup. Tindak tanduknya saya tiru. Termasuk caranya yang sangat halus dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan.
Kesenangan saya membaca buku adalah karena bapak. Ia memupuknya tanpa saya sadar.
Antara tahun 1973-1974 ketika saya duduk di bangku kelas satu dan dua sekolah dasar, rutin saya diajak ke sebuah perpustakaan anak satu-satunya di Yogya—Perpustakaan Kedaulatan Rakyat di Jalan Pangeran Mangkubumi—setiap Jumat sore.
Sehabis Asar, bapak mengayuh sepeda tua warna hijau tua, dengan saya di boncengan belakang, menempuh jarak sekitar enam kilometer. Pulang ke rumah biasanya persis menjelang magrib dengan bawaan empat atau lima buku untuk saya baca.
ADVERTISEMENT
Setelah dua tahun kegiatan itu terpaksa berhenti. Maklum perpustakaan itu lumayan kecil dengan koleksi buku yang terbatas. Sepertinya tak ada buku tersisa yang layak untuk dibaca.
Sampai sekarang—46 tahun kemudian—masih ada tiga buku yang selalu saya ingat lengkap dengan perwajahannya dari perpustakaan itu: Galileo Galilei, Thomas Alva Edison, dan 10 volume tipis tentang 25 rasul dalam Islam.
Keluarga kami bukan keluarga berada, tetapi bapak selalu berlangganan dua koran. Satu koran lokal Kedaulatan Rakyat dan satunya terbitan Jakarta. Saya tidak ingat yang terbitan Jakarta koran apa. Beberapa kali berganti. Tapi saya ingat salah satunya dengan logo merah, kemungkinan harian Merdeka.
Setiap jam istirahat sekolah sekitar jam setengah sepuluh—sekolah hanya di sebelah rumah—saya lebih sering pulang ke rumah untuk membaca koran terbitan Jakarta yang datang sekitar jam itu ketimbang bermain bersama teman-teman. Walau yang saya baca sebetulnya hanya halaman olahraga. Hingga sekarang pun kalau kebetulan membaca koran, tetap saja halaman olahraga adalah yang pertama saya baca.
ADVERTISEMENT
Pengetahuan tentang agama yang saya anut, semua dasarnya diletakkan oleh bapak saya. Dari membaca Alquran hingga adab dalam hubungan sosial. Dari cara menyikapi rezeki hingga membelanjakannya.
Bapak bukan tipe orang yang instruktif. Ia tipe memberi contoh. Ketika waktu sholat magrib tiba, sementara anak-anaknya asyik menonton TV, ia—bersama ibu—dengan demonstratif mempersiapkan diri di hadapan anak-anaknya untuk berangkat ke masjid.
Sewaktu masih kanak-kanak, kami anak-anaknya, hanya meniru. Setelah remaja ada perasaan malu dan rikuh kalau tidak mengikutinya. Setelah dewasa menjadi persoalan pilihan tetapi dasar sudah dibentuk.
Ketika saya sudah beristri-anak dan sempat tinggal jauh di pojok dunia yang berbeda, bapak sering menelpon untuk sekadar berbincang. Waktu yang dipilih hampir selalu seputar waktu salat subuh. Tentu saja saya tahu, ia sedang mengingatkan saya dengan caranya sendiri.
ADVERTISEMENT
***
Dua hari setelah tiba di Arab Saudi, adik laki-laki saya yang menemani bapak umrah mengirim kabar lewat aplikasi WhatsApp tentang sebuah percakapan pendek yang terjadi antara mereka berdua di Madinah. Mungkin mereka sedang menuju ke masjid Nabawi.
Bapak: Di sini masyarakatnya lumayan agamis, ya……?
Adik: Lha kan kita di Madinah, Pak.
Bapak: Aku pikir kita di India?
Saya tertawa sekaligus sangat sedih ketika membacanya. Ingin menolak sebuah kepastian tapi tak berdaya.
Saya bercerita ke istri tentang percakapan di WhatsApp itu. Kepadanya saya tumpahkan perasaan ketakberdayaan ini. Ia tidak tega melihat kegundahan saya. Tapi ia pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Malam itu usai salat isya menjelang tengah malam, di antara doa, saya menangis dengan hati yang hancur berkeping-keping.
ADVERTISEMENT