Buruk Muka, Media (yang) Dibelah

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
24 Februari 2020 17:01 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "Pers" oleh Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "Pers" oleh Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi media (online) bikin masalah untuk dirinya sendiri. Liputannya mengenai meninggalnya selebriti Ashraf Sinclair, suami dari penyanyi Bunga Citra Lestari, mewakili semua yang dikatakan buruk dari media online.
ADVERTISEMENT
Pemberitaannya dianggap intrusif, mengabaikan martabat, menyasar hal-hal yang tidak selayaknya masuk dalam berita, tidak mempunyai empati dan simpati, menyusur segala sesuatu yang sifatnya pribadi tak perlu diketahui masyarakat umum.
Kategorinya bahkan dianggap bukan lagi berita tetapi gosip dan omong-omong warung kopi yang disebar ke publik oleh media sehingga menjadi seolah-olah berita.
Setuju.
Kritik selanjutnya adalah soal penghambaan pada trafik demi mengundang iklan. Karena pemasang iklan hanya ingin muncul di tempat-tempat yang ramai. Segala sebab mengapa perangai media menjadi seperti yang dikritik di awal.
Masuk akal.
Kritik mudah berikutnya—atau lebih tepatnya keluhan—adalah mengaitkan penguasaan konglomerasi atas media. Cara berpikirnya adalah kalau media dikuasai atau dibiayai konglomerasi atau orang kaya maka orientasi media pastilah bisnis. Segala sesuatunya demi balik modal dan keuntungan. Media sebagai industri.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi.
Tetapi kritik dan keluhan yang muncul sama sekali melupakan satu pilar dalam kehidupan industri media: pembaca-audiens-pasar.
Dan menurut saya naif mengritik media tanpa melihat audiensnya.
Sesungguhnyalah mereka ini yang menjadi penentu perangai media. Baik buruk media ada di tangan mereka.
Logika industri sederhana: Melihat kecenderungan dan kebutuhan pasar lalu memasoknya. Termasuk juga logika yang dianut industri media.
Jika media berperangai seperti yang kemudian dikritik itu—bukan untuk kemudian membela, bagaimana kalau kritik kemudian ditujukan kepada pasar: Kok kalian mau mengkonsumsi yang seperti itu?
Jawabnya adalah pasarnya memang demikian. Itu yang mereka mau tahu.
Bayangkan jika pasar bergerak satu kata untuk menolak mengkonsumsi berita yang tidak bermutu, merendahkan harkat, dan tidak penting itu. Media yang ngotot menyampaikan hal serupa akan layu dan mati. Tak ada siraman air (trafik).
ADVERTISEMENT
Jangan mengatakan, "Kalau ada media yang bagus kami rela kok kalau harus membayar. Kami berlangganan juga media x, y, atau z dari luar negeri karena mereka bagus."
Itu sombong, snob, dan merendahkan orang lain (yang kebetulan tidak cukup punya uang dan tidak punya kemampuan berbahasa asing yang cukup).
Realitanya, banyak media di Indonesia yang menurut saya bagus, gratis, dan menghindari pemberitaan yang banyak dikritik itu tetapi jumlah pengaksesnya ya hanya sebegitu saja. Terseok-seok menghidupi diri karena iklan tak masuk-masuk dengan alasan trafik yang rendah. Itu pertama.
Kedua, ada beberapa media yang mencoba menjaga mutu pemberitaannya lewat berbayar. Agar mengurangi ketergantungan kehidupan dari trafik dan iklan.
Pertanyaannya, mengapa media yang berbayar itu tidak berkembang? Lebih payah lagi, cenderung menurun pelanggannya. Di mana mereka yang bersedia membayar itu?
ADVERTISEMENT
Di tahun 1993 saya bersama beberapa teman pernah membantu Eros Djarot—manusia yang menurut saya multi-talenta—dan Budiono Darsono—yang kemudian dikenal menjadi pionir media digital di Indonesia—mendirikan tabloid Detik.
Tabloid itu hanya berumur 14 bulan karena dibreidel oleh pemerintah Soeharto bersama Majalah Tempo dan Editor tahun 1994.
Di tengah raksasa media zaman itu, dengan modal super pas-pasan—modal terbesar kami hanyalah semangat serta kejelian melihat ceruk pasar potensial—tabloid itu dengan cetak pertama hanya 10 ribu eksemplar bergerak menjadi sekitar 500 ribu eksemplar ketika ditutup paksa.
Tabloid itu terbit tanpa iklan kecuali di tiga edisi terakhir kalau tidak salah. Kami hanya mengandalkan jumlah eksemplar yang terjual untuk menghidupi diri kami sendiri dan meningkatkan sirkulasi. Sirkulasi adalah padanan trafik untuk hari ini. Setiap ada keuntungan dari peningkatan sirkulasi semua kami pasok kembali untuk meningkatkan sirkulasi di terbitan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kami sangat tergantung dengan pasar yang mau membayar dengan berita-berita yang kami sajikan. Kami sangat menjaga mutu apa yang kami beritakan sekaligus mencoba memahami apa yang diingini oleh pasar.
Kami bisa melakukan itu karena pasar (masyarakat) memungkinkan itu terjadi. Pasar (yang mau membayar untuk berita bagus) yang menentukan.
Ini bukan untuk membela media yang dikritik sekarang. Tetapi kita juga harus berendah hati mengakui ada yang salah dengan masyarakat. Saya tidak tahu salahnya di mana dan apa. Anda rumuskan sendiri saja.
Tetapi perangai media bagi saya adalah cerminan perangai masyarakatnya. Jangan buruk muka malah cerminnya yang dibelah.