Bukan Sekadar Persoalan Bahasa Campur-campur

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
20 September 2018 11:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yusuf Arifin saat makan bersama Board of Director Go-Jek dan kumparan di Hanoi. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yusuf Arifin saat makan bersama Board of Director Go-Jek dan kumparan di Hanoi. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
‘’Effort banget. Susah. Somehow malah nggak natural ngomongnya. Karena memang banyak sekali kata yang literally nggak ada bahasa Indonesianya.’’
ADVERTISEMENT
Ini jawaban salah seorang teman ketika ditanya mengapa ia tidak bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia ‘yang baik dan benar’ dan menghindari penggunaan kosa kata bahasa Inggris semaunya.
Kita bisa saja menuduh teman ini malas berpikir karena sebenarnya padanan kata bahasa Inggris yang ia taburkan dalam kalimat-kalimatnya mudah didapat. Atau tentu saja kalimat bisa disusun sedemikian rupa —menggunakan runut logika yang berbeda— untuk menghindari penggunaan kata dalam bahasa Inggris dengan tetap menyampaikan pesan yang sama.
Kita bisa juga menuduh teman ini pamer saja. Biar terkesan bisa berbahasa Inggris, intelek, bagian dari strata sosial bergengsi, ataupun terkait dengan atribut superlatif lainnya.
Tetapi ketika penilaian semacam di atas sah-sah saja disematkan, belum tentu penilaian itu lalu benar adanya.
ADVERTISEMENT
Bahasa adalah alat ekspresi dari sebuah bejana lebur (melting pot) kebiasaan, tindak tanduk, tata nilai, tata pikir, dan psikologi kolektif penggunanya. Karenanya bahasa bukan sekadar kosa kata dan tata bahasa saja. Di dalamnya masih ada yang namanya cengkok, logat, intonasi, dan bahkan gestur (gerak tubuh) atau biasa dirumuskan dengan istilah paralingual.
Bejana lebur itu yang mendikte ragam kosa kata, logika tata bahasa, naik turun cengkok, kental tipis logat, tinggi rendah intonasi, kaku lentur gestur, dan segala pemaknaannya.
Jangan kaget karenanya kalau bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional —setidaknya di posisi sebagai lingua franca (bahasa percakapan)— bertaburan dengan hal yang sifatnya kedaerahan tergantung di mana ia dipergunakan. Kalau mau jujur, bahasa Indonesia dalam hal kosa kata dan tata bahasa hingga paralingualnya dari Sabang hingga Merauke sesungguhnya sangat beragam variasinya. Karena masing-masing daerah memang mempunyai bejana lebur masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sama jangan kagetnya ketika mendengar alasan teman mencampuradukkan kosa kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Karena ia, teman ini, tidak berdiri sendiri sebagai fenomenon tetapi bagian dari sebuah fenomena yang konon sedang melanda sebuah wilayah bernama Jakarta Selatan. Wilayah yang konon penduduknya suka mencampuradukkan kosa kata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Teman tadi jelas menyederhanakan persoalan ketika berbicara susahnya menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia untuk mengekspresikan pendapatnya. Kulit paling luar dari sebuah fenomena.
Ada persoalan yang lebih dalam dari sekadar padanan kata: bejana lebur Jakarta Selatan yang sedang mengalami perubahan (besar). Entah disebabkan oleh perubahan demografi penduduk, pendidikan, ekonomi, industri, teknologi, gaya hidup, dan (atau) apapunlah namanya yang terkait dengan kehidupan.
ADVERTISEMENT
Adalah urusan para antropolog untuk melakukan penelitian dan membangun narasi penjelasan yang komprehensif. Kita tinggal menunggu mereka melakukannya.
Mengenai baik buruknya fenomena bahasa campur-campur, silakan memberi pendapat masing-masing. Secara pribadi saya hanya bisa mengatakan, I don’t like it.