Berkah Corona?

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
21 September 2020 10:52 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Di Eropa konon ditemukannya teknologi cerobong asap lebih berperan dalam mengubah tatanan masyarakat ketimbang perang.
ADVERTISEMENT
Perang dampaknya menghentak, radikal, disruptif-ekstrusif: menghadirkan kematian massal, pengungsian, terpisahnya anggota keluarga, ketidaknormalan hidup, chaos dan ketidakmenentuan.
Tetapi sedemikian disruptifnya perang orang malah justru kemudian memimpikan suasana ketika segala sesuatu masih seperti sebelumnya.
Begitu perang usai yang dilakukan adalah secepat mungkin menghidupkan kenormalan seperti sebelum perang. Kalaupun ada perubahan maka berpusat pada kesepakatan-kesepakatan untuk mencegah perang terjadi lagi.
Kehadiran cerobong asap (chimney) berbeda. Tenang. Pelan. Intrusif. Seperti tidak menuntut perubahan apapun tetapi memantik perubahan yang sangat mendasar.
Sebegitu tenangnya bahkan tidak ada yang tahu siapa yang pertama kali menghadirkan ide atau menemukan cerobong asap ini. Kapan mulai digunakan pun orang juga tidak tahu.
Tanpa cerobong asap orang Eropa harus duduk dan tidur bersama mengelilingi api untuk melawan hawa dingin musim dingin. Dengan cerobong asap mereka tetap harus mengitari titik api tetapi berada di ruang tertutup.
ADVERTISEMENT
Perlahan kemudian dimengerti bahwa jaringan penyebar panas bisa dibuat untuk menghangatkan berbagai ruangan menggunakan cerobong asap yang sama. Ide pemanas ruangan paling modern (central heating) seperti yang sekarang jamak dipakai berakar dan tak bergerak jauh dari ide cerobong asap itu.
Progresi yang sepertinya wajar saja. Tetapi dampaknya luar biasa hebat. Organisasi unit kemasyarakatan berubah gara-gara itu. Dari komunal tribalistik menjadi keluarga lalu individual.
Rumah-rumah besar terutama di perkotaan disekat-sekat menjadi flat/apartemen untuk bisa dihuni banyak keluarga. Rumah-rumah baru dibangun bertingkat bukan semata untuk mengirit lahan tetapi karena jaringan pemanas memungkinkan bangunan bertumpuk dan mendapat kehangatan sendiri-sendiri.
Ruang komunal hilang. Ruang keluarga kemudian tidak lagi menjadi ruang utama keluarga. Kamar pribadi tercipta menjadi inner sanctum individu.
ADVERTISEMENT
Kalau perang menghenyak orang untuk menghadirkan tatanan agar kejadian serupa tidak berulang, cerobong asap menghadirkan sebuah discontinuity (keterpenggalan) dari cara hidup sebelumnya. Sama-sama menghadirkan perubahan tapi beda derajat.
Saya tidak tahu model pemantik perubahan mana yang lebih baik dari keduanya. Mungkin keduanya tidak bisa dan tidak perlu dibandingkan. Saya hanya menceritakan sebuah tafsir atas dua model penyebab perubahan dari sekian banyak model lain.
Tetapi cerita cerobong asap memberi pelajaran, terkadang perubahan yang mahabesar bisa disebabkan oleh sesuatu yang sepertinya sama sekali tak berhubungan, bukan direncanakan dan direkayasa (by design), dan bisa jadi sebuah konsekuensi yang tak disengaja (unintended consequences).
Saya tak kunjung bisa melupakan cerita tentang cerobong asap itu setelah tujuh bulan kantor tempat saya bekerja menerapkan kebijakan kerja dari rumah (WFH).
ADVERTISEMENT
CEO kantor waktu itu sangat ngotot untuk mengantisipasi dampak corona dengan bukan hanya secepat mungkin menerapkan kebijakan WFH, tetapi juga merestrukturisasi-rampingkan bagan organisasi perusahaan, menerapkan cara kerja baru, dan melakukan pengukuran kesuksesan menjalankan kehidupan perusahaan secara baru pula.
Perdebatan di kalangan direksi dengan rencana CEO kantor tidaklah sengit tetapi juga tidak mulus-mulus amat. Banyak sekali pertimbangan pro-kontra yang tidak bisa rinci saya ceritakan di sini.
Beberapa di antara kami—termasuk saya—agak apprehensive dengan niatan itu. Saya pribadi merasa kami memasuki wilayah yang belum pernah dijamah—setidaknya dalam pengalaman saya bekerja. Memasuki wilayah yang masih samar-samar wujudnya. Banyak sekali konsep konvensional tentang kerja, fungsi kantor, relasi antarkaryawan, birokrasi kantor, dan banyak lainnya yang harus dimaknai ulang.
ADVERTISEMENT
Kalaulah kami akhirnya bersepakat dengan rencana CEO kantor, ada perasaan bahwa ini hanya sementara. Begitu nanti corona lewat teratasi dan kenormalan telah kembali, kami akan memikirkan langkah berikutnya. Kesepakatan tak terucapnya kami akan kembali ke cara lama.
Tetapi setelah tujuh bulan melakukan pemaknaan-pemaknaan ulang atas sekian banyak hal terkait dengan kantor, saya merasa ada sesuatu dari apa yang kami lakukan. Walau saya masih kesulitan untuk merumuskan yang sesuatu itu.
Saya hanya bisa mengatakan ada semacam energi, gairah, dan semangat yang berbeda dari apa yang kami lakukan. Muncul perasaan keseharian pekerjaan bukanlah business as usual. Terkikis kejumudan dan ketaklidan akan batasan bekerja yang konvensional.
Tujuh bulan setelah corona, membayangkan kantor tempat saya bekerja, saya selalu teringat akan cerobong asap itu.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan