Chief of Storyteller

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
15 Februari 2021 8:33 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor paling penting mengapa manusia bisa bertahan hidup, berkembang, dan terus menyempurnakan kehidupan adalah disebabkan kemampuan untuk bercerita. Lewat kemampuan bercerita manusia bisa menghimpun khazanah pengetahuan, menambah-kembangkan, dan mewariskan.
ADVERTISEMENT
Semua kitab suci—oleh mereka yang percaya diyakini diturunkan langsung oleh tuhan—dimaksudkan sebagai pegangan hukum dan pedoman hidup. Semua disampaikan lewat cerita. Itu sebab semua kitab suci selalu mempunyai asbabunnuzul. Bisa faktual, parabel, pemisalan, dan kias sifatnya.
Ilmu pengetahuan (tentang apapun) adalah juga sebuah cerita. Dengan bahasa dan gaya bertuturnya sendiri-sendiri. Menumpuk pelan menjadi timbunan cerita maha besar dan terus membesar.
Matematika bercerita menggunakan angka. Fisika merupakan cerita tentang hukum alam. Cerita tentang alam semesta didedahkan lewat astronomi. Biologi adalah cerita tentang kehidupan hayati. Kimia bercerita tentang zat yang ada di alam semesta. Sejarah adalah cerita tentang polah tingkah manusia di masa lalu. Kebiasaan dan perilaku untuk menyiasati interaksi sosial dan dengan alam adalah cerita dengan bungkus nama budaya. Ekonomi adalah cerita mengenai upaya manusia memenuhi kebutuhan hidup materialistik.
ADVERTISEMENT
Kegiatan keseharian manusia pun pada intinya adalah kegiatan bercerita.
Ketika kita berkomunikasi satu sama lain, kita sedang bercerita. Mengobrol apalagi.
Bersekolah adalah kegiatan keilmuan tetapi sesungguhnya kegiatan bercerita.
Berdagang adalah kegiatan ekonomi tetapi sesungguhnya persoalan cerita juga.
Ketika kita pergi dari satu tempat ke sebuah tujuan menggunakan mikrolet, misalnya, ini sebuah cerita tentang pemahaman jarak, kesepakatan tarif, timbal balik jasa dan pengguna jasa; bahkan tanpa terjadi percakapan antara pengemudi dan penumpang, ia tetap sebuah cerita.
Pendeknya, dunia yang kita mengerti saat ini adalah himpunan cerita maha besar yang saling berkait berkelindan satu sama lain.
Ada tiga sebab mengapa saya menyinggung soal cerita dan bercerita ini.
Pertama, selama tiga tahun terakhir ini, salah satu kata paling populer yang saya dengar adalah story(telling-teller). Storytelling inilah; storyteller itulah; harus ada story-nyalah; semua tergantung story-nya; dan lain sebagainya; dan dan lain semacamnya.
ADVERTISEMENT
Pokoknya segala sesuatu harus ada story-nya untuk menjadi penting dan menjadi perhatian orang. Semacam buzzword kekinian bagi mereka yang bergelut di dunia konten.
Dan orang berkhidmat dengan buzzword ini. Seolah ini hal yang baru. Seolah setidaknya ini baru terpikirkan. Seolah ini hal sulit yang tidak semua orang bisa.
Overrated. Bercermin dari kehidupan manusia dari awal hingga sekarang—seperti saya singgung di muka—kita semua (bisa) melakukannya. Tanpa terkecuali. Tak ada yang baru. Tak ada yang istimewa.
Kalau menjadi seolah-olah baru, afdal, dan kekinian bisa jadi karena kita silau dengan istilah berbahasa Inggris. Sebuah cermin kegagapan dan kegugupan dalam berbahasa.
Bukankah kata dongeng (cerita) dan profesi pendongeng (penutur cerita) sudah kita kenal sejak lama?
ADVERTISEMENT
Kedua, belum lama ini beredar tentang daftar jargon (buzzword) di perusahaan-perusahaan Amerika yang paling dibenci oleh pegawainya. Penerbitnya adalah lembaga internasional penyelia data dan perilaku pasar, Statista.
Sepuluh besar jargon yang paling dibenci secara berurutan adalah: synergy, teamwork, touch base, raising the bar, think outside the box, work harder, best practice, paradigm shift, the next time you feel to reach out, dan empower.
Ini kata-kata yang nyaris wajib ada ketika kita berbicara tentang bagaimana menjalankan perusahaan. Kata-kata yang dianggap membantu menaikkan gairah kehidupan perusahaan di Amerika untuk maju dan berkembang.
Alasan kebencian tidak disebutkan. Tetapi patut diduga, ada persoalan terlalu banyak dipergunakan (overused). Dan semakin lama menjadi jargon kosong tanpa ada pemaknaan yang sesungguhnya. Sekadar pepesan kata tapi kosong di dalamnya. Diucapkan atau dituliskan untuk mengesankan perusahaan yang kekinian.
ADVERTISEMENT
Storytelling dan storyteller naga-naganya akan mengarah ke sana pula. Setidaknya di Indonesia. Terlalu banyak, terlalu sering, dan semua yang serba terlalu memang selalu tidak baik. Muak pada akhirnya.
Ketiga, satu pagi sekitar tiga setengah tahun lalu, teman sekaligus CEO kumparan, Hugo Diba, menelepon.
"Mas aku tahu jabatan paling tepat untukmu," katanya dengan nada lega dan gembira, "kamu ini pendongeng kami."
Saya kira Hugo—juga direksi yang lain—pusing memikirkan posisi paling tepat untuk saya di perusahaan. Keberadaan saya seperti dibuang sayang, disimpan bingung untuk apa.
Sementara direksi lain bisa dengan cepat berkonsentrasi untuk menata segala sesuatu yang ada di dalam sesuai dengan bidang masing-masing, saya tidak nyaman dan gugup dengan jabatan Direktur Kolaborasi. Akibatnya kinerja saya dan departemen yang saya pimpin juga buruk.
ADVERTISEMENT
Saya lebih nyaman ketika selama setahun penuh berkeliling bercerita ke sana kemari, membantu Hugo untuk meyakinkan orang/investor bahwa perusahaan rintisan kami ini mempunyai masa depan. Mungkin karenanya rekan direktur yang lain ataupun Hugo berpikiran tentang pendongeng itu.
"Terserah nama jabatan yang akan kamu sematkan pada dirimu sendiri maupun luasan kerjaanmu. Tapi intinya segala komunikasi keluar maupun ke dalam tentang perusahaan, bangunan cerita tentang hal-hal yang dilakukan perusahaan, harus lewat kamu semua. Komersial maupun bukan. Kamu yang merancang narasinya," kata Hugo meyakinkan.
"Tugas pertamamu ya memberi nama untuk jabatan barumu itu," kata Hugo lagi sambil tertawa terbahak-bahak, "kan kamu pendongengnya."
COST, Chief of Stroyteller, itulah jabatan yang kemudian saya sematkan untuk diri saya sendiri. Setahu saya kumparan adalah perusahaan pertama di Indonesia yang memiliki direktur khusus untuk urusan-urusan seperti ini. Sementara di luar negeri—lebih tepatnya Amerika—setahu saya ada beberapa perusahaan yang memilikinya.
ADVERTISEMENT
Tetapi anda tahu, dari segi penamaan saya sebenarnya sedang memanfaatkan kegagapan dan kegugupan untuk berseolah-olah ini hal yang baru. Sempat terbetik keinginan untuk menggantinya menjadi Direktur Pendongeng atau Direktur Penutur Cerita. Tapi jujur saja, kok kesannya kurang gagah dan bagaimana gitu……..
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.