Corona, Pemerintah, dan Sikap Kita

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
14 September 2020 10:27 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengritik pemerintah Indonesia di tingkat nasional dan lokal dalam hal penanganan dan penanggulangan wabah corona adalah salah satu pekerjaan paling mudah untuk saat ini.
ADVERTISEMENT
Menyepelekan, lamban, tidak tegas (indecisive), tidak meyakinkan, plin-plan, kurang koordinasi, lemah pelaksanaan, sering salah sasaran adalah sebagian saja kritik yang bisa kita layangkan. Apapun yang dilakukan pemerintah seperti sebuah katalog dari kesalahan demi kesalahan. Layaknya petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) untuk sebuah pemerintahan yang buruk.
Kesan lain, sejauh ini kebijakan pemerintah Indonesia terlalu banyak improvisasi dan tambal sulam. Symptom (gejala, pertanda) dari ketidaktahuan harus berbuat apa.
Dan kalaulah indikasi terakhir akan ketidaksinkronan kebijakan Gubernur DKI, Anies Baswedan, untuk melakukan PSBB kembali dan sikap pemerintah pusat yang tidak sejalan dijadikan ukuran, maka kesan itu benar dan masih akan panjang kekacauannya. Ini belum memperhitungkan relasi antarpemerintah lokal yang tidak kalah ruwetnya.
ADVERTISEMENT
Tetapi kalau mau adil dan menahan diri untuk tidak terlalu menghakimi (judgemental)—atau tak apa juga kalau dikatakan untuk sekadar menentramkan hati, belum ada pula negara sukses menemukan formula penanggulangan wabah corona ini secara permanen. Indonesia mungkin masuk kategori kacau-kacau, tetapi yang tidak kacau-kacau pun sama saja.
Beberapa negara yang sempat dikatakan mampu melakukan pencegahan penyebaran wabah (containment) lewat berbagai cara, belakangan kesodok lagi dengan gelombang klaster baru. Containment itu rupanya mensyaratkan hal terlalu berat, sebuah mekanisme yang nyaris tanpa kegiatan sosial. Padahal tanpa kegiatan sosial, tak ada kegiatan ekonomi. Tidak ada kegiatan sosial maupun ekonomi sama saja dengan tidak ada kehidupan.
Pola yang terjadi sejauh ini terjadi adalah begitu virus corona ini relatif tertanggulangi dan kegiatan sosial ekonomi dilonggarkan kembali, virus itu menjalar lagi. Lalu pengetatan terjadi lagi. Berulang-ulang seperti itu.
ADVERTISEMENT
Kritik terus menerus kepada penyelenggara pemerintahan mungkin juga tidak terlalu adil. Kita tahu, kebijakan negara—dan penerapannya—yang bagus mutlak adanya. Tetapi itu hanya separuh persoalan. Partisipasi rakyat sebagai pihak yang paling berkepentingan juga tak kalah mutlak.
Karenanya mungkin kita juga perlu bertanya, seberapa kita sebagai individu ikut menyumbang pada ketidakberesan penanganan dan penanggulangan virus corona.
Kita ambil contoh sederhana saja sewaktu ada dua akhir pekan panjang tiga-empat pekan lalu. Puncak macet total selama berjam-jam penuh dengan mereka yang ingin berlibur.
Memang tidak ada larangan bepergian. Tidak ada lockdown. Tidak ada PSBB.
Tetapi kita sama-sama tahu tentang situasi yang sedang kita hadapi. Kita sama-sama tahu tentang tingginya potensi penularan bersumber dari kerumunan manusia. Mengapa kita tetap mengambil risiko itu?
ADVERTISEMENT
Dari akhir pekan yang sama kita juga tahu bahwa keramaian dan kepadatan besar juga terjadi di tempat-tempat pariwisata di kota lain seperti Yogyakarta dan Bandung. Sekali lagi pertanyaannya, mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan ketika ada risiko besar mengancam?
Kalau untuk yang sifatnya sekunder kita tidak bisa menahan diri, bisa dibayangkan untuk alasan-alasan primer seperti bekerja, beribadah, berbelanja kebutuhan pokok misalnya.
Lalu semua kegiatan itu kita ekstrapolasi ke seluruh Indonesia, kita akan mendapatkan sebuah potensi penyebaran yang mengerikan. Dan itu dipicu lebih oleh perilaku kita individu yang tidak mampu menahan diri dari syahwat untuk keluar rumah—apapun alasannya, bukan oleh ketidakbecusan pemerintah.
Saya mengerti, kita semua masing-masing punya alasan dan tuntutan sendiri-sendiri untuk melakukan apa yang kita lakukan. Bukan tempat saya untuk menghakimi perilaku orang lain.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya seperti juga dalam menghadapi tantangan hidup lain, menghadapi corona adalah persoalan individu. Masing-masing harus menentukan sendiri apa yang menurut kita baik dan benar untuk menghadapinya sesuai kemampuan dan kapasitas yang kita punya.
Tetapi tidak bisakah kita sebagai individu dalam menghadapi corona ini mengikuti cara pandang hidup penganut stoicism sedikit saja: menerima keadaan yang sedang terjadi dan berperilaku seperti yang didiktekan oleh situasi tanpa mengukur dari sisi kegembiraan dan kesengsaraan pribadi; bekerja sama dan memperlakukan sesama secara adil; dan memainkan peran sebagai makhluk sosial dengan membantu sesama.
Saya tidak yakin di tingkat praktis akan seperti apa bentuknya. Tetapi pasti bukan ribut tentang liburan yang tertunda, harga saham yang terpuruk, perekonomian yang macet, mal buka atau tutup, dan persoalan semacam.
ADVERTISEMENT
Atau kita jalani saja hidup di tengah wabah corona ini dengan mengikuti ujaran penyair aliran romantik Prancis, Alfred de de Vigny: Sekuat tenaga menjalani tugas yang melelahkan/Di titian nasib yang telah digariskan/Kemudian…….. menderita dan mati tanpa sepatah kata.
Bukankah (kebanyakan) manusia juga seperti itu adanya. Menjalani hidup begitu saja. Tanpa tanya. Tanpa keluh. Tanpa gumam. Kemudian tiada.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan