opini_masdalipin_kurangajarcorona_square.jpg

Corona Menggugat

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
6 April 2020 12:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
Pandemi corona ini kurang-ajar dan kita tidak menyangka akan kekurang-ajarannya.
Ia memang mengancam kita dengan ancaman kematian massal. Namun itu rupanya tidak cukup. Ia dengan dingin juga menggugat dan membuka kedok kita manusia yang mengaku sebagai makhluk sosial. Ia membelah isi kepala. Ia memunculkan yang bersembunyi di lubuknya hati.
Ketika kita bertindak untuk menanggulanginya, ia menunjukkan bahwa yang kita lakukan adalah upaya egois untuk sekadar menjaga kepentingan masing-masing.
Perilaku kita bukanlah perilaku untuk bersama-sama menaklukkan virus corona. Perilaku kita adalah perilaku politik, sosial, dan ekonomi dalam menangani virus corona. Bukan perilaku berdasar pertimbangan medis (kesehatan) seperti yang seharusnya.
Bahwa pertimbangan medis untuk menaklukkan virus corona berpengaruh dalam perilaku politik, sosial, dan ekonomi itu tentu saja. Tetapi tidak semestinya sebaliknya kalau prioritas benar-benar melindungi hak hidup rakyat.
Sepandai apa pun pemerintah—ini bukan tentang Indonesia tetapi seluruh dunia—menarasikan kebijakannya, kita tahu persoalan ekonomi ada di atas segalanya. Hanya setelah tak lagi mampu mengelak maka kebijakan itu berubah menjadi prioritas kesehatan.
Mengapa pemerintah memilih pertimbangan ekonomi ketimbang kewajiban esensial melindungi hak hidup rakyat dengan segala risikonya di awal pandemi? Tentu saja hanya mereka yang bisa menjawab.
Orang dengan kekayaan berlebih, patuh tinggal di rumah dan tipis lidah mengecam mereka yang tak melakukan hal yang sama. Jangan anggap kebanyakan mereka yang kemudian berdiam di rumah lepas dari jebak-kesan seolah dalam rangka mengalahkan virus corona. Ada banyak egoisme dan ketamakan tersirat di sana.
Mereka bersembunyi di rumah tanpa kehendak untuk prihatin. Mereka ingin semua jaminan kemudahan keseharian tetap terpenuhi maksimal. Lihat saja bagaimana mereka menimbun apa yang mereka anggap esensial (dan juga kebutuhan non-esensial) untuk menjaga kenikmatan hidup tanpa berpikir bahwa orang lain juga memerlukan.
Mereka pula yang seolah merasa punya hak pertama ketika akses fasilitas kesehatan tersedia. Menuntut di awal, membeli ketika diharuskan antre.
Sementara keberadaan mereka yang terpaksa harus keluar rumah untuk menyambung hidup karena tidak ada jaminan hidup bila mereka tak melakukannya, menunjukkan betapa ada ketimpangan sosial dalam masyarakat. Menunjukkan adanya kesalahan bangunan kehidupan sosial tetapi selama ini kita anggap wajar-wajar saja.
Tetapi bukan berarti mereka yang keluar rumah karena tuntutan hidup lalu punya katebelece untuk semaunya. Terpinggirkan bukan berarti boleh berbuat apa saja mengabaikan keadaan tanpa tanggung jawab. Terpinggirkan bukan berarti orang lain harus memahami dan memaklumi apa pun yang mereka lakukan.
Terjepit di tengah adalah kelas menengah (perkotaan). Kelas kaya tidak, miskin bukan. Bos besar belum, buruh bawahan bukan. Kelas nanggung yang karenanya kelas menengah.
Mereka ini ada yang termungkinkan berdiam di rumah, tetapi ada yang terpaksa harus tetap keluar rumah untuk menyambung hidup. Sebagian beraspirasi gaya hidup seperti orang kaya, sebagian lagi terpaksa mengikuti cara berpikir mereka yang terpinggirkan.
Terdidik, jumlah yang besar, memiliki akses informasi yang bagus, dan opinionated membuat mereka ringan suara setiap kali kepentingan mereka terganggu. Hal ini ditambah dengan campur baur demografi ekonomi yang membuat mereka tidak bisa menentukan sikap kolektif, menghasilkan ramuan eksplosif, gaduh, dan membingungkan.
Di tangan kelompok inilah pertarungan opini yang menentukan apa yang diinginkan masyarakat ditentukan. Di pemenang pertarungan opini kelompok inilah kebijakan negara akan condong. Virus corona atau bukan, bingung sikap mereka, bingung pula semuanya.
Dan di tengah itu semua, samar-samar terdengar teriakan para ilmuwan. Tenggelam dalam keriuhan.
Tidak pernah ada yang mencoba mendengar apa kata mereka. Tidak ada pula yang tergoda bertanya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten